Kamis, 25 Februari 2010

Resiko Kontrakan Murah?

ah mungkin sudah jadi resiko kalau ngontrak dirumah dengan harga murah. Pasti ada saja penderitaan yang akan kita rasakan. Paling parah ya waktu hujan. Kalau musim kemarau sih gak terlalu karena kontrakanku berada di daerah pedesaan dan sebelah perumahan elite. Apalagi banyak pohon besar yang tumbuh dihalaman rumah. Jadi panas mah bukan masalah.
      Beda banget kalau musim hujan. Bawaannya jengkel melulu. Lihat air menetes dari semua bagian sudut rumah. Dari ruang tamu, kamar-kamar, ruang istirahat, dapur sampai kamar mandi. Ini membuat kami tak bisa memasak di kontrakan, walaupun ada kompor sekalipun. Yang bikin emosi lagi kalau waktu mandi turun hujan. Serasa ada shower otomatisnya aja.
     Air yang menggenang di lantai juga bikin tambah jengkel. Gimana gak? Kan otomatis keadaan itu membuat kita harus ngepel setiap hari. Selain itu kontrakan jadi terkesan kumuh banget. Harus rajin-rajin nge-check barang-barang juga, siapa tau aja ada yang jadi korban. Aku sampai takut bayangin kalau waktu tidur, tiba-tiba kontrakanku rubuh. GEDUBRAK!!!Takut bayanginnya!?
     Kalau musim hujan juga sering terjadi pencemaran kamar mandi. Kran buat air mandi soalnya dapet bonus lumut hijau yang seger. Hiiiii, jijay banget. Malah aku pernah gak sengaja mendengar kalau kontrakan belakang kontrakanku pas lebih parah lagi. Di sana katanya sering muncul cacingnya. Oh noooo!!!
      Baru beberapa hari yang lalu saat ingin beli lemari baru, aku semakin tersadar kalau kamarku itu begitu sempit banget. Padahal kupikir barang-barangku tak terlalu banyak juga. Cuma ada dua rak buk, satu meja belajar+kursinya,  satu kursi  lagi dan satu kasur kecil. Udah itu doang.
      Pohon besar dihalaman rumah, di satu sisi menguntungkan karena membuat teduh saat musim panas. Disisi lain itu juga membuat penderitaan tersendiri. Secara, kalau lagi rontok daunnya sering membuat bongkok badan ini karena harus menyapu setumpuk daun-daun kering yang jatuh plus buahnya. Memang tak bisa menafikkan kata pepatah yang bilang “ada harga ada barang”.
    Atleast, memang banyak derita yang harus dihadapi di kontrakanku. Tapi bagiku kontrakanku adalah istanaku. Banyak hal yang membuatku selalu merindukannya. Ketika kadang hati ini terasa penat, beristirahat di kontrakan juga bagian terapi yang yahut. Duduk di teras di sore hari sambil menyedu secangkir teh selalu membuatku merasa dama(walau kadang-kadan doang). Saat malam bisa membaca Al Qur’an di teras juga jadi bagian memoriku yang tak akan sanggup kulupakan. Canda tawa, ketenangan, perhatian dan kasih sayang juga hal biasa yang kurasakan di kontrakanku.

Peran di Balik Layar

Mikata ga iru to
Kanjita toki ni
Daremo ga kawaru
Tsuyoku naru naru kara
Karena saat aku merasa ada kawan
Semuanya berubah dan menjad tegar
( Tactics ED by Miki Akiyama)
Awalnya kupikir menjadi editor itu akan membuatku merasa penting. Tak salah memang, tapi juga tak sepenuhnya benar. Banyak hal yang berat yang harus menjadi konsekuensi sebagai editor. Walau begitu menjadi editor masih menjadi profesi yang kusuka.
Aku terpilih menjadi editor pada buku ini, sebenarnya bukan karena alasan yang cukup membuatku bangga. Bukan karena aku adalah penulis dengan banyak karya. Bukan pula karena aku adalah lulusan dari jurusan yang cocok dengan profesi editor. Tapi tak lebih alasanya hanya karena aku adalah anggota FLP. Sebuah organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia. Sepele. Namun aku tak terlalu memperdulikannya. Bagiku posisi editor adalah tawaran menarik. Tawaran yang selama ini kuimpikan. Meski bukan sebagai editor professional. Ah, aku sudah sangat merasa cukup.
Kalau sebagai penulis masalah-masalah yang akan mengganggu kita adalah masalah intern. Berbeda halnya dengan menjadi editor, masalah – masalah yang muncul adalah karena masalah eksternal. Sebut saja anggota yang tak kunjung mengirimkan karya. Susah sekali untuk memotivasi untuk mereka agar menulis. Setidaknya mau memulai menulis. Ada saja alasan mereka, sibuk inilah, sibuk itulah, ada acara inilah, ada acara itulah. Pokoknya alasannya bhineka tunggal ika. Beraneka ragam tapi tetap satu jua yaitu gak mau menulis.
Hal itu menjadi tantanganku sebagai editor. Butuh ketelatenan, sabar dan semangat. Alhasil mendekati dealine, aku harus rajin menghubungi mereka. Sekedar menanyakan sejauh mana menulis atau sudah tahap marah-marah karena hanya termakan janji-janji dari anggota kalau mau mengumpulkan. Padahal tak ada satupun karya yang terkumpul. Ok, belajar untuk sabar. Ujian awal.
Selain masalah eksternal, masalah internal juga menjadi masalah yang juga membingungkan untuk diselesaikan. Mulai dari malas untuk mengoreksi berlembar-lembar halaman. Karena dituntut harus mengamati kata demi kata dengan sangat jeli. Tak boleh teledor. Tanda baca yang kecil-kecil juga kadang menyulitkan, karena sering luput dari pengamatan. Manahan emosi ketika tau kalau 1 karya dibuat dengan bahasa SMS mutlak. Walah jadi banyak banget yang harus di edit, hampir semua malahan yang harus diedit. Seenaknya menulis hanya huruf konsunan aja. Aduh, mata ini terasa pedas. Namun tuntutan yang paling besar, sebenarnya adalah tuntutan untuk belajar menjadi seorang editor. Bagaimana harus paham di luar kepala tentang penggunaan EYD yang benar. Bagaimana memahami alur logika dari penulis yang terkadang susah untuk dimengerti. Atau bagaimana merubah tulisan tapi tak membuatnya kehilangan esensi yang disampaikan penulisa. Berat.
Saat mendekati proses percetekan menjadi hari-hari berat bagiku sebagai editor. Tulisan masih banyak yang baru dikirim. Janji di obral terus. Semakin rajin dituntut untuk sms semua anggota agar segera mengumpulkan tulisan. Menjadikan aku rajin di depan laptop hingga berjam-jam. Wuih, mata ini rasanya sudah sangat jenuh. Aktif mengechek email, hampir setiap jam berselang mungkin. Menunda berbagi tugas kuliah dan tugas organisasi. Harus dengan sabar menaggapi berbagi pertanyaan dari anggota. Menahan emosi ketika sudah diteror oleh panitia agar segera menyelesaikan buku ini biar segera diterbitkan. Menjemukan.
Tak berimbang kalau sedari tadi aku hanya mengeluh. Menjadi editor ternyata mengajarkanku banyak hal. Mengajarkanku tentang profesionalisme. Membuat aku belajar makna disiplin. Memahamkan aku banyak kisah yang selama ini tak pernah kudengar sebelumnya. Semua kuanggap menjadi suatu bagian yang menyenangkan. Pastinya merasakan sejenak menjadi editor. Jadi keranjingan juga. Tapi belum ada wadah lagi sepertinya. Dan harus kembali lagi menjadi seorang penulis. Semangat menulis.
Kejadian yang akan ku kenang adalah saat tulisan sudah harus diformat dengan rapi dan besok proses editing harus selesai. Karena besok akan diproses ke tahap berikutnta. Tahap penyuntingan bahasa.
Sebagai editor aku merasa sudah mengerjakan tugas dengan cukup rajin. Selama seminggu bersemedi, mencari ketenangan di Perpustakaan pusat UGM untuk mengedit semua karya yang sudah terkumpul. Tapi karena yang kumpul berangsur-angsur, tidak secara serempak. Maka terpaksa baru bisa di koreksi secara penuh saat hari H-1. Dengan jumlah karya sebanyak 33 karya dan 130 halaman. Alhasil selama sehari penuh berada di depan laptop. Lembur. Bener-bener mati- matian buat mengerjakan ini.
H-1 kebetulan bertepatan dengan diselenggarakannya TK 3 KMMP. Jujur, sebenarnya sama sekali tak punya niatan untuk ikut. Tapi, kesalahan konyol terjadi. Sebelum hasil editanku di save. Aku dengan gegabahnya mencabut secara paksa flasdisku dari laptop. Alamak, data tak tersimpan. Raib begitu saja. perjuanganku sejauh ini musnah. ah, tidak.
Tapi saat itu bener-bener tak ingin menjadi sosok yang cemen. Merasa yakin bisa mengulanginya lagi dari awal. Menganggap ini bukan masalah tapi tantangan. Karena harus mengumpulkan semangat-semangat yang sudah roboh. Aku memutuskan untuk rehat sejenak mengatasi kejenuhan. Ku pustuskan ikut TK 3 KMMP. Terpaksa juga sih.
Singkatnya setelah ditelantarkan panitia karena baru datang malam buat ke acara. Aku sampai ditempat acara pas malam hari, sesi istirahat. Tepat banget. Yang lain tidur aku lembur mengerjakan ini ( Sebelumnya membeli kopi buat senjata mengatasi kantuk dan sedikit sugesti ”JANGAN TIDUR!” -dengan nada suara mirip Rommy Rafael-).
Wuis keren banget. Yang biasanya jam 9 malam adalah waktu untuk bobok malam. Saat itu sama sekali tak memejamkan mata. Gak mengantuk sama sekali. Tekad ditambah sugesti. jadi obat yang cukup manjur ternyata.
Nah, pas malam-malamnya sendirian di masjid dengan duduk bersila. Lampu masjid dimatikan oleh panitia. Merasa sama sekali tak di hargai. Padahal sebenarnya sudah mendapatkan konpensasi terhadap acara ini dari mas’ul. Tapi hati lagi tak terlalu tertarik untuk mendebat. Merasa harus menghargai para panitia TK 3 karena mereka pasti juga kelelahan untuk menyiapkan acaranya agar berjalan dengan lancar. Sama-sama menghormati. Walau harus meraba-raba key pad karena tak terlihat atau menggunakan HP sebagai alat bantu penerangan. Cukup, ini bukan halangan. Sama sekali bukan.
Awalnya merasa semua berjalan normal. Eh pas malam semakin larut, semakin larut dan paling larut. Suasana mistik jadi membingkai kerja lemburku. Mulai suara cicak, suara dua burung hantu di tempat yang terpisah, mereka mengeluarkan bunyi yang saling bersahutan, sampai suara anjing mengonggong. Serem. Tapi gak pakai merinding. Biasa aja tuh.
Suasana semakin tak beres aja. Semakin aneh, otakku sudah terhasut oleh ketakutan. Itu mensugestiku akan hal-hal yang tak wajar. Mulai merasa mendengarkan perbincangan dari kejauhan. Merasa diawasi sesosok bayangan hitam. Halah, otakku lagi tak normal aja nih. Logikanya lagi tak lancar. Takut juga sih. Sempat pengen membangunkan teman agar mau tidur di sebelahku ( maklum aku duduk berjauhan dengan teman-teman karena laptopnya cuma bisa dipasang ditempat itu). Tapi kalau aku lakukan itu, rasanya itu terlalu cemen. Kan tadi sudah berkomitmen, sedang tak ingin jadi orang cemen. Jadi, tetap fokus dan jangan hiraukan apapun yang terjadi. Semangat tak menipis. Pagi hari aku tersenyum, aku baru tau kalau masjidnya dekat dengan kuburan. Adakah hubungannya?
Besoknya masih saja ada anggota yang mengumpulkan karya. Tak apalah. Kasihan mereka pasti juga sudah susah payah untuk membuat itu. Proses editing terus berlangsung. Semangat masih tak akan padam sebelum karya ini bener-bener sudah sempurna dan sampai ditangan penyunting. Satu lagi, sebenarnya hasrat untuk menangis begitu besar. Tapi sekali lagi kukatakan aku sedang berkomitmen tak ingin jadi orang cemen. Kusimpan air mataku sampai karya ini selesai. Setelah itu pengen nangis sepuasnya. Nangis sejadi-jadinya.
By the way, Menyedihkan bagiku karena editor selama ini menjadi suatu profesi yang cukup mudah untuk dilupakan. Ketika sebuah karya dari penulis itu sudah melejit menjadi terkenal, maka editor menjadi orang yang akan segera dilupakan. Namanya sering tak disebut ketika buku itu berubah menjadi best seller. Terlupakan begitu saja. Padahal tanpa adanya editor mungkin saat ini kita tak pernah merasakan nikmatnya membaca buku-buku berkualitas digenggaman kita , seperti saat ini.
Huft, sudah saatnya kita menghargai orang-orang yang berperan dibalik layar. Yang selama ini mereka tak muncul secara langsung. Tapi mereka memberikan sebuah peranan besar. Bukan sebuah penghargaan. Cukuplah hanya sebuah pengakuan. Seperti itulah harapanku dengan buku ini. Bukan untuk dianggap berjasa. Hanya saja ingin agar buku ini menjadi sebuah suguhan yang tidak mengecewakan bagi anda yang saat ini sedang membaca. Terimakasih untuk semua yang selama ini bekerja sama dengan baik. Arigatou Gozaimasu.
13Desember2010

Bentuk Kasih untuk Ibu?

cerpen click di sini nih!
WD Yoga, penulis buku Ledgard


Selamat Hari Ibu. Ucapan itu sering terdengar saat menginjak bulan Desember. Pada bulan ini, bangsa Indonesia meletakkan sebuah hari penghormatan bagi para Ibu; Ibu yang berjasa melahirkan para pahlawan. Ibu yang berkorban membesarkan orang-orang besar. Ibu yang merawat kita.

Penghargaan pada para Ibu terwujud dalam banyak hal. Mulai dari ucapan via sms kepada ibu-ibu kita yang terpisah jauh, ciuman sayang dan setangkai bunga hingga kado kejutan yang kita, anak-anaknya, siapkan.

Cerpen Sebarut Senja Ibu mengangkat tema yang sama, meski tidak mengaitkan dengan Hari Ibu. Cerpen ini mengangkat kisah seorang anak perempuan yang berjuang membelikan obat untuk ibunya yang sakit di rumah. Pengemasan cerpen ini membuat usaha mencari obat yang 'biasa' menjadi pekerjaan luar biasa. Perhatikan bagaimana penulis mengulang kata 'Aku berlari' untuk menunjukkan tekanan waktu. Di saat sang tokoh tinggal selangkah mendapatkan obat, lampu lalu lintas pun tiba-tiba menyala hijau, menambah tekanan pada diri sang tokoh utama.

Di tengah semangat penulis untuk menunjukkan pengabdian tokoh utama pada sang ibu, ada satu hal penting yang luput. Penulis lupa menggarap latar dengan seksama. Latar berbicara tentang di mana kisah ini terjadi. Selain berfungsi menguatkan estetika sebuah kisah, latar juga berfungsi untuk membangun logika apa yang mungkin terjadi pada suatu tempat di suatu waktu tertentu.

Dalam cerpen Sebarut Senja Ibu, penulis lalai dalam memperhatikan fungsi latar untuk membangun logika. Penulis tidak memikirkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi dalam cerpennya. Akibatnya fatal. Penulis membangun ceritanya di atas pondasi logika yang salah. Apa yang dilaksanakan oleh tokoh utama ternyata tidak mungkin, atau nyaris mustahil, terjadi dalam dunia tersebut.

Mari kita bedah logika cerpen ini. Pertanyaan mendasar, apakah kisah ini terjadi di pelosok desa ataukah di kota? Jika di desa, secara logika wajar tokoh utama kesulitan mencari apotek. Namun tidak wajar penduduk desa membiarkan seorang anak gadis mencari apotek dengan berlari sendirian. Lebih wajar jika salah seorang penduduk desa ikut mengantarkan mencari obat.

Sebaliknya, jika di kota, peluang sang gadis berjalan sendirian memang lebih besar mengingat penduduk kota kadang lebih egois. Tapi, jika latar cerita adalah kota, gadis itu tidak perlu berlari sepuluh kilometer. Tentu tidak masalah mencari sebuah apotek yang buka 24 jam sehari. Kalaupun ada kendala jarak, ia dapat naik sepeda, ojek, taksi atau bentuk transportasi lain.

Akibat tidak menyusun bangun logika dengan benar, perjuangan sang tokoh mencari obat yang menjadi inti dalam cerpen justru terasa tidak logis. Tentu, seorang penulis dapat menulis adegan di mana tokoh berbuat hal yang di luar kebiasaan. Namun, penulis harus menjelaskan latar belakangnya. Di mana, kapan dan kenapa sang tokoh melakukan itu. Dalam kasus ini, penulis perlu menjelaskan dengan rinci, di mana, kapan dan kenapa sang tokoh utama berlari sendirian, sepanjang sepuluh kilometer, di malam hari (atau senja hari?) tanpa bantuan orang lain, tanpa memakai alat transportasi. Dengan penjelasan tersebut, akan terbangun sebuah logika yang runtut. Logika ini akan membuat pembaca memahami tokoh dan menghargai perjuangannya. Sebaliknya, ketiadaan logika berakibat seluruh bangun cerpen ini menjadi rapuh. Pembaca pun merasa 'dipaksa' untuk bersimpati pada sebuah kisah yang tidak dapat mereka percaya.

Sejatinya, cerpen Sebarut Senja Ibu memiliki potensi untuk memikat pembaca. Tempo penceritaan cepat dan tangkas, cocok untuk membangun ketegangan. Jika penulis mampu membangun logika yang runtut, atau setidaknya menjelaskan latar belakang tokohnya berbuat di luar alur logika umum, cerpen ini memiliki peluang untuk menjadi kisah yang menarik.

UP GRADING FLP 3th DAY

Hari terkhir. Jadwal seperti hari sebelumnya. Kita mulai lagi jam 8. Terus langsung preserntasi kelompok. Jadi tadi malam kami dikasih tugas buat membuat rensra untuk FLP tahun 2016 yang akan membuat Rumah cahaya dan sekolah menulis. Kalau menurut pendapatku, kelompok 1 CWC banget gara-gara banyak CWCnya).Kelompok 2 produksi banget (gara-gara banyak orang produksinya. Kelompok 3 paling menyeluruh dan bagus.
Seingatku di hari ini ada 3 game. Game pertama yang dor-doaran. Kedua yang OK-lah kalau begitu. Ketiganya yang ikut-ikutan masquered. Yang game dor-doran, lido gak bisa bedain warna ungu dan violet. Atau entah mungkin karena lido terobesi dengan pasha ungu? Jan, aku gak dikasih kesempatan bilang sekalipun, dah langsung kalah. Kalau game Ok-lah kalau begitu, yang error adalah mas ilham. Masak, kalahnya gak berwibawa banget. Kasihan…kasihan…kasihan. Game masqauered. Kelompoku jadi mesin jus buah. Aneh. Cuma dapet juara tiga. Habisnya yang lain gak mau all out sih.
Pindah ke materi hari ke tiga tentang leadership. Ngantuk banget, meterine yo gak menarik. Udah gitu ustadznya juga datar banget. Sempet ketiduran. Terus dibangunin karena ngorok. Ah parah banget diriku ini.
Ah wes males bercerita, hari ketiga selesai. Terus pulang. Sampai rumah masih ngomongin tentang up-grading di rumcay. Lelah banget. Langsung tidur. Bismika Allohuma ahya wa bismika amud.
Sayonara….

Sebarut Senja Ibu

Aku berlari, membuka kemudian membanting pintu kayu rumah yang sudah reot. Menerobos keluar. Aku tak tau ini jam berapa. Dan memang tak sempat untuk sekedar melihat jam. Tak terlalu penting. Yang bisa kulakukan hanya melangkah secepat yang aku mampu.
Udara dingin begitu ganas. Tubuhku menggigil, aku lupa memakai jaket. Tapi itu sama sekali tak membuatku berhenti. Aku terus melaju, melewati sepinya kota. Kota, malam ini begitu lengang. Hanya sesekali motor berseliweran.
Aku terus berlari. Aku tak paham berapa jauh aku sudah melangkah, aku masih terus berlari. Segurat wajah lemah ibu ada dibenakku. Wajah teduh yang sekarang tergolek tak berdaya. Wajah yang selama ini mengajarkanku makna hidup secara berbeda. Mengajarkan aku kuat dan tak pantang menyerah. Mengajarkan aku selalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Melarangku untuk menangis hanya karena masalah dunia.
“Jangan menangis hanya kerena masalah dunia cah ayu, menangislah hanya kerana kamu mengingat Alloh. MerindukanNya. Hanya di saat itu kau boleh menangis.”
Kata–kata itu selalu terniang ketika aku selalu menghadapi masalah. Menjadikanku selalu menyembunyikan air mata menjadi sebuah senyuman. Aku tak mau ibu tau kalau aku menangis, karena itu hanya akan menjadikan beban untuknya. Saat ini aku melakukannya, seberapapun kuatnya dorongan untuk menangis, aku berusaha menahannya. Aku berusaha susah payah menahannya.
Ibu aku mencintaimu. lirih dalam hati aku mengucapkan itu.
***
Aku terus berlari. Mataku begitu mengantuk, sudah beberapa hari aku tidak tidur untuk menjaga ibuku, TBCnya semakin parah. Beliau sering batuk darah, karenanya Setiap malam aku selalu berjaga. Paginya aku bekerja.
Dua hari ini aku makan dengan tak layak, hanya sanggup makan makanan sisa yang disisakan oleh temanku. Bagi mereka mudah saja membuang nasi ketika kenyang, tapi berbeda denganku. Bisa makan saja, sudah membuatku harus bersyukur. Uangku habis untuk biaya berobat ibu. Aku tak akan mampu kenyang ketika ibuku belum mendapatkan obat.
***
Aku masih terus berlari. Aku terlempar ke ingatan dua belas tahun silam. Saat itu Ayahku selalu pulang dengan keadaan mabuk berat dan aku melihat ibuku menjadi korban ketidakwarasan ayah. Ibu dipukuli olehnya. Kejadian itu tidak terjadi hanya sekali, tapi setiap malam. Mulai dari sabuk, sapu, kemoceng hingga apapun yang dia temukan akan digunakannya memukuli ibuku. Tapi aku melihat sosok ibu begitu tegar menghadapinya. Beliau hanya menjerit ketika dipukul, kemudian menahannya. Tak pernah menangis.
Walau pukulan itu menjadi siksaan setiap hari bagi ibu. Ibuku tak pernah berhenti menunggu ayahku pulang. Ia duduk di sofa dengan kantuk berat yang kadang membuatnya tertidur. Memopong tubuhku yang masih kecil dipangkuannya. Kalau ayah menyiksa ibuku hingga menjelang pagi, itu tak akan mengahalanginya menyiapkan sarapan pagi. Jam 06.00 pasti makanan sudah tersaji di meja makan. Walau biru legam menghiasi beberapa bagian kulitnya. Satu hal lagi yang membuat ibuku begitu hebat dimataku adalah bahwa ibuku selalu berusaha membangunkan ayahku untuk sholat shubuh. Dengan telaten hal itu dilakukannya setiap hari. Yah, meskipun bisa ditebak hanya bentakan yang menjadi balasannya.
Hingga semuanya semakin parah. Ayahku bangkrut karena hutang judi. Semua harta yang kami miliki ludes untuk melunasinya. Parahnya ayahku pergi menghilang, entah kemana. Setelah meninggalkan sekian luka bagi ibu, dia pergi begitu saja. Akhirnya ibuku mengasuhku dengan kedua tangannya, sendirian. Dengan uang modal yang diberikan oleh keluarga ibu. Kami berjuang. Tak pernah mengeluh menapaki jalan hidup ini. Sekarang usiaku sudah 18 tahun. Sekarang adalah giliranku untuk menjaga ibuku. Membalas semuanya.
***
Aku tak lelah berlari. Nafasku sudah terengah-engah. Asmaku kumat. Tapi itu tak menghentikan kecepatan berlariku. Kaki mulai lemas. Terlalu lelah. Rumahku yang jauh dari berbagai akses memaksaku untuk menempuh perjalan sepuluh kilometer untuk membeli obat di apotek.
Aku terus berlari. Sambil memegangi kerudung pemberian ibuku yang kukenakan saat ini. Aku mempercepat laju lari. Menerobos semak semak agar aku bisa menempuh jalan yang lebih cepat. Aku berusaha melewati jalan tikus agar aku bisa sampai lebih cepat. Ibuku sudah tak mungkin menggu terlalu lama.
Ah…Tidak!!!
Lampu hijau. Padahal, Apotek sudah di depanku. Motor, mobil, truk dan angkot berlalu lalang. Disini memang tempat paling ramai meskipun malam hari. Tidak ada waktu untuk menungunggu pikirku.
Aku menjinjing rok yang ku kenakan, berusaha memanjat pagar didepanku. Tak mudah ternyata. Aku berusaha susah payah. Berkali-kali aku harus melorot dari pagar. Seketika itu pula aku berusaha naik lagi. Berulang aku mencoba berulang itu pula aku gagal. Hingga kali ini aku berhasil. Tapi rokku robek tersangkut pagar. Nafas sesakku mulai membuatku tersiksa. Kakiku seperti membawa beban berton-ton.
Sampai di depan Apotek 24 Jam itu, aku mencoba mengatur nafasku yang begitu kepayahan. Aku memegangi rokku yang sobek. Mencoba mengistirahatkan semua sendi-sendi tubuhku. Setelah mendapatkan obat aku segera melangkah bangkit. Segera meninggalkan Opotek itu untuk pulang.
***
Aku terus berlari. Kini lariku semakin sulit, karena aku harus berhati–hati untuk memegangi rokku yang sobek. Langkahku sering terhenti. Semua semakin berat. Namun sesuatu melintasi otakku, yang menguatkanku kembali untu tidak mengeluh.
Otakku membuang ke ingatanku akan masa saat ibuku masih kuat. Masa pembelajaran akan berbagi diberikan olehnya. Meski untuk makan saja kami kesusahan. Namun ibu tak pernah menjadikannya alasan untuk tidak berbagai. Kami cenderung harus rajin menahan lapar karena uang untuk makan hari ini harus habis dibagikan.
“ Cah ayu, hari ini kita makan sepotong ubi ini aja ya. Tadi ibu ketemu mbah-mbah yang sudah tua. Ia sedang menggendong dagangannya yang berat banget. Ibu gak tega cah ayu. Ibu kasihan sama mbah itu. Jadi ibu memberikan uang yang ada di dompet ibu kepada mbah itu.”
“ Ah buk, mosok setiap harus makan seperti gini terus buk”.
“ Sabar cah ayu, besok ibu masak enak untukmu”.
Jawaban ibu yang begitu lembut itu yang menenangkanku. Membuatku kuat menahan lapar yang melilit perut. Walau terbukti, ibu tak pernah masak enak.
***
Aku masih berlari. Bulan tak terlalu menampakkan cahayanya, dia membentuk sebuah sabit. Bintang-bintang hanya sedikit yang menemani bulan di malam ini. Mungkin mereka pergi untuk menemani ibu di rumah. Atau mereka bersembunyi karena terlalu kasihan memandang keadaanku sekarang.
Aku sudah dekat dengan rumahku. Asmaku benar sudah tak sanggup kutahan. Menyesakkan. Aku begitu kesulitan menghirup udara. Hidungku seperti tersumbat.
***


Aku terus berlari.Hanya berselang beberapa rumah lagi aku sampai rumah. Rumah yang berdinding anyaman bambu itu sudah kulihat. Aku masih tersiksa dengan asmaku. Dan aku juga masih berjuang untuk segera memberikan obat ini.
“Gedebrukk…”
Aku tersandung batu tepat di depan rumah. Tubuhku melemas. Tanah dan kerikil menggores kulitku. Kaki kananku dan tangan kiriku meneteskan darah. Perih. Aku benar-benar sudah tak mampu bertahan. Aku sudah tak mungkin berlari. Tubuhku tak mau diajak berdiri. Aku hanya sanggup merangkak mendekati rumah. Berusaha menahan perih luka dan asmaku.
Pelan-pelan aku menyeret tubuhku dari tanah menuju rumah hingga aku melihat ibuku sudah tergeletak di lantai. Ibu melihatku sebentar dengan memberikan senyuman tulus kepadaku. Aku melihat air mata menetes di pipinya, yang selama ini tak pernah kulihat. Darah menetes di pipinya, sebagian masih terlihat kental dan sebagian yang lain terlihat sudah mengering.
“ Ibu, ini obatnya. Sabar bu aku segera ke sana” teriakku.
Ibuku seolah tak mendengarkan terikanku. Aku sudah begitu dekat dengannya. Aku merangkak mendekatinya. Aku memegang tangan ibu. Meletakan di tangannya. Tapi aku merasakan tangan ibu begitu dingin dan lemas.
Ibu memejamkan mata. Aku menangis. Air mata menemani teriakanku. Aku sudah tak mampu menahannya. Nafasku menjadi semakin sulit. Aku berusaha menghirup udara. Tapi gagal, aku tak bisa menghirupnya.
Aku ambruk di dada ibuku. Semua berubah hitam. Semua gelap. Aku melihat ibu mengajakku ke tempat yang begitu terang.
17122009, 22:55

UP GRADING FLP 2nd DAY

Bangun sebelum shubuh. Melakukan aktivitas ibadah masing-masing. Jam bebas sampai jam delapan kalau gak salah. Lumayan bisa seger, bisa badminton pagi-pagi. Sehat, kuat jempolan.
Nonton flim thinkerbell, seru. Tapi sayang aku lebih suka nonton sendiri. Nek nonton bareng-bareng maleh ngantuk. Gak bisa ekspresif.
Setelah nonton, masuk ke materi mas ganjar tentang ghazul fikr. Siang-siang bener-bener membuat ngantuk banget. Permen kopiko gak mempan sama sekali. Gak konsen mendengarkan materinya mas ganjar. Materi berikutnya tentang analisis sosial lebih parah. Ngantuknya dipangkat 1000.
Kembali menjadi kelompok untuk diskusi tentang TV. Kelompokku kebagian tentang kebudayaan masyarakat dan jam siar. Diskusinya kacau, ngomongnya gak konsen. Semua gak terlalu paham dengan temanya. Waktu membuat juga bentar banget. Di mushola malah jadi rame banget. Biarlah maju seadanya.
Cerita dipersingkat, kita langsung ke pentas seni. Kelompok lainya sudah begitu persiapan. Latihan terus. Mereka juga pinter aking-akting. La kelompokku? Semua masih belum beres. Kita Cuma siap konsep. Belum latihan sekalipun. Gak ada yang terlalu bisa akting. Show must go on. Kelompok 1 ceritanya tentang 5 F. Seru, tapi kelompokku asik dengan persiapan kami tampil nanti. Kelompok 2 ceritannya niru-niru Opera Van Java.bagus sebenarnya tapi terlalu lama. Kelompokku juga masih asyik dengan persiapan tampil. Apes banget pas kelompok kami harus tampil. Hujan turun deras banget. Suara gak mungkin bisa kedengaran, kalau kedengaran pun pasti lirih banget. Menunggu sampai hujan reda. Akhirnuya sedikit reda, kelompok kami langsung maju buat tampil.
Mbak risma memulai sebagai narator, membuka cerita drama kelompok kami. Suara mbak risma lirih banget. Pemain pertama mas solli dan mbak dwi. Sebagai anak dan bapak. Mbak dwi aktingnya bikin gempar(Papa aku sakit sambil jatuh. Lucu!). Setelah itu mia dan fatma masuk sebagai orang jepang yang sibuk. Scene berikutnya aku jadi orang mabuk(SA...KE). Mbak dwi juga muter sambil melempar-lempar serpihan kertas yang pura-puranya jadi salju. Jepang beres.
Mas solli sebagai tokoh utama pindah ke amerika. Sekarang aku jadi patung liberty. Fatma jadi orang amerika yang sibuk. Terus scene berikutnya bak dwi dan mia berakting sebagai pendemo yang mendemo terorisme dibawah patung liberty. Mereka kusuruh pakai jaket dan helm untuk meneutupi jilbabnya ( ideku aneh-aneh). Capek banget buk, jadi patung. Amerika juga beres.
Pindah ke arab. Scene ini aku jadi ka’bah dan jumrah. Tega nian aku dilempari banyak kertas. Terus Fatma dan mbak dwi jadi majikan yang galak dan TKI. Aktingnya fatma menjiwai banget. Mungkin itu sebenarnya kepribadiannya fatma(piace, fat!!!). Arab beres.
Tempat terkhir, Indonesia. Fatma jadi presenter semua stasiun TV yang lagi menyiarkan kriminal di Indonesia. Berikutnya aku jadi ustadz arifin ilhma, fatma dan mia jadi ibu-ibu pengajiannya (ada yang mendeskrisipkan sebagain AA’ Gym dan kedua istrinya.hehe). Harusnya aku berakting layaknya arifin ilham, tapi aku gak bisa. Gak tau ah, aku heri(heboh sendiri) aja dengan peranku. Indonesia selesai, akhirnya solli(tokoh utama)menemukan jati dirinya di Indonesia. Mbak dwi yang sudah jadi arwah( Saya Arwah) tersenyum di alam baka. Takhayul. Terus perkenalan. Kelompok kami menang lagi. Omedetto gozaimasu.
Setelah itu sesi malam, di isi game dan akhirnya tidur. Ah, melelahkan. Hari kedua berakhir.
3Desember2010

