Senin, 08 Agustus 2011

Sejumput tentang Ramadhan


Hal yang paling mengusik saya kala Ramadhan ini masih mengenai pencarian kos. Apa ya…Bagi saya mencari kos itu sulit! Saya bukannya ogah-ogahan untuk mencari kos. Saya berjuang untuk itu. Saya keliling satu tempat kos satu hingga tempat kos yang lain. Bahkan saya sempat membaca tutorial bagaimana mencari kos yang baik dan cepat di internet. Sayang hasilnya masih nihil. Ada tempatnya, hati yang nggak ada. Ada hati, tempatnya yang nggak ada. Apalagi mencari kos di waktu sekarang-sekarang ini sudah menjadi kesulitan karena sudah banyak dirombong oleh mahasiswa baru. Oh dalam keadaan seperti ini saya semakin merasa RumCay adalah sebaik rumah yang pernah kusinggahi. I love so much.
Untung tiga hari ini saya merasa terhibur dengan keasyikan Ramadhan. Biasanya saya menghabiskan waktu dengan menonton dorama, tilawah, tidur, kajian lalu mengulang kegiatan tersebut  lagi untuk hari itu dan keesokan harinya. Dan inilah daftar tersebut secara urut:

Pertama kalinya makan masakan aceh,

Saya memesan mie aceh cumi, roti cane es krim strawberry dan milk shake cokelat. Mie aceh cumi itu mie yang bumbu rempahnya terasa kuat sekali. Ketika kita makan, sensasi dimulut adalah fusi antara rasa dan bau yang tajam. Pedas yang dipakai bukan menggunakan cabai tapi merica. Mienya sendiri memang membuat kenyang. Baru setengah piring saja, perut rasanya sudah terisi penuh. 



Berbeda dengan roti cane. Roti cane itu adalah roti yang bisa dimakan dengan berbagai macam aneka rasa. Bisa di saji dengan gulai kambing-akan memeberikan rasa manis dan pedas-, bisa di saji dengan es krim – akan memberikan rasa manis dan manis-. 


Banyak komentar kalau beda daerah beda lidah. Itu sebabnya teman-teman saya yang notabene orang jawa kurang begitu cocok dengan masakan aceh karena selera rasanya jauh berbeda. Untungnya saya sih oke aja dan sungguh menikamatinya. Mungkin harganya saja yang kurang bisa dinikmati. He…

Pertama kalinya saya sholat terawih melahap 1 juz,

Percaya atau tidak bagi saya ini kebetulan pangkat tiga. Waktu diskusi menentukan dimana kita akan terawih setelah dari buka bareng. Terselip dua nama masjid, Jogokaryan dan Kauman. Saya sebelumnya sudah tau kalau Jogokaryan imamnya selama seminggu akan diisi oleh syekh dari Palestina. Itu alasan kenapa saya lebih getol menolak di sana. Soalnya takut lama. Dan mati-matian memilih masjid Kuaman saja.

Awalnya semua berjalan sesuai rencana. Terawih di Kauman memberikan sensasi kuno yang secara tidak sadar membuatku nyaman. Terawihnya terasa sedang wisata. Sampai semuanya berubah saat seorang pembicara maju (ustadz Fani kalau nggak salah). Intinya sih mengatakan bahwa kita akan sholat terawih satu juz. Saya langsung menggumam dengan ekspresi yang sangat terkejut, what? 1 juz?  Geblek salah tempat nih.

Dan kebetulan pangkat tiganya adalah ternayata di Kauman imamnya juga syekh dari Palestina. Dan kalau melihat ada Ustadz Fani di sana, bisa jadi syekh Palesetina yang di Kauman itu yang harusnya di Jogokaryan. Bukankah ini menerima apa yang ditolak?

Kalau berbicara bagaimana rasanya. Saya merasa tidak khusuk! Mungkin iman saya yang memang belum sampai tahap 1 juz. Tapi betapa lamanya kita berdiri membuat pikiran saya punya banyak waktu mengembara kemana-mana, kaki saya seolah harus terpaksa bergerak, mata saya memandang sekitar dan mengamati keadaan sekitar -hampir semua kaki jama’ah selalu bergoyang-. Pokonya kalau diibaratkan rasanya hampir sama seperti di upacara. Kita berdiri dalam rentang waktu yang bisa dikatakan lama. Setelah semua berakhir, saya (pribadi) merasa sudah sok pantes masuk surga saja. He…

Pertama kalinya saya (mau) merasa dekat dengan teman liqo’,

Bagi saya Seno dan Atna memang dua orang yang cukup paling bisa mengimbangi keeksentrikan gaya saya. Mungkin karena mereka juga eksentrik. Atna yang golongan darah A banget dan Seno yang culun nan bersahaja.

Kalau ketemu isinya memang hanya saling menghina, saling menjatuhkan, dan  ngobrol nggak penting. Memang sih hidup saya hanya berisi kolaborasi hal-hal tersebut. Tapi mau bagaimanapun itu menyenangkan bagi saya.

Saya dan Atna berkunjung ke tempat KKN nya Seno. Saya sampai detik terakhir masih saja bingung. Memang kita mau ngapain sih di sana?Tapi dari siang sampai buka bareng di sana, terasa begitu special. Walau melakukan hal-hal tidak penting tetap saja menarik dan menyenangkan. Melihat Seno yang terlihat sedikit lebih gemuk, adu mulut dengan Atna, sampai ghibah kemana-mana -ups!-. Bagi saya kemarin menjadi salah satu episode paling berkesan dalam hidup saya. Apalagi dimalamnya saya mendapatkan dua sms dengan waktu hampir bersamaan dari mereka berdua.

“Great day with Wisnu and Seno today! Semangat mengumpulkan tiket surga di ramadhan ini! Fighting!” ( Atna, 070811 22:08). Ini dikatakan oleh Atna yang setau saya jarang mengungkapkan rasa suka-benci-marah-bahagia-kecewa-lega atau perasaan lainya secara eksplisit. Dan Atna telah menjadi penolong saya pada akhirnya. Untuk sementara, saya bisa mengungsi di rumahnya sampai saya mendapatkan kos yang layak. Lega. Dari sekian banyak teman saya, saya cukup terkejut Atna lah yang mau menolong saya.

“Makasih bnyk whisnu untk semuany hari ini.,,,insyaAllah smgt ku menyala lg., jazakumullah..”(Seno, 070811 22:12)


Intinya ternyata bukan saya yang merasa GR sendiri bahwa kemarin adalah hari yang menyenangkan. Tapi kalian berdua juga. Terimakasih ya!
~We~


Kamis, 04 Agustus 2011

Rehat Sejanak, Art 11 Jogja

Bersama Atna saya akhirnya bisa ngeluyur. Setelah berlelah-lelah mencari kos yang tak kunjung berhasil ( depresi berat).
Hari ketiga saya di Jogja yang kebetulan menjelang puasa. Jogja sedang ada gawe yaitu Art 11 Jogja. Agenda seperti ini hampir ada setiap tahun. Bagi pecinta seni, Art Jogja bisa jadi yang paling ditunggu. Pameran karya seni yang kadang di luar nalar manusia biasa. Memang seni itu menuntut “gila” karena orang gila imajinatifnya tidak terbatas. Dan tentu saja sense yang sensitif untuk menyedu keadaan sekitar menjadi sentilan.
Di halaman luar kita akan melihat patung ukuran raksasa yang sebenarnya cute. Namun wajah nya diretakkkan. Kalau biasa saja pasti akan dikatakan bagus, tapi kalau terlihat tidak biasa baru bisa dikatakan “seni”. Seni kan memang karya yang menampilkan hal-hal yang tidak biasa. Sejenak saya juga melihat proses kreatifnya. Wah…Untuk membuat ini, benar-benar dilakukan usaha serius. Sampai melibatkan bulldozer segala.

Seni itu ungkapan kebebasan. Memang begitulah seniman mengungkap kesenian.  Sebut saja mengenai sex. Sex bukan barang yang harus dibuat tabu. Seolah sex adalah realita biasa. Saking biasanya sex sudah disetarakan dengan kegiatan lain semisal belanja, makan, atau bekerja.


Seni itu absurd. Banyak dari lukisan atau patung atau apaun yang dipamerkan, kadang membuat kita harus melihat dari berbagai sudut untuk bisa menerjemahkan maknanya. Bagi saya lukisan absurd semakin dilihat semakin membingungkan.


Khusus di Art 11 Jogja seni juga diartikan sebagai teknologi. Ada beberapa pameran robot atau setidaknya replika robot atau sesuatu apapun itu yang menggunakan tekhnologi. Ada satu robot yang dibuat seperti sedang orchestra jawa. Kalau dinyalakan maka lampu akan menyala, lalu setiap gendang akan menabuhkan bunyi “bum…bum”. Ada juga replika robot dalam berbagai bentuk dan ukuran mini.






Menjelang pintu keluar -kalau menurut rute ku-. Kita akan disuguhi layar LCD yang berjajar. Isinya adalah video Toni Blank. Haha…Bang Toni ini kalau ngomong ngasal tapi seolah apa yang diomongkan serius. Jadi apa yang dibicarakannya lucu dan nyindir, tapi raut wajahnya seolah mengatakan “aku mengatakan sesuatu yang benar dan berat!”. Tidak semua lucu dan fiktif sih, ada beberapa pandangan Bang Toni dalam melihat gejala lingkungan memang benar adanya. Kalau sudah gitu sedikit…terlihat arif. Video Toni Blank juga bisa dilihat setiap hari selasa di youtube.



Terlepas dari semuanya. Art 11 Jogja selalu menarik. Yah...karena gratis juga.he…karena seniman itu bukan gila uang kali ya? Bagi mereka apa yang mereka buat bisa dinikmati orang, sudah menjadi apreasisasi terlayak. Walau kadang apresiasinya dalam bentuk kalimat “Ini apaan sih?” atau “Kok aneh banget ya?” Tapi bukankah seniman itu memang cuek dan eksentrik?









~We~
28072011
Ditulis, 05082011

Pertama Kali Terbang di Udara

Inget persis staun lalu pngalaman naik psawat trbg prtama x dri minangkabau k cengkareng. Pulg tgh mlm naik prima jasa, djmput papa dni hri d plataran mal. Sampai rumh lgsg ngluarin olh2 trus tidur ga mndi. Smntr itu kamu mlh kmalangan, he…
(SMS dari Mbak Dyah, 18 Juli 2011 22:30 WIB)


Wah iya, sudah satu tahun. Benar-benar berlalu cepat sekali. Satu sms dari Mbak Dyah yang masuk mengunduh memori lama saya untuk bangkit. Perjalanan tentang Bandung dan Padang.


Setahun yang lalu, hanya dengan rencana ala kadarnya saya dan dua rekan memutuskan untuk menghabiskan liburan dengan pergi ke Bandung dan Padang. Tujuannya selain berwisata adalah untuk berkenalan dengan keluarga masing-masing.


Senang rasanya bisa berkunjung dan membuka pelataran suatu tempat baru untuk pengalaman. Bisa mencicipi pengalaman demi pengalaman dari satu daerah ke daerah berikutnya. Mulai dari pengalaman pertama kalinya bisa melihat Bandung dengan kemacetan Jalan Dagonya. Pengalaman pertama kalinya menapak pulau Sumatra. Berlayar malam hari dari pelabuhan Merak ke Bakahuni. Menghirup udara Lampung. Melihat jajaran karet, Jati dan Kelapa Sawit berjajar di hutan. Memandang Rumah berjarak teramat lebar antara satu sama lain. Mendengar Bahasa yang terdengar asing.


Di Padang waktu yang kita habiskan sangat lama. Saya bisa mejelajah hampir seluruh objek wisata di Sumatra Barat. Mulai dari Istana Pagar Ruyung yang tengah direnovasi akibat terbakar setalah tersambar petir. Bukit Barisan yang meliuk-liuk. Jam Gadang tegak putih menjulang. Pantai-pantai di Pariaman yang berpasir putih, sepi dan sepoi. Semua adalah tempat baru yang sebelumnya mendengar saja belum pernah.


Begitu juga dengan kuliner. Kadang antara satu tempat dengan tempat yang lain punya makanan yang sama. Kemasan dan namanya saja yang berbeda. Seperti picel, di Padang begitu sebutannya. Kalau di Jawa di sebut Pecel. Saya mencicipi berbagai macam kuliner yang karena namanya asing banyak yang saya lupa. Satu yang paling berkesan tentu saja saat bisa mencicipi masakan Padang di Padang. Dan di sana rumah makan Padang tak perlu mencantumkan nama Padang di papannya.


Ciri khas masakan Padang adalah bersantan, gelap dan pedas. Rasanya semua masakan harus diolah sebagai balado. Telur balado, ayam balado, daging balado, udang balado, ikan balado, hingga tempe dan tahu juga diolah balado. Dan itu jadi menu setiap hari. Bagaimana kolestrol mereka tidak bermasalah?


Untuk pertama kalinya juga saya bisa terbang dengan pesawat terbang. Saking euforianya kami sempat hendak ingin membuat video lipsing dari lagu tell me why yang pernah dipopulerkan backstreet boys.
Bertambah tinggi suatu tempat semakin tinggi pula tekanan udaranya. Semakin berat hemoglobin kita untuk bekerja. Gendang telinga akan mengalami tekanan yang lebih tinggi- salah satu alasan kenapa bayi yang belum cukup umur dilarang naik pesawat. Entah karena saya kurang sehat atau apa. Tapi waktu hendak lepas landas. Saya mengalami tekanan di telinga yang menciptakan rasa sakit sekali. Tidak ada dengungan. Hanya terasa seperti ditusuk sesuatu. Meski sempat mengalami hal kurang menyenangkan, Alhamdulillahnya tidak terjadi apa. Gendang telinga saya masih sehat sampai sekarang. Penerbanganp pertama dinyatakan berhasil.


Sesampainya di Bandara Sukarno-Hatta kami berpisah. Saya terpaksa tidur di masjid yang ber-AC karena sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan. Karena sendirian, tidurpun jadi was-was. Tas, saya usahakan selalu dalam dekapan erat tangan. Selalu was-was dengan orang asing. Nasib malang saya waktu itu memang sulit terelak. Sudah sedimikian berusaha dengan keras menjaga semua barang. Sepatu saya masih bisa raib juga-Oh, ini kehilangan sepatu ke sepuluh selama saya kuliah. Akhirnya saya terpaksa mencuri sepatu masjid bandara (kondisi saya sungguh sangat memaksa saat itu). Tidak mungkinkan saya berjalan tanpa alas apapun? Sandal masjid walau sebenarnya juga tak layak pakai (sudah terpotong bagian paling atas yang sepertinya dipakai untuk penanda) tetap saja bagi saya sandal tersebut sangat berjasa.


Belum berhenti kemalangan saya. Di stasiun, selang bebarapa saat setalah saya mendapat kabar bahwa ATM saya sudah di transfer uang untuk beli tiket pulang naik kereta. Saya merogoh saku saya. Sampai sedalam tangan saya bisa merogoh. Kosong. Lemas kaki ini menopang tubuh. Saya bersandar menenangkan diri. Untungnya telepon genggam saya tidak ikut raib. Kalau ikut raib, saya sungguh tak akan pernah bisa membayangkan kelanjutan hidup saya.


Alhamdulillah pertolongan Allah datang melalui  Mas Anggoro. Mas Anggoro meminta saya untuk ke rumahnya terlebih dahulu. Naik taksi hingga menguras argo sampai seratus ribu (kalau PP, tinggal dikali dua saja). Saya sempat mengalami kesulitan untuk masuk perumahan Mas Ang. Satpam menahan saya karena saya tidak punya janji, saya jelas tidak punya KTP. Untungnya Mas Ang cepat bertindak dengan mengatakan saya adalah tamu papanya. Oh sungguh saat itu saya merasa sebagai orang penting saja.


Saat melihat sandal (curian) saya yang sudah buluk. Ibunya Mas Ang sempat menghina. Awalnya saya sempat malu untuk mengakui. Dengan terpaksa saya mengakui dengan malu-malu. Sandal itupun dibuang dan saya dikasih sandal jepit yang lebih layak. Saya juga dikasih kesempatan berkunjung ke resort milik keluarga mas Ang. Tentu saja akhirnya saya dipinjami uang untuk pulang. Saya memang selalu malu setiap menjadi beban orang lain. Di sisi lain kondisi yang serba kesulitan mendorong paksa hati dan mulut saya terus berkomat-kamit mengucap syukur.
Sungguh disetiap kesulitan selalu ada ruang untuk kemudahan. Dan Allah selalu dekat dengan hambanNya yang tercekik kesulitan.


Semua yang terjadi saat itu baik kecewa atau bahagia, duka atau suka, amarah atau kesabaran semua telah menjadi satu paket istimewa dalam warna pengalaman hidup saya.


Nb: Terimakasih untuk Mbak Isti dan Mbak Dyah, rekan perjalanan yang menyenangkan. Kepada keluarga Istanto yang mensubsidi biaya pesawat, jamuan selama disana, biro perjalanan keliling Sumatra Barat, dan rumah untuk singgahnya. Juga kepada keluarga Mbak Dyah yang sudi mengantar kami hingga ke Bandung (walau memang kebetulan), rumah singgah, dan bubur ayamnya. Kepada keluarga Mas Anggoro yang mau meminjamkan uang demi bocah nelangsa ini untuk kembali pulang.
Mengenang satu tahun perjalanan Bandung-Padang.

Istana Pagar Ruyung Baru
Istana Pagar Ruyung yang tersambar petir

Padang di terminal ANS

Salah satu pantai di Pariaman

Becak motor

Rumah makan di Pariaman

SMAN 1 Padang pasca gempa

di pasir pantai mengukir nama

Sate Padang

Di pantai malin kundang

di jembatan sebelum pantai salido

Bukit bintang Pariaman

 di Kapal, kita bikin video lipsing

Rumah keluarga Mbak Isti yang konon usianya 100 tahun lebih

Jam Gadang

Pemandangan di Bukit Barisan

Jembatan Siti Nurbaya

ATM disana bentuknya rumah gadang

di Prasasti Malin Kundang (sebenarnya dilarang foto)




Selasa, 02 Agustus 2011

Mengingat Hasan dan (Bukan) Husein





Hasan untuk semua hal dimasa lalu, tidak ada kebijaksanaan sebelum terlahir kata maaf dan terima kasih untukmu.


San, jarak dan waktu terlalu berterus terang pada keadaan kita. Kalau selama ini kamu di Kediri, aku selalu menganggap kamu biasa-biasa saja. Ketika sekarang kamu pergi menuju satu pengharapan baru di kota Kuta. Aku baru sadar akan makna kehadiranmu untuk selama ini. Tidak ada perbicangaan tentang hidupku tanpa memperbincangkan keberadaanmu. Sungguh.


San, dua tahun kita akan berpisah. Walau dua tahun menjadi bilangan waktu semenatara, bagiku tetap saja akan berjalan terlalu lama. Kamu tau betapa kadang butuhnya aku terhadap kehadiranmu dan seluruh bantuanmu.
San, kalau kamu masih mengingat awal kita ketemu. Semua di mulai di Bali, saat kita studi tour. Ingat kan? Kita satu bus, aku masih ingat kita bus urutan lima. Aku duduk dengan dua orang karena berada di kursi posisi tiga orang. Kamu tepat di belakangku. Iya,kita saling mengenal sejak kelas dua bukan sejak awal kita sekolah. Begitulah kadang takdir bekerja di luar kinerja nalar kita. Kita hanya actor untuk sebuah scenario besar yang dibuat sutradara Yang Maha Agung.


San, entah bagaiamana urutan kejadian hingga kita bisa mengenal sedekat ini. mungkinkah karena sesederhana bahwa kita adalah sama-sama pelanggan Tiara- toko penyewaan komik langganan kita itu? Saya pikir tidak! Tentu saja bukan itu.


San, kelas tiga menjadi fase hidupku yang teramat menguras semua energi. Amanah sebagai ketua organisasi, tugas yang menumpuk, ujian akhir, serentetan tes lainnya, masalah dengan seseorang yang paling dekat denganku (kamu tau lah), masa depan jenjang pendidikan selanjutnya, hingga masalah persinggungan konflik dengan jamaah liberal. Semua menguras waktu, kesabaran, tenaga, dan pikiran. Dan…satu-satunya yang tau dan yang selalu meopang pundakku untuk tegak saat itu hanya kamu.


San, masih ingatkah ketika istirahat pertama berbunyi? Akulah yang menentukan kemana kita berdua akan jajan, atau kemana kita akan menghabiskan sisa waktu, atau kamu yang menungguku untuk berangkat ke masjid. Bukan sebaliknya. Ketika bel istirahat kedua, lagi-lagi aku yang menentukan kemana, apa, dan bagiamana kita akan mengisinya. Kamu hanya pengikut yang patuh dan sedia dengan segala keputusanku itu. Aku tau, aku tidak cukup memberikan hak suaramu untuk berpendapat. Aku begitu dominan untuk semua keputusan. Kamu jarang menjadi pembicara dalam setiap obrolan, akulah yang menyuapimu dengan semua keluh kesah hidupku. Tapi satu hal yang kita sadari bersama kita memang saling membutuhkan dan saling bertautan satu sama lain.


Ingatkah ketika kita makan, maka bagi kita uangku adalah uangmu. Tidak ada bedanya siapa yang membayar, semua tidak perlu ada perhitungan yang rinci.


San, untuk sekian tahun bersamamu. Beberapa lembar kertas tak akan pernah mewakili semuanya. Mustahil untuk menyesakkan semua yang terjadi dengan kita hanya dengan kata-kata. Banyak yang tersurat dari pergaulan kita. Namun juga banyak yang tersirat. Disitulah letak sulitnya untuk mendokumetasikan dalam bentuk kata-kata atau apapun, kecuali hanya kenangan.


San untuk banyak hal, aku menyadari tidak ada sahabatku yang mau semengerti dirimu kepada segala macam busuk peringaiku. Hanya kamu san, bukan orang-orang yang selama ini kuanggap hebat. Memang aku tidak pernah adil denganmu. Aku menakar semua dari batas yang kubuat, bukan berdasar kenyataan yang berbicara. Maafkan aku untuk itu.


San, dua tahun lagi. Aku akan meraih gelar sarjana. Dan jika takdir selaras dengan ambisiku. Aku mungkin langsung ke jenjang studi yang lebih tinggi lagi. Di Indonesia atau bukan aku sudah tak terlalu ambil pusing. Aku tau setiap aku berbicara tentang kuliahku. Ada dengung iri di hatimu. Tapi kamu menyimpannya dalam-dalam. Semua karena kamu ingin mendengarku berbicara. Terlebih memuaskanku. Aku tau nasib selalu saja seperti teka-teki silang. Susah untuk menebak semuannya. Meski itu mungkin. Percalah dua tahun ke depan kamu juga akan menjadi pribadi yang berbeda. Bukan karena standar jabatan, materi, dan gelar. Namun untuk semua kesetiaanmu pada persahabatan panjang kita.


San yang aku tau, aku memang tidak pernah akan menjadi Husein untukmu. Tapi untukku, kamu adalah Hasan untukku.


Bagaiaman kerjamu di Kuta? Aku di Jogja menghabiskan ramdahanku bersama bergumul masalah yang harus diselesaikan, kamu tau aku selalu tidak sendiri. Hanya aku yang kurang menyadarinya saja? Doaku untuk malam panjangmu disana.