Rabu, 21 Maret 2012

Jurnal CWC-Filosopi Angka


Pada tahun 2011 kemarin ketika mendekati hari ulang tahun yang kedua puluh, saya membuat sebuah proyek dengan nama Vulkano. Vulkano berisi dua puluh cerita pendek yang saya buat sesuai umur saya saat itu. Dalam satu bulan lebih saya mencoba menyelesaikannya. Disaat ide datang saya buru-buru menuangkan sebelum menguap hilang. Waktu sela menjadi anugerah yang ternilai harganya. Dan banyak waktu lain yang terpaksa saya korbankan untuk proses menulis. Saya ingat waktu itu juga mendekati ujian. Di otak saya beban ujian dengan beban merampungkan sama besarnya. Hingga pada menit-menit ujian selesai tapi waktu masih tersisa. Saya membuat corat-coret entah dalam bentuk kerangka atau juga bagian dari cerita di lembar soal. Ketika proyek itu selesai dan beberapa orang membacanya, terlebih mengapresiasinya (walau seingat saya kebanyakan hanya membaca sebagian) ada perasaan bangga dan haru yang terus merubungi.
Mungkin terdengar aneh. Saya seolah memberikan kado untuk diri saya sendiri. Namun sebenarnya bukan itu yang menjadi mula pemikiran saya. Saya hanya ingin di umur saya yang kedua puluh bisa membuat sesuatu karya nyata yang bisa diwariskan. Jadi saya bisa berkata ini saya buat ketika umur saya sekian, sekian, dan ini saat sekian!
Sekarang di saat umur saya ke 21. Saya juga ingin sekali lagi merampungkan sebuah projek. Projek kali ini saya beri nama Jurnal 19021991-21 CWC. Saya mencoba membuat sebuah jurnal dari pemikiran saya untuk CWC.
Projek ini beretetapan dengan masa kerja lapangan saya. Otak saya lebih dipenuhi dengan ide tentang projek ini. Saya benar-benar menggebu dalam menyelesaikan projek ini. Saya berusaha berangkat lebih awal di Balijestro (Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropik), bersorak ketika waktu istirahat, mengundur waktu pulang, mendakam di kos, dan saat terindah merampungkannya di rumah. Pekerjaan saya di Balitjestro banyak diisi oleh menunggu. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengotak-atik semua ide untuk setiap babnya dalam otak. Seolah ide itu seperti perjalanan panjang menuju satu tempat. Kadang buntu dan kita harus memutar ulang. Kadang lelah dan kita harus berhenti istirahat. Kadang tersesat dan kita harus memulai mencari jalan lain.
Saya begitu terbantu dengan deadline yang saya tetapkan. Awalnya saya buat dua puluh satu hari. Saya pikir itu terlalu lama. Saya juga harus memikirkan pekerjaan yang lain (novel saya juga masuk perhitungan). Projek ini memenuhi hampir seluruh isi otak saya. Hanya menyediakan sedikit space untuk memikirkan yang lain. Akhirnya saya nekat mengencangkan ikat pinggang dengan menancapkan deadline sangat gila, SATU MINGGU HARUS JADI!
Deadline yang saya buat seperti siksaan paling sadis. Otak saya terpaksa bekerja rodi. Saya jadi selalu melakukan screening terhadap apa pun yang saya temui. Saya menghubungkan semuanya dengan projek ini. Apa yang saya lihat, dengar, baca, dan rasa, apapun itu seolah saya paksa bisa tersambung dengan projek ini. Tapi saya berterima kasih banyak pada deadline yang seperti cambuk api yang melecuti terus untuk merampungkan projek ini. Jika tidak ada dealine, mungkin projek ini akan memfosil lama di satu folder saya.
Bagi saya umur dan karya berkorelasi negatif. Berkurangnya umur justru kita dipaksa untuk bisa berkarya sebanyak mungkin. Saya sadar setiap ulang tahun berarti satu tahun peluang hidup dikurangi. Iya, saya mulai takut mati! Tapi bukan…bukan matinya yang harus saya takutkan karena itu absolut. Tapi seberapa perbekalan yang sudah saya siapkan? Perbekalan itu yang akan jadi media barter untuk kenikmatan abadi yang ingin kita peroleh di dimensi setelah kehidupan ini. Maka projek ini harus lahir dari rahim otak saya bertetapan dengan moment ulang tahun saya.
Setiap angka di jurnal ini semuanya memiliki arti. Kalau boleh jujur, menulis dengan berbagai macam batasan menjadi kendala besar bagi seorang penulis. Otak saya dibuat keriting untuk mernacang ini semua karena harus begini dan jangan begitu.
Jurnal ini memang bukan jurnal ilmiah. Lebih personal. Saya memang sengaja melakukan itu. Saya ingin jurnal ini lebih dekat dan tidak terasa berat dengan bahasa yang terlalu kaku. Saya ingin ketika membaca jurnal ini pembaca bisa merasa sedang membaca majalah. Terasa bebas. Saya juga sengaja menggunakan kata “saya” karena ini memang murni dari pemikiran saya pribadi. 
Jurnal ini terbagi menjadi tiga klasifikasi jenis tulisan yaitu essai, memoar, dan fiksi visual. Untuk klasifikasi pertama saya berat untuk mengatakan berisi essai murni. Tapi tereserah mau disebut apa yang jelas ini bagian dari non fiksi. Saya membuatnya dalam 16 bab kerena saya lahir ditanggal 16.
Kedua, tentang memoar. Memoar ini terdiri hanya dua kisah karena saya lahir bulan dua. Ini bab yang paling angin surga buat saya. Ini hanya tulisan lama yang berisi jejak rekam tentang suatu acara di CWC. Saya tidak perlu membuatnya dari nol. Hanya tinggal memoles sedikit saja.
Ketiga, tentang fiksi visual. Bagian paling akhir yang saya buat. Bagian ini terdiri dari 21 kisah yang sesuai umur yang saya injak saat ini. Saya membuat sebuah flash fiction,puisi,prosa, dan quote yang idenya saya pantik dari foto-foto CWC. Dan jumlah keseluruhan halamannya adalah 91 karena itu tahun lahir saya. Projek yang melelahkan sekaligus melegakan.
Saya puas merampungkan projek ini. Projek yang mebuat seolah kaki di kepala, kepala di kaki. Saya tidak melupakan jurnal ini masih banyak cacat. Tapi saya sudah cukup dimabuk rasa puas. Saya mengerjakan semua bagian pondasi dari jurnal ini. Saya sebagai konseptor, ekskutor, editor, bahkan saya sendiri yang me-lay out semuanya. Dari mulai bagian terkecil yang ada di junal ini, semua saya selasaikan dari, oleh,dan dengan tangan sendiri.
Kalau biasanya ulang tahun saya tidak pernah memberikan apa-apa terhadap pesta kecil dan kado yang selalu diberikan teman-teman CWC. Sekarang saya bisa menjamu kalian. Projek ini adalah kado balik buat semua perhatin teman-teman selama setahun belakangan ini. Sekaligus ucapan terimakasih juga untuk CWC, kawah candradimuka saya.
Sebelum pada akhirnya saya akan mengingatkan orang lain terhadap diri saya yang “suka ngilang”, “eksentrik”, “susah dipahami”,”suka aneh-aneh”, “mau menang sendiri”, dan “ambisus”.
Saya berharap buku ini bisa dibaca dari generasi ke genarasi. Bukan hanya di CWC tapi juga di luar CWC. Memang isinya tentang CWC tapi content yang terkandung di dalamnya juga terjadi pada organisasi lain. Semoga buku ini menjadi amal jariyah yang akan terus mengalir pahalanya buat saya.

Selasa, 20 Maret 2012

Semangkuk Indomie


Kata orang kami pasangan suami isteri paling bahagia di dunia. Hidup mewah di negeri seberang. Harta menumpuk. Anak sudah berumah tangga dan sukses. Kami langgeng hingga pernikahan kami menginjak 30 tahun lebih. Kami awet muda. Dan segudang sanjung lainnya.
“Apa yang kamu rindukan dari masa lalu?” tanyaku padamu.
“Indomie.” katamu datar. Aku tertawa. Kamu juga. Bukan karena kami suka makan indomie. Tapi satu-satunya saat itu yang bisa dimakan adalah indomie. Itupun satu mangkuk berdua. Kami pasangan muda yang belum mapan saat itu. Gaji awal sebagai dosen tak lebih layak daripada kuli. Hidup berpindah dari satu kontrakan super kecil ke kontrakan super kecil lainnya.
“Aku juga.” Sahutku. Orang boleh menganggap kami sekarang seperti apa. Yang jelas ada masa lalu kami yang hari-harinya hanya dihiasi satu mangkuk indomie untuk berdua. Dan saat ini, itu yang tengah kami rindukan di negeri rantau.

Kamis, 01 Maret 2012

Gelisah

Gelisah....
Ada masanya saya merasa tidak berguna. Dan itu hari ini.
Gelisah...
Ada masanya saya bukan apa-apa buat atau dibanding orang lain. Dan itu hari ini.
Gelisah...
Ada masanya saya merasa tidak punya daya menyelasaikan masalah. Dan itu hari ini.
Gelisah...
Ada masanya saya merasa tidak ingin melewati hari esok. Dan itu hari ini.
      Saya ditutupi gelisah. Hingga sulit menebak apa yang sesungguhnya saya rasakan. Apa yang saya pikirkan tidak selalu tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Lebih buram. Lebih seperti dasar laut yang sulit ditebak. Dan saat gelisah, walau tersiksa namun menawarkan rasa pasrah, jauh dari jubah jumawa, dan kesiapan.
       Saya mulai sadar saat itu adalah anugerah.  Saat saya bisa menyadari bahwa hidup saya butuh -dan masih punya- sebuah pegangan. Bersandar yang bukan karena saya sedang ingin mengajukan sesuatu. Namun murni hanya ingin bersandar karena kita terlalu lemah, terhuyung, dan serba bias. Sekarang saya merasa sangat beruntung karana selalu,dan akan selalu punya tempat sandaran yang setia, Allah Azza wa Jalla.