UP GRADING FLP 1st DAY

Masih gelap gulita waktu sampai jogja, di Janti nunggu bentar. Eh lama dink! Soalnya ternyata angkutan adanya jam 6 padahal waktu itu aku sampai baru jam 5. Kebayangkan nunggu 1 jam?( meleleh banget pokoke). Gak betah nunggu lama-lama kuputuskan naik ojek. Tukang ojeknya agresif banget. Padahal aku udah bilang ogah, tapi dipaksa terus. Kasihan juga, akhirnya aku ngalah aja. Ok pak, antarkan saya dengan selamat ke Rumah Cahaya ya!!
Sampai di Rumcay langsung diajak belanja ke pasar X ( demi menjaga nama baik pasar kami memakai nama inisial, gak dink sebenarnya karena aku lupa nama pasarnya aja.hehehe). setelah cuci muka bentar, dan menaruh semua barang langsung cabut ke lokasi. Di lokasi aku sama mas ilham bingung. Kita janjian ketemu di belakang pasar. Tapi kami gak tau mana depan dan mana belakangnya. Mana di pasar ramainya minta ampun. Motor cuma bisa melaju dengan kecepatan 10 km/ jam, kalau gak salah ya!
Dengan sok tau akhirnya kami mengandalkan ilmu perfeelingan. Dan tak terlalu mengecewakan. Kami menemukan mereka. M’Yova dan M’Flo berdiri menunggu kami di depan pasar. Fiuh, sampai di pasar ternyata fungsi kami cuma nunggu barang belanjaan didepan pasar. Menyedihkan.
Di Rumcay lagi, eh ada fatma. Peserta paling rajin. Datang paling awal je. Tepuk pramuka buat Fatma. Btw, kedatangan fatma malah ngerpotin. Rewel terus, pengen pulang dulu karena gak ada temennya. Secara cewek sendiri. Udah gitu pagi-pagi banget. Fatma akhirnya diiket dibawah pohon rambutan biar gak rewel. Sembari menunggu panitia dan peserta yang lain.
Satu persatu peserta dan panitia datang. Rumcay jadi ramai. Keadaan saat itu sudah kayak orang mau pindahan aja. Barang-barang setumpuk. Ribut ini dan itu. Kesini dan kesana. Rame banget. Berhubung aku berangkat siang, jadi aku gak terlalu ikut campur.
Brut…brat…brit…mereka cabut. Tinggalah aku di Rumcay sendirian. Nunggu mas iim. Aku mandi, siap-siap semua barang bawaanku. Lama. Mas iim tak kunjung datang-datang. Akhirnya aku ketiduran. Zzz…eh baru, 15 menit mas iim datang. Langsung Marmos. Merintah ini dan itu. Ya,ya, ya seperti biasanya. Maklum.
Berangkat. Berbekal denah. Denahnya jan gak valid banget. Mosok jarak jauh dekatnya sama. Gak bisa dikira-kira. Kesasar. Di akhir, aku jadi tau, kalau ternyata bukan aku doank yang kesasar. Kasihan. Setelah menebak-nebak akhirnya sampai juga di tempat. Wah, tempatnya terpencil, sejuk, tapi sedikit angker.hihihi.
Berhubung waktu kami datang sudah masuk waktu Jum’atan. Lansung berangkat ke masjid dech. Ehm, sampai masjid prihatin disana sepi banget. Udah gitu pas sholat jarak antar shofnya bisa sampai satu orang sendiri. Gemes banget pengen narik orang sebelahku. Menghela nafas dalam.
Setelah jum’atan, kami sembunyi-sembunyi kabur karena aku dan mas iim terlanjur membeli makan dari rumah. Kan gak enak makan sendiri. Cari tempat makan dimana ya? Ada ide buruk, kita makan di warung. Jadi cuma numpang tempat sama beli minum doang. Malulah. Akhirnya makannya di masjid tempat kami sholat jum’atan tadi. Yakatta. Sampai tempat up grading, makan siang sudah siap. Pura-puranya aku dan mas iim belum makan. Terus aku dan mas iim makan lagi deh. Kenyang banget.
Ust. Fadli reza datang, materi di mulai. Materinya gak bosenin padahal berjam-jam dan jam siang pula. Asyik banget. Merasa banyak ilmu yang di dapat. Bisa ketawa-ketiwi. Materi selesai pas adzan maghrib. Habis itu jam bebas, makan malam dan Sholat Ishaq.
Materi hari pertama berikutnya adalah team building. Bergabung dengan kelompok yang sudah ditentukan sebelumnya. Kelompokku adalah mas solli, mbak dwi, mbak risma, fatma, dan mia. Nelangsa banget cowoknya cuma dua, oh ya, mbak dwi ma mia gak ikut games ini karena datangnya telat. Materi ini adalah kelompok disuruh membuat sebuah kereta kencana( walaupun semua jadinya perahu). Peralatannya dijual oleh panitia. Modal untuk membeli adalah point dari mutaba’ah kita. Singkat cerita, walau tim ku paling kacau waktu diskusinya, tapi kami mebuktikan bahwa tim kami memang hebat. Sampai di finish paling awal. Menang. Ini masih kemenangan awal dari tim kami lo, tim kami kan menang mutlak. Sapu bersih.
Malam dan segera tidur. Kasurnya empuk membuat gak terlalu lama untuk bisa tidur. Hari pertama selesai dengan menyenangkan.
3Desember2010