Senin, 25 Oktober 2010

PKM oh PKM

Episode Jum’at mendung,
Memang benar kata para pakar psikologi bahwa ketika kita dalam keadaan kepepet maka kekuatan kita akan lebih sanggup terurai. Betul saja, seharian saya dan rekan satu PKM(Ayu, Erva) plus pemain figuran Seno. Berjuang mati-matian.
Mendung menenggelamkan keperkasaan matahari. Membawa suasana sejuk. Sangat merayu untuk bersantai-santai saja. Fakultas Pertanian juga masih padat merayap. Semua masih berburu kepentingan masing-masing.
Saat berjalan untuk mencari tanda tangan, seseorang mengabarkan kalau format halaman pengesahan PKM harus seperti ini, sambil menunujukkan format yang benar ke kami. MasyaAllah, sepele tapi akan berdampak pada apa yang harus kami lakukan berikutnya. Maka mulailah kami mengedit. Menggunakan meja dan kursi di sebalah ruang wakadek.
Inilah sifat saya yang menjengkelkan, disaat begitu panik maka saya tidak bisa memikirkan dengan fokus. Pikiran bercabang kemana-mana. Padahal sudah jelas sebanrnya saya sudah mengedit. Tapi karena keteledoranku, saya tidak melihat filenya. Padahal file nya masih ada di Flasdisk saya. Hanya saya mengganti namannya. Dan baru saya sadari setelah saya berada di Warnet.
Langkah dan rasa lapar seolah berpacu menghalangiku. Asupan nutrisi ke otak menjadi berkurang. Hingga saya lupa membawa dompet dan telepon genggam. Kebingungan bagaimana cara nanti saya membayar terus meraba-raba. Kalau kembali, tentu akan membuang – buang waktu. Alasan lain karena saya sudah lelah. Kemudian dengan percaya diri yang dipaksakan saya mencegat seseorang yang kukenal, namun tidak terlalu dekat. Langsung saja tanpa basa-basi saya bilang saya butuh uang. Sepeluh ribu terkantongi. Lega.
Berhubung saya ikut dua PKM tentu tugas saya juga berkelipatan. Setelah selasai dengan tugas satu PKM. Saya harus bergegas mengerjakan PKM satunya lagi. Ternyata saya harus kembali menuruni tiga tangga. Nafas saya sudah tersengal-sengal. Sisi diriku yang baik terus beristighfar, kebalikan dengan sisi burukku yang dari tadi terus saja megumpat dengan menyebut beberapa nama buah. Salah satunya jambu. Kita tak perlu membahas kenapa jambu kan?
Selasai itu, aku memutuskan untuk membelikan rekan-rekanku dengan susu kedelai. Proteinnya yang tinggi mungkin akan meberikan tenaga bagi kami.
Meja yang kami pakai berantakan dengan semua barang- barang kami. kertas berserakan semaunya, proposal terpisah-pisah di tempat yang berbeda dan serangkaian alat lainnya. Rekan –rekan saya terus saja asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Saya tentu punya pekerjaan lain. Berburu tanda tangan!
Ruangan Pak Arman terlihat rapi. Jarang sekali dosen memiliki ruangan yang tersusun rapi. Itulah alasan kenapa saya selalu mengakaitkan meja yang tidak rapi dengan kecerdasaan yang dimiliki sesorang. Semakin tidak rapi semakin cerdas. Karena orang cerdas itu terlalu sibuk akan hal yang dianggapnya penting. Merapikan meja itu hanya membuang-membuang waktu. Saya tidak hendak mengatakan Pak Arman tidak cerdas. Wah dengan rasa hormat yang tidak terkurangi secuilpun. Saya adalah pengagum kehebatan Pak Arman. Mungkin Pak Arman sedang ingin disukai oleh Allah karena kerapian itu adalah keindahan. Dan Allah suka dengan keindahan.
“ Mas sepertinya idenya ini sudah pernah ada.”
Saya kemudian diam sejenak. Tak apalah pak, sekarang sudah tahap akhir. Kalau saya harus merenovasi ide tentu saya akan merombak kesemuanya.
Saya dan seno memutuskan untuk menenangkan diri dengan alasan ingin Sholat Jum’at terlebih dahulu. Saya langsung ke masjid dan Seno katanya masih ingin di Gazebo. Kami berpisah di tengah jalan. Erva dan Ayu kami biarkan mengerjakan menyelesaikan tugasnya dan menunggu kami selesai Sholat Jum’at.
Siang itu susah dibedakan dengan sore hari. Langit seolah sedang cemberut. Matahari sedang libur untuk menyinari bumi. Setting tempat berpindah ke Sosek. Semuanya sudah selesai. Tugas di estafetkan ke saya untuk mencentak dan menjilid 2 proposal sekaligus.
Saya memutuskan untuk ke percetakan paling murah. Jelaslah, saya kan bukan akan mencetak selembar atau dua lembar. Mungkin akan mencapai angka ratusan. Saya sejenak melihat dompet, isinya hanya kumpulan uang seribuan yang jumlahnya tak banyak dan receh yang jumlahnya tak kalah sedikitnya. Saya takut uangnya kurang. Saya langsung menghubungi Erva untuk memeberikan uangnya kepadaku. Erva datang dengan wajah lelahnya.
Saat print-nya hampir selesai, saya baru sadar bahwa beberapa barang tidak saya bawa. Maka saya menyuruh Erva datang lagi. Parahnya setelah Erva pergi saya baru sadar lagi ada beberapa barang yang terlupakan lagi. Tak mungkin untuk meminta Erva datang lagi. Telepon genggam Erva juga ditinggal di saya(Inikah negative efek dari the power of kepepet?). Saya juga tidak tegalah menyuruh Erva bolak-balik, apalagi tadi dia kehujanan.
Setelah semua selesai saya berjalan dengan dijatuhi hujan rintik-rintik. Helm kugunakan sebagai pengganti payung. Jilid menjilid diisi dengan berbagai macam ketinggalan. Karena saya butuh merubah filenya dari word ke PDF maka saya harus ke rental terlebih dahulu sebelum menjilid. Tempat terpisah itulah yang menyebabkan saya ketinggalan helm dan beberapa proposal milik Seno di tempat percetakan. Jantung sempat dag-dig-dug.
Ayu kuminta segera ke demawa karena sebantar lagi urusanku selesai. Langkah lunglai melaju ke demawa. Disana, ternyata demawa sudah tutup. Setumpuk proposal yang harus direvisi tertumpuk rapi di meja. Beberapa mahasiswa sibuk mencari dan bertanya. Untuk kali ini saya menikmati sofa empuk demawa. Saya sudah lelah. Inti dari semua ini adalah usahaku sedari pagi ini akan dibuang. Semua proposal yang sudah kuperjuangkan akan diedit lagi.
Uang recehku jatuh!
15 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar