Jumat, 25 November 2011

Wanita Sebagai Keajaiban Tuhan


Jika ada satu dorama yang harus saya sebut ketika pertama kali dikaitkan dengan cinta sejati, maka saya menjawab :Jin. Tokoh wanita dorama itu yang bernama Saki hadir dengan cinta sejatinya yang tulus. Cinta sejati memang tak pernah tepat jika dieratkan dengan cengeng. Bukan pula bentuk menyerah yang tak berdaya. Cinta bukan barang obral yang ditarik sana dan jika tak berkenan dilempar balik. Cinta sejati laksana nabi yang menahan siksaan demi pencerahan umatnya. Tak pernah berbaharap berbalas. Hanya bergerak demi cinta pada orang yang dicinta.

Saki tak pernah meminta Jin untuk membalas cintanya. Tak juga Saki mengiba pada Jin tentang pengorbanannya. Di benak Saki, dia hanya ingin mencinta. Melihat Jin bahagia adalah kebahagiannya juga. Melihat Jin tersenyum adalah senyumnya juga. Satu hal yang pasti Saki lakukan adalah terus mencinta.


Saki tau Jin adalah manusia masa depan yang memiliki kehidupan lebih dulu sebelumnya lengkap dengan pasangan hidupnya. Terlempar ke masa lalu hanya bentuk sebuah kesalahan dimensi dan rahasia Tuhan. Dan Saki hanya muncul sebagai pecinta yang terlambat. Pada orang yang tidak tepat. Hanya mampu puas dengan posisinya dibalik punggung cinta wanita di lain tempat. Hanya mampu memandang dibalik kaca pembatas antara kehidupan masa lalu dan masa depan.

Dari sekian banyak keajaiban Tuhan yang saat ini masih bisa kita rasakan adalah perasaan wanita. Begitu rumit dijabarkan. Bukan perkara sepele untuk dirumuskan. Namun kita bersepakat bahwa wanita itu ajaib karena kemurnian perasaanya.

Seorang ibu mampu menahan sakit-yang bahkan membayangkan pun saya tidak pernah- saat tubuhnya harus terbelah hingga sepuluh senti saat prosesi kelahiran. Ketika sebuah pilihan sulit harus hadir yang memaksa untuk memilih dirinya sendiri atau anaknya yang harus terus hidup. Hampir bisa dipastikan Sembilan dari sepuluh wanita pada posisi itu, akan memilih menumbalkan hidupnya untuk kehidupan anaknya. Saat nyawanya merenggang yang menyisakan batas tipis antara terus hidup atau mati. Wanita sungguh berpikir irasional tentang kehidupan dengan mengatakan “ Biarkan aku mati, asalkan buah hatiku bisa hidup!”

Saya teringat salah seorang ibu dosen saya yang pernah bercerita tentang keputusannya untuk tidak menikah setelah kepergian kekasihnya sampai detik ini.


“Itukan karena belum nemu yang lain aja.”Teman saya berkomentar.


“Itu karena ibunya mencintai dengan berlebihanya aja, jadi akibatnya malah menutup diri secara berlebihan gitu.” kata  teman yang lain.


“Tunggu sebentar. Apa yang kalian lakukan adalah berpikir dengan cara laki-laki berpikir. Dengan logika. Misteri wanita adalah perasaanya. Cara berpikir wanita selalu menjadi antithesis laki-laki, yang anehnya justru menjadi pelengkap. “ komentar saya sekaligus kesimpulan tentang wanita dan cara berpikirnya yang tulus.

Jika memang kita hanya mengandalkan kemampuan otak. Bukankah tidak logis hanya karena kepergian kekasih harus sebegitu berkobannya. Membunuh tunas cintanya untuk orang lain. Tapi lagi-lagi harus mengatakan: itulah wanita!

Cinta sejati memang tak pernah terdoktrin pada satu satuan angka. Bisa jadi bukan pada yang pertama, atau yang kedua, atau yang ketiga, atau yang setelah kesekian kalinya. Cinta juga tidak pernah dibatasi oleh ruang dan waktu yang terpisah. Kutub dengan kutub tak pernah menjarakkan hubungan antara cinta dengan cinta. Masa lampau dan masa sekarang hanya angin lalu saja saat dikatakan sebagai palung pemisah. Seorang pencinta sejati bisa membawa cintanya mati bersamanya dalam penantian. Cinta sejati juga hanya bergurau tentang perbedaan indentitas rupa. Seperti panas dan hujan bagi tanaman. Berbeda namun sesungguhnya saling memeluk.

Pada akhirnya saya harus mengatakan pada wanita yang menyimpan cintanya hanya untuk dirinya sendiri, yang tidak pernah meminta balasan, yang menunggu hingga usangnya batas waktu, yang mencinta tanpa mengenal identitas. Bahwa kalian adalah keajabian Tuhan yang Sejati!

Dorama=drama jepang
10:27 PM, 23112011
PS: Special thanks to Someone with first word is A, who managed to break down my writer's block , and even contributed a few fabulous paragraphs. You're right. This is our first mutual project.

Menyibak Kejutan Lewat Ulang Tahun



Balairung mendung di tengah sore yang rapuh. Ada kecemasan dan keraguan yang masih harus saya abaikan-setidaknya itu jadi usaha mengetasinya, walaupun sekedar penundaan-. Beberapa orang lalu lalang. Banyak alasan keberadaan di sana yang tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain.


Akhirnya hari itu adalah perayaan ulang tahun buat Ana dan Novi. Seperti sebuah tradisi yang harus dilakukan di CWC. Ana menerima kue kami dengan sedikit terkejut-atau dipaksakan terkejut-. Saya mengamati sekilas. Ada yang istimewa. Dan selalu mengesankan setiap ada serimonial ulang tahun. Kalau kita break down kejadian yang terjadi sebagai alur yang urut: kejutan, terkejut, mata membelalak, senyum sumringah yang lepas, kue yang dipotong, memejamkan mata saat berdoa, lalu membagikan kuenya dengan takaran kedekatan.


Sederhana memang. Namun hampir setiap perayaan selalu membuat kita terkejut. Bahkan kadang saat segala sesuatunya sudah kita ketahui, kita tetap saja terpaksa terkejut. Sudah se-linier itukah hidup kita? Hingga hal sepele bisa mengejutkan kita.


Hidup kita memang linier. Mau jujur mengakui atau tidak. Kita terjebak pada rutinitas yang sama dan berulang setiap harinya. Kita masih bisa waras dan sanggup membedakan hari hanya karena jadwal kuliah kita yang berbeda, tayangan televisi yang berbeda, atau penanda tanggal di telepon genggam yang menunjukkan angka tertentu.


