23102010 Tengah siang
Berdasarkan rekomendasi dari Mas Ashif dan keinginan sejak dulu. Akhirnya untuk akhir pekan ini saya menyempatkan berkunjung ke Perpustakaan Daerah (Selanjutnya Perpuda). Kunjungan pertama, saya baru sadar ternyata ada peringatan 25 tahun kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah jepang. Secara lebih khusus adalah Yogyakarta dan Kyoto. Inilah yang mebuat saya salut akan Jepang. Jepang seperti sedang menebus dosan masa lalunya.
Saya sudah lama tidak merasakan jalan-jalan menggunakan Busway. Jadi saya memutuskan untuk menitipkan sepeda motor di Mirota dan saya naik dari shelter Kopma.
Di depan Perpusda terdapat tugu berwarna merah dari sebuah simbol tugu yang ada di Kyoto. Banyak orang yang menyatakan Kyoto adalah Jogjanya Jepang. Seperti Jogja, Kyoto merupakan daerah yang penuh dengan situs budaya. Sangat menarik untuk wisatawan.
Kalau dilihat dari luar Perpusda sedikit tersamar dengan bangunan yang ada disekitarnya. Ini akan mempersulit untuk menemukannya. Bahkan tepat diluar gedung masih terlihat pedagang pada umumnya yang berjualan di Malioboro.
Setelah masuk saya langsung terkagum. Di sekitaran berjejer rak-rak dari arsip berbagai macam Koran dan majalah. Dari tahun 50an hingga masa melenium. Luar biasa. Manuskrip tua itu tersimpan rapi disini. Yang membuat saya terkagum lagi. Kesan berdebu tidak terlalu Nampak dari manuskrip itu. sekalipun masih sangat jelas bahwa bentuknya sudah kumal. Tapi saya harus memaklumi karena usianya yang selisih 40an tahun lebih dari umur saya.
Saya masuk ke dalam ruangan dibelakang ruang lobby. Betapa takjubnya. Saya. Manuskripnya lebih tua ketimbang kedua orang tua saya. Subhanallah!
Interior ruangan dibuat masih sangat tradisonal. Ini mungkin alasan Pepusda menjadi cagar budaya. Walaupun kemoderenitasan sudah teraplikasikan dalam berbagai sudut ruangan. Mulai AC, Wifi, ruang audio visual(digunakan untuk bisokop mini). bahkan di lantai dua saya menemukan kamera pengintai.
Saya begitu tertarik untuk menikmati fasilitas lesehan untuk membaca di ruang lobby. Lantai yang berbahan kayu halus. Seolah saya membayangkan berada di Jepang.(sebagian rumah jepang masih menggunakan kayu sebagai lantai). Suasana yang sangat sepi. Padahal tepat di depan merupakan jalan Malioboro yang sangat padat. Itu kerennya, semacam ada sekat yang memisahkan. Perpuda seperti telah memiliki bagian yang tak terusik dunia luar ketika kita sudah berada di dalam.
Kita juga tak akan kebingungan saat kebelet. Ada kamar mandi yang bersih di bagian belakang. Di sebalah toilet ada mushola yang cukup luas untuk pengunjung Perpusda yag bisa dihitung dengan jari setiap harinya.
Setelah lega buang hajat saya melihat ruang Gallery berupa halaman yang diisi dengan beberapa alat percetakan.
Di depan ruang gallery saya memutuskan untuk berkunjung ke ruang pameran buku Kyoto. Jumlah bukunya tak terlalu banyak. Rata-rata bukunya menggunakan huruf hiragana. Saya sempat mencoba mempraktikan ilmu bahasa jepang saya untuk membaca dan mengartikan maskudnya. Ternyata hanya berhasil dua kata. Yaitu “watashi” yang artinya saya dan “ wa” yang merupakan partikel dalam Bahasa Jepang.
satu ruangan terakhir yang bisa kita kunjungi di lantai satu adalah ruang nusantara(saya tak yakin namanya itu, saya agak lupa). Ruangan yang berisi foto-foto sejarah Yogyakarta dan buku – buku tentang Yogyakarta.
setelah asyik dengan lantai satu saya beranjak naik kelantai dua. Saya suka bentuk tangganya. Muter gitu. Bagi saya asyik naik tangga sambil muter. Saya sampai naik turun tangga beberapa kali. Sebagian orang pasti melihat dan membatin “dasar udik”.
Lantai dua berisi beberapa ruang diskusi dan belajar. Sekumpulan meja dan kursi yang tersusun rapi. Di sini tersedia banyak tempat diskusi. Kita pasti akan betah berlama-lama di sini. Tenang sekali suasananya. Meja diskusi panjang juga bisa menampung sekian banyak orang. Ada ruang Jogjasiana yang memuat buku-buku tentang Jogja. Dan ketika kita membuka pintu di ujung, saya langsung merasa seperti di iklan-iklan. Pemandangannya langsung terhampar ke Malioboro yang padat.
Sedikit yang yang menggangu adalah lantai dua ACnya saat itu tidak dihidupkan. Langsung terasa panas ketika saya menginjakkan kaki di lantai daun. Semoga ini hanya ketidak beruntungan saya yang berkunjung disaat AC tidak dinyalakan.
Setelah merasa puas saya haus dan membeli sari kacang ijo kotak. Tak dinanya untuk pertama kalinya saya melihat indomaret yang sebagus ini. ada ruang wi-finya. Dan deretan kursi yang bisa di pakai untuk itu. jadi tempat dagangannya agak sedikit kebelakang.
NB: sebenarnya mau di posting sekali foto-fotonya, tapi karena dari DSLR, memori satu foto gede dan berat kalau diposting-bikin lama-. Kebetulan laptop saya yang ada picasanya lagi tidak bisa buat internetan. Jadi ya dinikmati saja ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar