Selasa, 25 Januari 2011

Perpustakaan Pribadi

Resolusi tahun 2011 adalah pengharapan. Pengharapan adalah impian. Impian adalah arahan hidup. Semakin banyak resolusi yang kubuat di tahun ini, semakin terarah pula hidupku. Aku ingin menjadi nahkoda yang baik bagi hidupku. Aku tak ingin mengarahkannya ke arah karang es untuk ditabrak. Aku juga tak akan membuat perahaku dihajar remuk oleh badai. Aku ingin mengarahkannya ke sebuah pulau singgah akhir. Kuimpikan. Selalu.
Saat membaca biografi Gola Gong dan keterkaitannya sebagai berdirinya Rumah Dunia. Aku menjadi iri. Aku bisa melakukan hal sama. Hanya aku belum memulainya. Aku tak ingin menunggu lagi. Semua sudah ada. Semua bisa segera kuusahakan. Tinggal gerakan awal nyata.
Sedikit bercerita tentang Rumah Dunia yang dibangun Gola Gong. Semua berawal pada niatan untuk membumikan budaya baca di semua generasi. Mungkin generasi muda menjadi sasaran utama. Semula diawali dengan membuat perpustakaan pribadi. Meresmikannya. Mengundang semua orang datang. Lambat laun, semakin kuat arah tujuannya menarik gerakan Rumah Dunia. Mengarahkan semua yang terlibat untuk berseni, bersastra dan apapun itu. Aku juga ingin demikian. Aku membuat sesuatu yang besar untuk perubahan besar yang baik dengan sesuatu yang kusukai- Buku, flim, fotografi dan kesenian-. Menyusul di tahun berikutnya adalah penelitian tentang pertanian dan lingkungan hidup.
Baiklah mungkin koleksi bukuku baru menginjak jumlah 200 an. Sepersepuluh dari awal Gola Gong memulai dengan Perpustakaan Rumah Dunianya. Tapi itu jumlah banyak bagiku. Aku akan merugi kalau semua buku yang kubeli dengan perjuangan hanya untukku. Semua orang pantas juga mencicipi hasil jerih payahku.
Satu masalah yang mengganjal. Aku mencintai buku. Aku memeliharanya seperti seorang kolektor burung. Tak mungkin boleh burung itu diganggu. Aku juga demikian. Aku tak ingin koleksiku yang kurawat susah payah dirusak orang lain. Aku masih belum siap melihat bukuku dikembalikan dengan keadaan halaman terkelupas, robek, sampul jelek, dll. Aku masih ingat ketika SMA aku sudah merintis perpustkaan keliling di kelas-kelas. Awalnya hanya orang yang kukenal. Lama-lama semua orang tertarik. Sayanganya mereka suka meremehkan buku-buku itu. Mengembalikannya lama, mengembalikannya dalam bentuk buruk rupa. Ini memaksaku mider keliling dari kelas ke kelas. Untuk memastikan kapan bukuku dikembalikan. Seperti terror. Aku memang pemilik buku yang meminjamkan buku secara mencekam.
Sepertinya teguran datang. Saat bukuku lemah tak melawan oleh keperkasaan rayap. Mereka buas menggerogoti halaman demi halaman. Aku tersadar semua bersifat sementara. Aku menyembunyikannya dari orang lain, belum tentu itu menjamin keamanannya. Rayap membuktikannya. Aku akan menyimpan egoku untuk arah yang lebih indah. Aku akan memulai. Tunggu kehadiran perpustakaanku!
09:19-Rumcay
05012011

Diam

Ini kejadian jum’at yang lalu, jum’at yang lalu lagi. Saat kelabilan sudah menguasai hidupku. Aura kehidupanku meredup lagi. Susah sekali meniupkan ruh kebersemangatan yang membuat hidup lebih bergairah. Bagi saya memang hidup ini sulit! Kalau mudah ya kita tak peru melakukan perjuangan. Perjuangan hanya untuk meraih hal – hal sulit, bukan hal-hal sepele. Itu alasan kenapa hidup ini sulit. Bersyukur pula dengan kesulitan itu selalu saja ada kejutan dan pembelejaran.
Mereka (Serombongan mas-mas yang selalu hadir di jum’at malamku), mengobrol dengan mulut tersumbat makanan. Mereka memesan semauanya-uang mereka memang banyak-. Mereka sumingrah padahal beban hidupnya tak kalah berat. Mereka santai padahal masalah menerpa. Mereka ceria padahal kelelahan tengah menghinggapi. Mereka bahagai padahal kantuk melanda. Aku? Oh aku, hanya duduk di pojok ruangan warung itu. Diam. Bungkam. Membisu. Aku hanya berdialog dengan teman imajinerku. Lagi-lagi aku lari dari dunia nyata saat aku tak ingin nyata.
Begitulah malam itu. Aku bisu, sedangkan mereka sibuk membicarakan masalah besar –tentu bagi mereka-. Aku tak tertarik mengikuti arus mereka. Aku hanya bergumel pada pikiranku yang menerawang di dunia fantasi buatanku. Dunia yang telah lama kubangun. Tempat kepengucutanku. Saat aku lari dalam masalah.
Aku tak tau harus berbicara apa. Buku-buku yang kubaca tak ada yang membantuku untuk mengetahui arah pembicaraan mereka. mereka berlari saat aku baru menerka-nerka. P-O-L-I-T-I-K. Kenapa masalah yang dulu tabu itu begitu dini dibacarakan mereka. Aku tak mungkin mengkomparasikan itu semua dengan politik dalam novel fiksi fantasikan? Aku tidak mungkin menjajarkan konflik politik antara manusia, elf dan kurcaci dalam The Lord of The Ring dengan politik yang tengah mereka bicarakan. Aku juga hanya terasa lampau sekali, kalau berbicara dari sastra lama dengan politik lawasnya.
Satunya penyelesaian aku kabur ke dunia imajinerku. Diam!
Aku ingin merutuki mereka karena melupakan keberadaanku. Aku ada. Aku hadir. Mereka tau itu. hanya ketidak pedulian yang membuat mereka naïf. Aku tak memaksa kalian untuk mengacuhkanku. Aku sadar dunia kita berbeda. Namun perbedaan yang membuat aku masih betah setiap malam bersama mereka. Walau aku menjadi manusia kayu. Diam.
Malam itu mereka hadir dengan kesyukuran atas pencapaian jabatan duniawi. Aku diam. Aku kagum, tapi aku hanya ingin diam. Aku sama sekali tidak iri, jabatan duniawi hanya perkara yang melelahkan. Jebakan yang kadang merenggut masa indahku bersama dunia imajinerku. Maka aku memutuskan diam. Dalam hati, aku tau mereka tidak terlalu menautkan emosional pada hubungan denganku. Formalitas. Tapi bagiku malam bersama mereka selalu memenuhi otakku dengan kenangan. Sekalipun penuh duka yang berseling tawa. Sekalipun ada lara dalam bahagia. Jadi aku memutuskan bangga pada pencapaian mereka. Aku paham itu menyiksaku dalam kesadaran sepenuhnya. Status mereka dan aku akan membuat jembatan kesenjangan yang panjangnya menyamai Tembok Raksasa China.
Aku menyesal satu hal. Kenapa mereka tak bilang kalau malam itu semuanya gratis. Aku sudah lapar. Perutku hanya terisi burjo (Bubur kacang ijo). Deretan harga mahal memngurunkan niatku. Kalau aku tau semua akan gratis, aku kan tak perlu repot menahan nafsuku. Aku lapar. Aku keroncongan. Teh hangat seharga dua ribu rupiah hanya menghangatkanku, tetapi tidak menghilangkan rasa laparku. Menyesal.
Rumcay-08:56 WIB
05012011

Serial Pingkan-Sehangat Mentari Musim Semi

Muthmainah
304 Hal, Pingkan Publishing

Kembali hadir bersama saya Papa We dalam progam Sastrawan Muda Panutan. Silakan menyimak!
Buku ini berkisah mengenai sosok pingkan yang sempurna. Kehidupan Pingkan serba menggiurkan. Kuliah di Perth gratis karena ada kakak pungutnya yang asli sana. Mendapat warisan yang tak terduga yang jumlahnya banyak banget. Keberuntungan demi keberuntungan. Kesempurnaan demi kesempurnaan beradu cepat dalam kisah Pingkan. Keislaman menjadi titik dimana Pingkan menjadi sempurna.
Kita mulai saja membahas novel remaja ini. Penulis membuat narasi dengan kalimat yang pendek-pendek. Bagusnya adalah kita tidak lelah karena disediakan banyak jeda untuk beristirahat dengan adanya banyak titik. Usut punya usut, sewaktu saya bertemu dengan penulisnya. Penulisnya mengatakan kalimat pendek untuk menujukkan bahwa Pingkan merupakan remaja dan atraktif. (Bener nggak ya? Apa saya salah mendengar?). Masalahnya hal itu terbawa ke dialognya. Kadang suka tidak rasional berbicara dengan atasan atau siapapun dengan satu kata saja. Bisa dilihat di dialog ini sebagai contoh (P.79):
“ Mana seragammu!” bentaknya.
“Ini.” Ping menunjuk baju dan celemeknya.
“Idiot!” Teriak Mr. J
“Rok!”…
“Ada.”
Rasanya sangat tidak sopan kalau dalam dunia nyata Ping selalu menjawab dengan satu kata sekalipun jawaban itu diberikan oleh orang pendiam akut. Yah walaupun memang sebenarnya jawabannya memang begitu. Tapi kalau memang dalam kehidupan penulis begitu adanya komentar saya menjadi tidak berlaku.
Saya membayangkan kalau berbicara begitu dengan ibu saya misalnya seperti dialog berikut:
“Sudah makan?”
“Sudah.”
“Mau roti?”
“Iya.”
“Duitmu masih ada?”
“Habis.”
Janggal ah!
Ada satu lagi yang sebenarnya terasa aneh (bagi saya) dan terasa alay. Penggunaan kata-kata yang niatnya adalah penguatan intonasi yang menunujukkan suatu perasaan. Tapi sepertinya cukup vokalnya saya yang poly-huruf, kalau konsunannya juga ikut poly. Terasa aneh.
Misal: kallee ( p.108), tidakkah lebih nyaman kalau kaleee?
Sekalleee (p.133)
Seddiih(lupa halaman)
Anneeh(lupa halaman)
Dalam narasi penulis juga membuat setiap kalimat hidup dengan mencoba membuat kalimat retoris untuk pembaca sehingga penulis mencoba mengenalkan kehidupan Pingkan lebih dalam kepembaca. Penulis juga menautkan emosi dan gumaman hati tokoh dalam narasi. Dengan demikian Penulis mencoba menguatkan ikatan antaranya dengan pembaca. Saya suka!
Beranjak dari segi cerita. Cerita memang dikemas dengan sederhana mengingat sasarannya adalah remaja. Saya yang masih remaja ini cukup merasakan atsmosfernya. Sayangnya saya selalu merasa risih dengan kehadiran tokoh yang sempurna dan terus-terusan digambarkan dengan kemudahan yang datang silih berganti. Rasanya membuat saya yang serba kekurangan ini merasa iritasi berat. Apakah kehidupan saya diciptakan untuk semakin menguatkan tokoh layaknya pingkan ini?
Entah karena ini adalah novel lama yang dicetak ulang atau bagaimana yang mebuat terasa FLP dulu banget. Usaha yang tidak cukup keras untuk kesempurnaan keislaman Pingkan. Baiklah hidayah Allah begitu dekat. Tapi dengan begitu rasanya penulis agak sedkit nanggung membuat perjuangan sosok Pingkan ini. Semua serba tiba-tiba. Semua serba dimudahkan. Tidak ada konflik yang benar-benar kuat. Karena Pingkan remaja? Kita ambil saja contoh dekat dari novel islami serupa. Tokoh Fahri dalam AAC dan tokoh Azzam dalam KCB. Semua mengalami perjuangan berdarah-darah untuk memperjuangkan keislamannya. Jadi konfliknya menggetarkan. Kalau pendapat pribadi saya konflik Pingkan adalah konflik datar. Bukankah Pingkan adalah sosok sempurna? Cobaan itu hadir berdasar kemampuan. Kalau pingkan yang sempurna bukankah harusnya cobaanya juga bukan sesuatu yang umum seperti itu.
Setelah pingkan berubah, berubah pulalah secara ajaib karakter pingkan yang pecicilan. Pingkan menjadi lebih kalem dan akhwat banget. Penulis sepertinya sengaja agar membuat tokoh Pingkan ini menjadi penutan bagi pembaca. Tapi dalam kehidupan nyata. Karakter itu susah dihilangkan!
Kemudian satu persatu tokoh berislam. Keislaman mereka juga rasanya juga terlalu datar. Alasan – alasan yang kurang “wah” aja. Mulai dari Beth, Tom, Diana sampai Stef.Semua karena masalah sepele. Saya lagi-lagi harus mengalah bahwa memang hidayah Allah itu begitu dekat. Haduh!!
Sosok Diana misalnya. Setidaknya banyak konflik yang bisa digali dari dirinya. Misalnya pertentangan dengan keluarganya. Eh di novel ini rasanya Diana ayem-ayem saja dengan perubahan agamanya.
Settingnya bagi saya juga kurang tergarap dengan detail. Maaf tapi lagi-lagi kalau saya membandingkan dengan Kang abik dengan kebiasaan menggambarkan luar negeri rasanya setting di novel ini terasa kurang maksimal. Kurang detail. Sedikit terasa hanya sebagai tempelan. Contoh lain adalah novel “Kalah dan Menang” karya S. Takdir Alisjahbana yang mengambil sosiolog, psikologi sampai setting jepang harus memastikan kevalidan semuanya dengan menyuruh membaca rekan-rekanya yang berkebangsaan Jepang. Padalah S. Takdir Alisjahbana telah riset dengan 50 buku mengenai Jepang dan seluk-beluknya. Itu kurang. Saya juga pernah mendengar sebenarnya Teh Mungkin Bulan juga melakukan itu. Tapi???
Terlepas dari itu kita sebagai pemula harusnya kita mencontoh hal-hal semacam itu. Risetnya harus mati-matian sehingga karya kita tidak hadir untuk membodohi pembaca.
Paling kecewa dari novel ini adalah bentuk cetakannya yang hanya berukuran kecil itu. Saya tau ini untuk menghemat biaya. Tapi kenapa harus setakut itu, bukankah novel ini sudah terjual 40.000 eksemplar? Rasanya jadi dicetak ala kadarnya. Apalagi kualitas lem pereketanya juga harus terkorbankan. Lemnya mudah sekali terlepas. Alhasil halaman mudah sekali lepas. Kecewa berat. Bagi pecinta buku halaman lepas sama halnya dengan kejahatan yang tak terampuni. Ok, mungkin kalau saya yang pecinta buku ini yang memegang pasti bisa hati hati-hati. Kalau teman saya yang pegang dan dia tak pernah punya rasa cinta yang besar dengan buku apa jadinya?!
Oh ya tokoh Pingkan yang di illustrasi digambarkan berbeda-beda. Di halaman cover beda dengan yang didalam buku. Pingkan yang berjilbab dengan yang tidak berjilbab juga beda. Seperti tokoh-tokoh yang berbeda saja, padahal semuanya Pingkan. Kadang illustrasinya juga di taruh dihalaman yang tidak tepat. Adegannya dihalaman berapa, gambarnya dihalaman berapa. Padahal illustrasi itu untuk semakin menguatkan gambaran dari isi ceritanya bukan?
Atleast, terlapas semua pendapat pribadi saya. Novel ini cukup memuat kandungan islami yang sehingga layak dinikmati, terutama oleh para remaja yang sedang mencari jati diri.
Kurang lebih demikian pembicaraan kita kali ini bersama Papa We, Sastrawan muda panutan. Kita akan bertemu lagi dengan Papa We dalam progam sastra muda panutan dikesempatan berikutnya.
Papa We adalah panggilah nama saya sewaktu SMA. Saya lagi kangen SMA, jadi saya memakai nama itu.
Rumcay-12:46 WIB
04012011