Bayangkan jika itu harus terjadi selama umur hidup kita? Lantas parahnya kita menganggap itu biasa karena terbiasa. Bagi saya yang sedikit bermasalah dengan rutinitas selalu berjuang untuk membuat berbeda segala sesuatunya. Seperti Rasul yang mengambil jalan berbeda antara berangkat dan pulang dari masjid. Salah satunya dengan memberi gizi berbeda pada masing – masing indera saya. Bacaan yang berbeda, diskusi yang berbeda, tatap muka dengan orang yang berbeda, dan tempat dituju harus selalu ada yang berbeda.


Perayaan ulang tahun seolah menjadi stimulan yang mudah saat kejutan ulang tahun. Ada yang dibangkitkan dalam hidup kita yaitu perasaan tidak biasa. Sesuatu yang jarang kita dapatkan, yang mungkin hanya setahun sekali kita dapatkan. Dan itu membuatnya sakral. Selama ini kita tidak mengiba, tapi kita selalu berharap ada yang merayakannya.


Lalu tentang ekspresi yang muncul bagi saya adalah ekspresi dalam diri yang sudah menyibak segala topeng. Ungkapan tak bersyarat yang luhur. Senyum yang mencuat, mata yang membelalak terkejut, hati yang tersentuh, hingga mungkin saja air mata yang luruh.
Seorang sufi pernah mengatakan jika kita melakukan dengan hati, maka hati jugalah yang akan meresponnya. Seperti permainan gayung bersambut. Kebahagiannya yang terjadi saat prosesi ulang tahun menjerat semuanya untuk merasakan aura kebahagiaan yang sama.


Ada harapan sekaligus kecemasan. Pergantian umur seolah seperti berada di tapal persimpangan tiga elemen waktu: masa kemarin, masa kini, dan masa esok. Masa kemarin dengan banyak kenangan yang tergores yang datang dan menghilang. Masa kini dengan ancang-ancang. Masa esok dengan segala tantangan yang akan kita lalui. Saya mengibaratkan ketiga elemen waktu ini sebagai sebuah pengembara yang hendak mengembara. Kemarin sebagai persiapan. Sekarang sebagai jeda. Esok sebagai ketidakpastian jalan apa yang harus dilalui.


Salamat ulang tahun Novi dan Ana. Percayalah apa yang saya bicarakan tidak hanya bisa muncul dengan perayaan mewah, kue besar, jumlah tamu yang banyak. Bahkan sepotong donatpun akan membuat kesan yang sama atau lebih baik jika dilumeri dengan cinta.


24112011, 7:59 AM
Bangun kesiangan,
yang memberi kesempatan saya untuk membolos kuliah.
Alhamdulillah.


Letupan Kejutan, Kejutan Letupan

Penulis menjadi pekerjaan yang mengumpulkan serangkaian ide yang dicoba dibuat sekreatif mungkin dalam sebuah cerita. Terlepas bahwa itu hanya imajinasi belaka atau kondisi nyata yang dituang ulang. Tidak dipungkiri bila penulis memiliki keeratan hubungan yang begitu personal dengan pembaca melalui tulisannya. Seolah pembaca diajak masuk ke cerita yang dibuat penulis.


Pada asal muasalnya tidak ada yang sungguh-sungguh baru di bawah terik matahari. Kita hanya sanggup membuat sesuatu yang sama terlihat seperti baru. Kalau kita berbicara tentang cerita cinta misalnya, apa yang membedakan cerita cinta yang ditulis oleh Dewi Lestari dengan Habiburrahman. Sama-sama berbicara cinta. Tapi jelas berbeda. Pada dasarnya satu ide jika ditanam di kepala yang berbeda akan tumbuh dan berkembang menjadi dua cerita yang berbeda. Jadi cara yang paling rasional  membuat cerita kita berbeda adalah dengan membuatnya terlihat berbeda!


Bayangkan jika kalian setiap hari hanya makan nasi, tempe, dan sedikit sayur. Besoknya begitu, lusa juga begitu, bulan berikuntnya sama, tahun berikutnya tidak berbeda, sampai mati juga sama. Apa yang kalian rasakan? Yang jelas kalian akan sangat hafal rutinitas itu diluar kepala. Dan mungkin saja lama-kelamaan nasi, tempe, dan sedikit sayur menjadi hal yang kalian paling dihindari. Bandingkan dengan kalian setiap hari makan nasi, tempe, dan sedikit sayur tapi dengan variasi yang tidak pernah benar-benar sama. Hari ini bakwan tempe, besok kering tempe, lusa sambel tempe, bulan depan burger tempe, tahun depan saus tempe. Meski menu sama,tapi perasaan terhadap menu tersebut berbeda.


Begitu juga dengan cerita. Salah satu yang bisa kita lakukan sebagai penulis agar tulisan kita menjadi sesuatu yang terlihat baru dan tidak klise adalah membuatnya menjadi berbeda. Bukan sesuatu yang umum. Caranya adalah dengan membuatnya tidak mudah ditebak, mengecewakan pembaca karena diakali oleh cerita kita, dan membuat pembaca gemas sebelum benar-benar selesai membaca cerita kita.


Cara pertama adalah membuat pembaca menjadi candu dengan cerita kita karena penasaran. Kita memberikan sedikit pemantik yang meransang mereka menjadi ketagihan dan penasaran. Setelah ketagihan kita sebagai penulis dengan seenaknya hanya memberikan sedikit demi sedikit untuk mengobati kencanduan dan rasa penasaran mereka. Hal yang mesti diperhatikan untuk melakukan cara ini adalah cerdas menempatkan bagian-bagian perangsang itu pada alur cerita kita. Jangan sampai apa yang kita taruh itu justru akan merusak keseluruhan isi cerita!


Cara kedua dengan menyembunyikan hal-hal penting yang menjadi kata kunci keseluruhan semua cerita. Pembaca biasanya merasa ingin segera mengakhiri membaca kalau merasa sudah menemukan maksud yang ingin disampaikan penulis tanpa harus membacanya hingga akhir. Maka dengan menyembunyikannya, akan membantu cerita kita tidak ditelantarkan di tengah jalan karena ketebak.
Cara ketiga dengan membuat jebakan pada cerita kita. Ini mungkin tidak mudah-dibutuhkan banyak pengetahuan, pengalaman, dan riset yang bagus-. Kenyataannya pembaca selalu memposisikan dirinya sebagai penebak dalam membaca. Mereka ingin menebak akhir cerita, bahkan saat mebaca awal kalimat yang kita buat. Dalam membuat jebakan sangat mungkin kita yang terjebak sendiri karena membuat jebakan yang tidak rasional. Ketidak rasionalan akan meng-harakiri cerita kita sendiri. Pembaca akan merasa cerita tidak masuk akal, ini justru lebih menghancurkan cerita kita dan kredibilitas kepengarangan kita sebagai penulis karena kita terlihat bodoh! Sudah saatnya kita menyadarkan diri kita untuk berhenti menganggap bahwa pembaca itu bodoh, karena mereka memang tidak demikian.


Terakhir, Sebagus apapun maneuver yang kita buat, kalau tidak didukung oleh alasan yang kuat dan proses perubahan alamiah dalam cerita, pembaca juga akan dengan sendirinya meninggalkan cerita kita tergeletak tak bermakna!

Selasa, 01 November 2011

Unique

Kita manusia tercipta dengan kemisterian. Sebut saja hal misteri yang kita kandung adalah gen. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar kita lihat wujudnya, tapi kita bisa melihat ekspresinya. Kita berkulit putih atau hitam, berambu lurus atau keriting, berbulu lebat atau tidak, dsb.
Kita mungkin sering terjebak pada feneotipe dari apa yang kita lihat. Kita hanya melihat sekilas. Tanpa perenungan. Tanpa harus mengulik lebih dalam lagi kebenaran atau kebohongannya langsung menyusun sebuah premis. Tanpa pernah menunggu sejanak untuk memastikan. Adilkah yang demikian?  Terlepas dari itu, ada beberapa hal yang kadang tidak selaras dengan pikiran saya. Apa yang saya lihat menjadi lelucon karena sebelumnya saya sudah menjebak otak saya pada premis presepsi tertentu.
Pada waktu yang tidak jelas. Saya seperti biasa harus membayar setelah sekian lama duduk di kursi warnet. Seperti biasa juga, saya tetap akan bertanya harus membayar berapa. Walaupun saya tau seharusnya membayar berapa dari computer yang saya pakai. Dan saya tergelak ketika mas penjaga warnetnya yang kurus, putih dan tidak terlalu tinggi  punya suara yang luar biasa nge-bass. “Dua ribu lima ratus mas.” Saya seolah sedang mendengar Beby Romeo yang menjawab. Geli rasanya. Masnya yang awalnya sunyi di balik meja. Terlihat biasa seperti pria pada umumnya. Berubah menjadi sosok yang berbeda-setidaknya bagi saya.
Hanya selang beberapa jam setelah kejadian di warnet. Saya pergi untuk menemui seorang dosen bersama seorang teman. Dosennya sedang dalam langkah terburu-buru, terpaksa kami mengobrol sambil berjalan. Ketika dosen saya berjajar dengan teman saya, mendadak saya merasa harus menetralkan kondisi.
Entah teman saya yang terlalu tinggi atau dosennya yang-maaf- terlalu pendek. Ketika dua sosok itu bertemu yang terjadi adalah proporsi tinggi yang begitu jomplang. Untuk ukuran saya yang memiliki tinggi rata-rata, teman saya memang tergolong tinggi. Jika dijajarkan dengannya saya kurang lebih saya hanya sedagu. Sedangkan dosennya mungkin untuk produk manusia keluaran era 60-an, dosen saya tidak termasuk ukuran pendek. Tapi untuk produk manusia keluaran era 90-an, dosen saya termasuk jauh dari tinggi rata-rata. Kalau saya dan dosen saya dijajarkan. Dosen saya hanya setinggi dagu saya. Kesimpulannya kalau dosen dan teman saya dijajarkan., dosen saya cuma setengah tinggi teman saya! Saya dengan sekuat tenaga mencoba menggeser posisi teman saya agar tidak tepat berjajaran dengan dosen saya. Demi menjaga wibawa dosen saya, yang mungkin akan memancing tawa mahasiswa yang melihat fenomena itu. Lucu!
Entah beberapa saat yang lalu. Saya di salah satu tempat makan melihat seorang pelayan wanita. Biasa memang. Disetiap tempat makan pasti ada pelayan. Tapi pelayan yang ini berbeda. Pelayannya benar-benar cantik. Di balik kaca yang terang, saya terus mengamatinya. Agar pendapat saya tidak cenderung subjektivitas semata. Saya bertanya pada teman saya. Dia mengangguk menyetujui pendapat saya. Apakah tidak ada yang salah dengan keadaan ini? Apakah pekerjaannya layak untuk seorang yang secantik itu? tidakkah ada model agency yang melihat potensi itu? Saya mengumbar pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya bermuara pada satu pendapat bulat, “ Mbaknya nggak cocok jadi pelayan. Terlalu cantik!”. Pada akhirnya tampilan fisik dalam presepsi wajar menurut seorang manusia akan menentukan kecocokan dengan pekerjaan.
Keesokannya, saya harus mengobrol dengan seorang pemuda di kursi sebelah saya saat duduk di Trans Jogja untuk membunuh waktu. Secara penampakan fisik pemuda disamping saya tinggi, besar, sedikit botak, berambut cepak. Sedikit banyak kalau melihat postur tubunya cocok kalau disamakan dengan postur tubuh atlit. Tapi lagi-lagi saya terkejut, ketika tengah berbicara pemuda tersebut sungguh terlalu sopan. Setiap kata-kata yang keluar hampir selalu menggunakan kalimat baku. Padahal mungkin kita seumuran, tapi saya sampai menggunakan kata “Saya” untuk menyeimbangi pemuda tersebut yang memanggil saya dengan sapaan “Anda”.
Mungkin hanya empat kisah yang mampu saya ingat untuk dituliskan. Tapi  tidak benar-benar empat dan tidak akan berhenti pada empat. Hanya belum bertambah. Pasti akan masih banyak lagi yang satu demi satu menjejal otak saya.
Sedikit banyak saya jadi merenungi bahwa ada baiknya kita berhenti untuk mengambil kesimpulan hanya pada pandangan sekilas atau pendengaran sekelabat. Lebih banyak yang harus kita lakukan sebelum mengambil kesimpulan. Apalagi jika yang menuntut kita untuk memutuskan benar dan salah. Saya setidaknya sedang mencoba itu!
Yogyakarta, 1 Nopember 2011

Sabtu, 29 Oktober 2011

Rumah (Ber)Cahaya

Pernahkah kita merasa bahwa rumah memang benar sebuah bagian termanis dalam hidup kita? Sebagai tempat belabuh yang menampung segala lelah, resah, dan gelisah? Merindukannya? Bukan hanya secara bangunan fisik, tapi dari setiap elemen yang ada di sana. Dan sekarang saya rindu rumah kedua saya, Rumcay. Rindu pada mangga, rambutan, dan jambu yang jatuh berkorban untuk memasok vitamin pada penghuninya. Pada kelakukan yang kadang suka bikin jengkel para penghuninya. Pada kamar mandi yang sering bocor, hingga lumutnya. kamar kecil yang tidak pernah sungguh-sungguh muat menampung semua barangmu. Pada jemuran di samping rumah yang layak direnovasi. Pada kasur yang menghampar. Pada banyak hal! Intinya rindu banget dengan rumah kedua saya, RUMCAY nan elok permai!


Dulu banget dengan berat hati saya menerima tawaran Mas Pam. Entah karena masalah umur yang terpaut, entah karena masalah jurusan yang berbeda, entah masalah apalagi yang membuat saya berfikir ulang menerima tawaran itu. Namun, pada akhirnya saya mengalah pada kondisi. Bahwa saya paling sulit mencari kos-kosan yang cocok. Satu-satunya alternatif ya dengan menerima tawaran itu atau jadi gelandangan.


Penghuninya berangsur-angsur terkumpul. Secara urut menempati Rumcay adalah saya, Mas Prima, Mas Pam, Mas Ade, Mas Ilham, dan penghuni pengganggu Mas Iim.


Tanpa saya sadari, ada sekian banyak orang terkenal mampir ke Rumcay mulai dari Teh Imun, Mas Boim Lebon, dan lain-lain. Ada sekian ustadz yang pernah bertandang kesana untuk memberikan siraman ruhani, mulai dari Ustadz Awan, Ustadz Satori, dan lain-lain. Betapa berkahnya bukan?
Tanpa saya sadari, Rumcay menjadi tempat penghuninya begelut dengan skripsinya. Rumcay saksi penderitaan Mas Pam dengan penelitiannya yang jlimet, Mas Ade dan Mas Ilham dengan rasa malasnya, juga Mas Prima dan Mas Iim. Setelah saya akumulasi ada lima skrispsi dan satu thesis yang lahir di Rumcay. Sungguh saya baru sadar!


Tanpa saya sadari, di Rumcay saya menghabiskan dua tahun masa hidup yang telah saya jalani. Menjalani berbagai macam problematika hidup sebagai mahasiswa. Dulu saya berfikir, cukup satu tahun di Rumcay. Tidak ada perpanjangan lagi. Saya berfikir, setelah satu tahun saya mau nge-kos di somewhere, atau ngontrak di lain tempat, atau saya hidup bahagia dengan istri saya (nikah muda! Serius itu dulu masuk daftar imajinasi berlebihan saya). Ternyata dua tahun bukanlah waktu yang lama. Dua tahun juga bukan waktu yang kosong. Dua tahun bersama Rumcay menjadi masa paling berkesan dalam hidup saya.


Kangen TV rumcay yang semutan-yang suaranya hanya bermodal pengeras suara ala kadarnya. Sebenarnya TV menjadi salah satu pemicu kejengkelan paling ampuh. Ada lima kepala yang berbeda membuat mustahil untuk selalu suka dengan progam TV yang sama. Perbedaan itu yang suka muncul dan tersulut begitu saja. Tapi kengen yang begituan.


Kangen titip atau dititipi makan. Kadang memang resek banget kalau cuma karena alasan malas, saya harus membelikan makan penghuni yang lain. Bukan berat. Cuma saya kan tidak suka disuruh-suruh. Tapi yang bikin jengkel kayak gitu tetap saja bikin kangen. Aneh!


Kangen ngobrol sampai larut malam. Kebanyakan hal tidak penting. Hah, tapi dari hal tidak penting itu saya jadi tau siapa Mas Pam, siapa Mas Ade, siapa Mas Ilham, dan siapa Mas Prima.
Kangen meja bundarnya Rumcay yang nasibnya naas. Di meja itu kita sering menghabiskan waktu dengan dunia maya. Saat dimana kadang kita rebutan kebel LAN yang jumlahnya cuma ada dua. Dari semua penghuni saya mungkin yang paling berkuasa, yang paling getol download dorama berseri. Sering sekali diomelin gara-gara saya download yang lain jadi lambat berselancarnya. Kalau jadi ingat itu, saya jadi merasa bersalah.


Kangen tidur selonjoran di depan TV. Kamar di Rumcay tidak difungsikan sebagai kamar. Para penghuni dengan jujur mengakui kamar adalah gudang-kecuali tentu kamar saya yang masih terlihat waras dan layak huni. Jadi kalau tidur kaki bisa menghadap wajah siapa. Itu hal biasa. guling berubah jadi bantal dan dipakai buat banyak orang. Itu normal. Ada yang jadi tumbal tidur di lantai karena kasur tak sanggup menampung semua penghuni. Itu sering. Hahaha…


Kangen suasana kekeluargaan. Pernah satu kali lampu mati. Hanya ada suara senyap dan gelap. Tidak ada lilin, tidak ada lampu cadangan. Kita hanya bebaring bersama, menunggu sampai lampu menyala lagi. Kita bercerita banyak tentang banyak hal dalam kondisi itu. Benar-benar mulai mau membuka diri. Mengurai banyak rahasia, cerita kelam, sampai mimpi-mimpi indah. Dan…saya kangen waktu itu!


Kangen berantem-yah, atau setidaknya melihat ada yang berantem. Memang ini bagian paling suram. Bagian di mana bercampurnya rasa risih, bingung mau mendukung siapa, dan sebel kalau kitanya masuk dalam jajaran pelaku. Mas Ilham yang sering tiba-tiba marah nggak jelas, yang sering menjadikan siapapun korbannya. Mas Ade vs Mas Pam, Mas Ilham vs Mas Ade(ini paling sering, kadang cuma masalah nggak penting), Mas Ilham vs Mas Pam, dan saya juga sering terlibat. Siapa nama yang tidak saya sebut? Yah, dari semua penghuni beliau memang yang paling adem ayem hidupnya. Lempeng tanpa hambatan. Kalau sekali terlibat konflik emosi paling cuma dengan Mas Ilham.

Orang mungkin boleh beranggapan apapun tentang Rumcay. Rumcay yang suram, gelap, kurang cahaya (please bedakan antara teduh dengan kurang cahaya ya!), yang tak terurus, dan yang lain-lainya. Memang sih gitu. Memang sih keadaannya suka mengenaskan sekali, perabot makan yang menggunung belum di cuci. Kertas, buku, dan perlengkapan lainnya yang berserakan. Halaman yang tak pernah disapu. Tanaman hias yang tak pernah tercukur rapi dan sebagian mati meranggas. Boleh, orang beranggapan apapun dari luar. Bagi saya selama saya masih bisa ngobrol, masih bisa tidur, masih bisa ketawa, masih bisa menghilangkan penat. Maka Rumcay masih jadi yang terbaik untuk saya. Dan saya sekarang benar-benar kangen Rumcay.






Sesaat di halaman,
Besama Mendung









Hannya nyenyak...
Di balut mimpi....

Selasa, 25 Oktober 2011

Hidup Semakin dibuat Serba Kecil


Semalam saya mengamati barang eletronik yang dijual di salah satu mall. Sekarang segalanya begitu maju, murah ( yeah!), dan kecil. Tidak tau kenapa seperti sebuah alur kehidupan, semua yang besar-yang dianggap merepotkan- dibuat sekecil mungkin. Bagi manusia, atau setidaknya bagi sebagian teman saya, yang namanya barang kecil itu sungguh praktis.
Dulu computer ukurannya sebesar ruangan. Untuk mengoperasikannya harus dilakukan oleh banyak orang. Sekarang betapa satu tas ukuran kecil sudah sanggup menampung benda yang sama. Dulu telepon genggam begitu besar dan berat. Seperti batu ketika masuk kantong. Sekarang sudah ada telepon genggam yang bukan hanya kecil tapi juga tipis. Dulu kalau menanam suatu tanaman maka kita butuh bibit, sekarang hanya tinggal mengambil bagian kecil dari tanaman yang bernama callus sudah bisa membuat sekian tanaman yang sama.
Sungguh saya berkebalikan. Saya sangat membenci barang-barang kecil. Mulai dari tulisan yang kecil, sepatu dan baju yang kekecilan, sampai uang saku yang kekecilan (wakakakak). Betapa barang-barang kecil menyiksa. Tulisan yang kecil (apalagi kalau jelek) sungguh merusak mata. Baju yang kekecilan sungguh tak pantas buat saya yang jujur saya akui, akan membuat saya begitu aneh. Dan yang lebih menyebalkan lagi semua barang kecil, lebih besar kemungkinannya hilang, keselip, atau jatuh. 
Dari kecil saya bermasalah dengan barang-barang kecil. Setiap hari saya selalu kehilangan pensil ketika SD. Saya tidak tau kenapa. Tapi selalu saja saat di rumah, tas saya hanya berisi buku dengan kotak pensil yang tanpa isi! Saking jengkelnya ibu saya pernah menuduh bahwa pensil bukan hilang. Tapi saya barter dengan kerupuk lamuk ( ehm, sejenis kerupuk yang begitu popular di zaman saya kecil. Dan biasanya digunakan untuk ditukar dengan barang rongsok. Btw, tidakkah ada tuduhan yang lebih berkelas?). Ibu saya yang juara dalam kekreatifitasan tidak menyerah untuk mengakali kondisi ini. Ibu saya memasang tali yang panjang untuk pensil yang saya punya. Lalu saya harus memakainya dengan mengalungkannya di leher (Ya Allah…Dan saya dulu mau melakukan itu?).
Beranjak dewasa penyakit itu tak kunjung sembuh. Ibu saya memasok satu kotak bulpen khusus buat saya. Saya biasanya seminggu akan meminta satu bulpen baru. kalau itu terjadi saya tinggal mengambilnya di kotak yang disediakan. Waktu SMA saya mulai menolak pakai bulpen yang dibelikan ibu saya. Bulpen yang dibelikan ibu saya terlalu jelek, kalau dibuat nulis nggak lembut. Mungkin karena harganya murah. Saya sukanya membeli bulpen yang mahal. Saya beralasan, “kalau bulpennya mahal, saya akan berusaha menjaganya dengan lebih hati-hati”. Sayangnya itu tidak pernah terbukti. Sampai sekarang.
Ok, itu baru bulpen. Bayangkan kalau kunci kamar, kunci sepeda motor, atau flasdisk berisi berbagai macam hal penting hilang. Betapa selalu repotnya saya karena itu semua selalu terjadi pada saya. Biasannya karena saya terlalu banyak pikiran, saya suka lupa menaruh barang-barang penting nan kecil itu. Maka, barang-barang kecil itu menjadi biang masalah baru buat saya. Betapa kadang tersiksanya harus menunggu berjam-jam tukang kunci mengotak-atik motormu. betapa melelahkannya mengubrek-ubrek sana-sini. Betapa uangmu kadang harus berkurang karena membeli barang-barang yang seharusnya tidak masuk pada daftar yang harus kamu beli. Sekali dua kali, bolehlah. Manusia punya khilaf. Tapi kalau terlalu sering? (Pening!)
Teman saya pernah menyarankan pada saya untuk membeli kotak besar, atau apalah. Tampung semua barang kecil disitu. Atau tulis semua hal yang menurut saya penting di pintu. Jadi kalau pergi tidak akan ketinggalan. Parahnya cara brilian yang diberikan teman saya sudah saya lakukan. Bahkan satu dompet besar warna biru yang saya pakai untuk itu, saya gunakan juga untuk memasukkan kartu remi. Namun tetap saja ada barang yang raib.
Kenapa manusia semakin suka dengan hal-hal kecil? Kenapa sedemikian kerasnya manusia berusaha untuk merubah semua barang menjadi kecil? Jangan – jangan semua karena ke depan manusia semakin tidak ingin repot dan ini hanya untuk solusi terbaik pada jiwa malas manusia.
Baiklah, kalau alasannya untuk kepraktisan, itu tentu tidak salah. Tapi saat saya  melihat ponakan-ponakan saya yang masih kecil begitu mudah mendapatkan apa yang mereka harus dapatkan. Saya jadi berfikir betapa mereka seperti tumbuh tanpa jiwa survival. Rasanya semua serba tinggal click. Munculah semua yang mereka butuhkan. Tak perlu lagi repot-repot kerumah teman untuk meminjam ini dan itu. Semua kecanggihan itu membuat mereka bisa melakukannya sendiri. Orang tua? Cukuplah mereka bahagia sebagai pemasok itu semua. Tugas mereka seolah selesai oleh segala kepraktisan teknologi. Jika kita bisa meramal masa depan, kita baru bisa membuktikan akan seperti apakah generasi yang diasuh oleh teknologi.

Senin, 19 September 2011

Syukur Hanya Perkara Receh

Di salah satu toko buku terbesar di Indonesia. Muka saya mulai masam. Pikiran mulai keruh. Tas ransel hitam yang sebelumnya melekat di punggung sudah dibedah semua isinya. Dompet hitam milik saya yang biasanya lebih sering saya masukkan ke dalam tas dari pada saku celana tidak ketemu. Saya memang memutuskan tidak membeli buku. Namun satu kewajiban yang saya harus tunaikan adalah membayar parkir. Sungguh tidak besar, hanya seribu rupiah. Tapi dalam keadaan saya yang tidak membawa dompet. Uang seribu sama saja dengan semilyar atau bahkan tak hingga bila dikonversikan. Persis seperti teori kebutuhan Moslow.

Saya mencoba merogoh semua sela dari setiap rongga di tas, di celana, dan di baju. Mengawasi dengan seksama lantai mungkin saja ada beberapa receh yang terjatuh. Setelah dikumpulkan semua yang saya berhasil peroleh hanya delapan ratus rupiah. Artinya saya kurang dua ratus rupiah lagi!

Betapa saat itu perasaan tertekan. Seolah saya telah dimainkan oleh uang dua ratus rupiah. Berusaha melakukan hal mulai dari cara masuk akal hingga sama sekali tidak. Singkat cerita pada akhirnya saya berhasil mendapatkan sisa uang itu dengan meminta uang pada seorang wanita yang tengah menunggu jemputan di depan toko buku-yang sama sekali tak saya kenal-.

Begitulah kita. Selama ini kita sering meremehkan semua hal yang kecil yang ada dalam hidup kita. Kita meremehkan keberadaan uang receh seratus, dua ratus, lima ratus rupiah. Kita sering menunda melakukan sesuatu karena meremehkan waktu dalam satuan detik, menit bahkan jam. Sering sekali mengatakan lima menit lagi saja, atau besok saja ku kerjakan, sekarang saya mau begini dulu. Saya tobatnya kalau sudah tua saja, sekarang saya ingin foya-foya dulu. Padahal waktu tidak akan pernah genap menjadi satu jam tanpa adanya satu menit.

Kita baru menyadari, menghargai lalu menyukuri itu semua justru ketika itu semua tidak kita miliki, ketika itu semua hilang dari genggaman kita. Sesungguhnya semua itu sudah lama telah kita miliki.

Betapa banyak orang yang lalu lalang tanpa pernah menghentikan siklus dalam hidup kita. Datang dan pergi. Kita tidak pernah tau mana yang lebih dulu. Seperti telur dan ayam. Karena mereka masih ada di sekitar kita. Saat mereka pergi barulah kita sadar betapa kepingan hidup kita hanya tersisa kenangan. Apakah kita cukup hanya hidup dengan kenangan? Seindah apapun kenangan, itu hanya fana. Maka mungkin itulah kenapa ada surga, agar manusia tidak lagi hidup hanya bahagia dalam kenangan. Semua telah abadi. Siklus telah terhenti.

Ribuan puzzle peristiwa yang kadang terbang begitu saja seperti buih pada sabun. Kita tidak pernah sungguh memberikan makna pada semua itu. Saat kita dihadapakan pada badai kehidupan dan harusnya kita belajar dari pengalaman, kita malah seperti keledai dungu yang tak tau apa-apa. Bukankah setiap hal yang diciptakan Allah tidak ada yang percuma. Mungkin saja semua peristiwa kecil dari hidup kita adalah pembelajaran.

Syukur sering tandus karena lalai. Sering kita mengucapkannya hanya sebatas ungkapan. Apalagi di era ke-“Syarini”-an yang menjadikan lafal syukur sebagai kelatahan. Di pinggiran mall, di obrolan kampus, hingga anak-anak kecil yang baru menggapai dunia luar baru dari televisi.  Memang dunia ini  semakin “sesuatu banget!”

Terkadang kita terangsang bersyukur justru ketika melihat musibah sedang menimpa orang lain.

"Alhamdulillah kita di Indonesia masih bisa makan. Bayangkan saudara-sauadara kita di Somalia harus kelaparan. Perut mereka yang buncit, tapi setiap organ yang lain kering kerontang. Hanya tersisa tulang belulang."

"Alhamdulillah kita mampu membeli baju dengan harga dengan digit 0 di atas 6, lihatlah mereka dipinggir jalan yang lusuh dan serba compang-camping."

Semakin dramatis, semakin tulus rasa syukur kita. Pantaskah kita harus mulai bersyukur hanya setelah melihat ketidakberdayaan, penderitaan orang disekitar kita? Pantaskah kita menjadikan kesengsaraan orang lain sebagai komoditas alasan kita bersyukur?

Betapa banyak hal yang bisa diambil dari diri kita sendiri untuk memulai bersyukur. Kalkulasi sendiri, Daftar sendiri, semua ada di ruang dan waktu hidup kita sendiri. Karena nikmat yang kita rasakan adalah tentang relativitas kehendak Allah Sang Pemurah. Takdir.





Senin, 08 Agustus 2011

Sejumput tentang Ramadhan


Hal yang paling mengusik saya kala Ramadhan ini masih mengenai pencarian kos. Apa ya…Bagi saya mencari kos itu sulit! Saya bukannya ogah-ogahan untuk mencari kos. Saya berjuang untuk itu. Saya keliling satu tempat kos satu hingga tempat kos yang lain. Bahkan saya sempat membaca tutorial bagaimana mencari kos yang baik dan cepat di internet. Sayang hasilnya masih nihil. Ada tempatnya, hati yang nggak ada. Ada hati, tempatnya yang nggak ada. Apalagi mencari kos di waktu sekarang-sekarang ini sudah menjadi kesulitan karena sudah banyak dirombong oleh mahasiswa baru. Oh dalam keadaan seperti ini saya semakin merasa RumCay adalah sebaik rumah yang pernah kusinggahi. I love so much.
Untung tiga hari ini saya merasa terhibur dengan keasyikan Ramadhan. Biasanya saya menghabiskan waktu dengan menonton dorama, tilawah, tidur, kajian lalu mengulang kegiatan tersebut  lagi untuk hari itu dan keesokan harinya. Dan inilah daftar tersebut secara urut:

Pertama kalinya makan masakan aceh,

Saya memesan mie aceh cumi, roti cane es krim strawberry dan milk shake cokelat. Mie aceh cumi itu mie yang bumbu rempahnya terasa kuat sekali. Ketika kita makan, sensasi dimulut adalah fusi antara rasa dan bau yang tajam. Pedas yang dipakai bukan menggunakan cabai tapi merica. Mienya sendiri memang membuat kenyang. Baru setengah piring saja, perut rasanya sudah terisi penuh. 



Berbeda dengan roti cane. Roti cane itu adalah roti yang bisa dimakan dengan berbagai macam aneka rasa. Bisa di saji dengan gulai kambing-akan memeberikan rasa manis dan pedas-, bisa di saji dengan es krim – akan memberikan rasa manis dan manis-. 


Banyak komentar kalau beda daerah beda lidah. Itu sebabnya teman-teman saya yang notabene orang jawa kurang begitu cocok dengan masakan aceh karena selera rasanya jauh berbeda. Untungnya saya sih oke aja dan sungguh menikamatinya. Mungkin harganya saja yang kurang bisa dinikmati. He…

Pertama kalinya saya sholat terawih melahap 1 juz,

Percaya atau tidak bagi saya ini kebetulan pangkat tiga. Waktu diskusi menentukan dimana kita akan terawih setelah dari buka bareng. Terselip dua nama masjid, Jogokaryan dan Kauman. Saya sebelumnya sudah tau kalau Jogokaryan imamnya selama seminggu akan diisi oleh syekh dari Palestina. Itu alasan kenapa saya lebih getol menolak di sana. Soalnya takut lama. Dan mati-matian memilih masjid Kuaman saja.

Awalnya semua berjalan sesuai rencana. Terawih di Kauman memberikan sensasi kuno yang secara tidak sadar membuatku nyaman. Terawihnya terasa sedang wisata. Sampai semuanya berubah saat seorang pembicara maju (ustadz Fani kalau nggak salah). Intinya sih mengatakan bahwa kita akan sholat terawih satu juz. Saya langsung menggumam dengan ekspresi yang sangat terkejut, what? 1 juz?  Geblek salah tempat nih.

Dan kebetulan pangkat tiganya adalah ternayata di Kauman imamnya juga syekh dari Palestina. Dan kalau melihat ada Ustadz Fani di sana, bisa jadi syekh Palesetina yang di Kauman itu yang harusnya di Jogokaryan. Bukankah ini menerima apa yang ditolak?

Kalau berbicara bagaimana rasanya. Saya merasa tidak khusuk! Mungkin iman saya yang memang belum sampai tahap 1 juz. Tapi betapa lamanya kita berdiri membuat pikiran saya punya banyak waktu mengembara kemana-mana, kaki saya seolah harus terpaksa bergerak, mata saya memandang sekitar dan mengamati keadaan sekitar -hampir semua kaki jama’ah selalu bergoyang-. Pokonya kalau diibaratkan rasanya hampir sama seperti di upacara. Kita berdiri dalam rentang waktu yang bisa dikatakan lama. Setelah semua berakhir, saya (pribadi) merasa sudah sok pantes masuk surga saja. He…

Pertama kalinya saya (mau) merasa dekat dengan teman liqo’,

Bagi saya Seno dan Atna memang dua orang yang cukup paling bisa mengimbangi keeksentrikan gaya saya. Mungkin karena mereka juga eksentrik. Atna yang golongan darah A banget dan Seno yang culun nan bersahaja.

Kalau ketemu isinya memang hanya saling menghina, saling menjatuhkan, dan  ngobrol nggak penting. Memang sih hidup saya hanya berisi kolaborasi hal-hal tersebut. Tapi mau bagaimanapun itu menyenangkan bagi saya.

Saya dan Atna berkunjung ke tempat KKN nya Seno. Saya sampai detik terakhir masih saja bingung. Memang kita mau ngapain sih di sana?Tapi dari siang sampai buka bareng di sana, terasa begitu special. Walau melakukan hal-hal tidak penting tetap saja menarik dan menyenangkan. Melihat Seno yang terlihat sedikit lebih gemuk, adu mulut dengan Atna, sampai ghibah kemana-mana -ups!-. Bagi saya kemarin menjadi salah satu episode paling berkesan dalam hidup saya. Apalagi dimalamnya saya mendapatkan dua sms dengan waktu hampir bersamaan dari mereka berdua.

“Great day with Wisnu and Seno today! Semangat mengumpulkan tiket surga di ramadhan ini! Fighting!” ( Atna, 070811 22:08). Ini dikatakan oleh Atna yang setau saya jarang mengungkapkan rasa suka-benci-marah-bahagia-kecewa-lega atau perasaan lainya secara eksplisit. Dan Atna telah menjadi penolong saya pada akhirnya. Untuk sementara, saya bisa mengungsi di rumahnya sampai saya mendapatkan kos yang layak. Lega. Dari sekian banyak teman saya, saya cukup terkejut Atna lah yang mau menolong saya.

“Makasih bnyk whisnu untk semuany hari ini.,,,insyaAllah smgt ku menyala lg., jazakumullah..”(Seno, 070811 22:12)


Intinya ternyata bukan saya yang merasa GR sendiri bahwa kemarin adalah hari yang menyenangkan. Tapi kalian berdua juga. Terimakasih ya!
~We~


Kamis, 04 Agustus 2011

Rehat Sejanak, Art 11 Jogja

Bersama Atna saya akhirnya bisa ngeluyur. Setelah berlelah-lelah mencari kos yang tak kunjung berhasil ( depresi berat).
Hari ketiga saya di Jogja yang kebetulan menjelang puasa. Jogja sedang ada gawe yaitu Art 11 Jogja. Agenda seperti ini hampir ada setiap tahun. Bagi pecinta seni, Art Jogja bisa jadi yang paling ditunggu. Pameran karya seni yang kadang di luar nalar manusia biasa. Memang seni itu menuntut “gila” karena orang gila imajinatifnya tidak terbatas. Dan tentu saja sense yang sensitif untuk menyedu keadaan sekitar menjadi sentilan.
Di halaman luar kita akan melihat patung ukuran raksasa yang sebenarnya cute. Namun wajah nya diretakkkan. Kalau biasa saja pasti akan dikatakan bagus, tapi kalau terlihat tidak biasa baru bisa dikatakan “seni”. Seni kan memang karya yang menampilkan hal-hal yang tidak biasa. Sejenak saya juga melihat proses kreatifnya. Wah…Untuk membuat ini, benar-benar dilakukan usaha serius. Sampai melibatkan bulldozer segala.

Seni itu ungkapan kebebasan. Memang begitulah seniman mengungkap kesenian.  Sebut saja mengenai sex. Sex bukan barang yang harus dibuat tabu. Seolah sex adalah realita biasa. Saking biasanya sex sudah disetarakan dengan kegiatan lain semisal belanja, makan, atau bekerja.


Seni itu absurd. Banyak dari lukisan atau patung atau apaun yang dipamerkan, kadang membuat kita harus melihat dari berbagai sudut untuk bisa menerjemahkan maknanya. Bagi saya lukisan absurd semakin dilihat semakin membingungkan.


Khusus di Art 11 Jogja seni juga diartikan sebagai teknologi. Ada beberapa pameran robot atau setidaknya replika robot atau sesuatu apapun itu yang menggunakan tekhnologi. Ada satu robot yang dibuat seperti sedang orchestra jawa. Kalau dinyalakan maka lampu akan menyala, lalu setiap gendang akan menabuhkan bunyi “bum…bum”. Ada juga replika robot dalam berbagai bentuk dan ukuran mini.






Menjelang pintu keluar -kalau menurut rute ku-. Kita akan disuguhi layar LCD yang berjajar. Isinya adalah video Toni Blank. Haha…Bang Toni ini kalau ngomong ngasal tapi seolah apa yang diomongkan serius. Jadi apa yang dibicarakannya lucu dan nyindir, tapi raut wajahnya seolah mengatakan “aku mengatakan sesuatu yang benar dan berat!”. Tidak semua lucu dan fiktif sih, ada beberapa pandangan Bang Toni dalam melihat gejala lingkungan memang benar adanya. Kalau sudah gitu sedikit…terlihat arif. Video Toni Blank juga bisa dilihat setiap hari selasa di youtube.



Terlepas dari semuanya. Art 11 Jogja selalu menarik. Yah...karena gratis juga.he…karena seniman itu bukan gila uang kali ya? Bagi mereka apa yang mereka buat bisa dinikmati orang, sudah menjadi apreasisasi terlayak. Walau kadang apresiasinya dalam bentuk kalimat “Ini apaan sih?” atau “Kok aneh banget ya?” Tapi bukankah seniman itu memang cuek dan eksentrik?









~We~
28072011
Ditulis, 05082011

Pertama Kali Terbang di Udara

Inget persis staun lalu pngalaman naik psawat trbg prtama x dri minangkabau k cengkareng. Pulg tgh mlm naik prima jasa, djmput papa dni hri d plataran mal. Sampai rumh lgsg ngluarin olh2 trus tidur ga mndi. Smntr itu kamu mlh kmalangan, he…
(SMS dari Mbak Dyah, 18 Juli 2011 22:30 WIB)


Wah iya, sudah satu tahun. Benar-benar berlalu cepat sekali. Satu sms dari Mbak Dyah yang masuk mengunduh memori lama saya untuk bangkit. Perjalanan tentang Bandung dan Padang.


Setahun yang lalu, hanya dengan rencana ala kadarnya saya dan dua rekan memutuskan untuk menghabiskan liburan dengan pergi ke Bandung dan Padang. Tujuannya selain berwisata adalah untuk berkenalan dengan keluarga masing-masing.


Senang rasanya bisa berkunjung dan membuka pelataran suatu tempat baru untuk pengalaman. Bisa mencicipi pengalaman demi pengalaman dari satu daerah ke daerah berikutnya. Mulai dari pengalaman pertama kalinya bisa melihat Bandung dengan kemacetan Jalan Dagonya. Pengalaman pertama kalinya menapak pulau Sumatra. Berlayar malam hari dari pelabuhan Merak ke Bakahuni. Menghirup udara Lampung. Melihat jajaran karet, Jati dan Kelapa Sawit berjajar di hutan. Memandang Rumah berjarak teramat lebar antara satu sama lain. Mendengar Bahasa yang terdengar asing.


Di Padang waktu yang kita habiskan sangat lama. Saya bisa mejelajah hampir seluruh objek wisata di Sumatra Barat. Mulai dari Istana Pagar Ruyung yang tengah direnovasi akibat terbakar setalah tersambar petir. Bukit Barisan yang meliuk-liuk. Jam Gadang tegak putih menjulang. Pantai-pantai di Pariaman yang berpasir putih, sepi dan sepoi. Semua adalah tempat baru yang sebelumnya mendengar saja belum pernah.


Begitu juga dengan kuliner. Kadang antara satu tempat dengan tempat yang lain punya makanan yang sama. Kemasan dan namanya saja yang berbeda. Seperti picel, di Padang begitu sebutannya. Kalau di Jawa di sebut Pecel. Saya mencicipi berbagai macam kuliner yang karena namanya asing banyak yang saya lupa. Satu yang paling berkesan tentu saja saat bisa mencicipi masakan Padang di Padang. Dan di sana rumah makan Padang tak perlu mencantumkan nama Padang di papannya.


Ciri khas masakan Padang adalah bersantan, gelap dan pedas. Rasanya semua masakan harus diolah sebagai balado. Telur balado, ayam balado, daging balado, udang balado, ikan balado, hingga tempe dan tahu juga diolah balado. Dan itu jadi menu setiap hari. Bagaimana kolestrol mereka tidak bermasalah?


Untuk pertama kalinya juga saya bisa terbang dengan pesawat terbang. Saking euforianya kami sempat hendak ingin membuat video lipsing dari lagu tell me why yang pernah dipopulerkan backstreet boys.
Bertambah tinggi suatu tempat semakin tinggi pula tekanan udaranya. Semakin berat hemoglobin kita untuk bekerja. Gendang telinga akan mengalami tekanan yang lebih tinggi- salah satu alasan kenapa bayi yang belum cukup umur dilarang naik pesawat. Entah karena saya kurang sehat atau apa. Tapi waktu hendak lepas landas. Saya mengalami tekanan di telinga yang menciptakan rasa sakit sekali. Tidak ada dengungan. Hanya terasa seperti ditusuk sesuatu. Meski sempat mengalami hal kurang menyenangkan, Alhamdulillahnya tidak terjadi apa. Gendang telinga saya masih sehat sampai sekarang. Penerbanganp pertama dinyatakan berhasil.


Sesampainya di Bandara Sukarno-Hatta kami berpisah. Saya terpaksa tidur di masjid yang ber-AC karena sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan. Karena sendirian, tidurpun jadi was-was. Tas, saya usahakan selalu dalam dekapan erat tangan. Selalu was-was dengan orang asing. Nasib malang saya waktu itu memang sulit terelak. Sudah sedimikian berusaha dengan keras menjaga semua barang. Sepatu saya masih bisa raib juga-Oh, ini kehilangan sepatu ke sepuluh selama saya kuliah. Akhirnya saya terpaksa mencuri sepatu masjid bandara (kondisi saya sungguh sangat memaksa saat itu). Tidak mungkinkan saya berjalan tanpa alas apapun? Sandal masjid walau sebenarnya juga tak layak pakai (sudah terpotong bagian paling atas yang sepertinya dipakai untuk penanda) tetap saja bagi saya sandal tersebut sangat berjasa.


Belum berhenti kemalangan saya. Di stasiun, selang bebarapa saat setalah saya mendapat kabar bahwa ATM saya sudah di transfer uang untuk beli tiket pulang naik kereta. Saya merogoh saku saya. Sampai sedalam tangan saya bisa merogoh. Kosong. Lemas kaki ini menopang tubuh. Saya bersandar menenangkan diri. Untungnya telepon genggam saya tidak ikut raib. Kalau ikut raib, saya sungguh tak akan pernah bisa membayangkan kelanjutan hidup saya.


Alhamdulillah pertolongan Allah datang melalui  Mas Anggoro. Mas Anggoro meminta saya untuk ke rumahnya terlebih dahulu. Naik taksi hingga menguras argo sampai seratus ribu (kalau PP, tinggal dikali dua saja). Saya sempat mengalami kesulitan untuk masuk perumahan Mas Ang. Satpam menahan saya karena saya tidak punya janji, saya jelas tidak punya KTP. Untungnya Mas Ang cepat bertindak dengan mengatakan saya adalah tamu papanya. Oh sungguh saat itu saya merasa sebagai orang penting saja.


Saat melihat sandal (curian) saya yang sudah buluk. Ibunya Mas Ang sempat menghina. Awalnya saya sempat malu untuk mengakui. Dengan terpaksa saya mengakui dengan malu-malu. Sandal itupun dibuang dan saya dikasih sandal jepit yang lebih layak. Saya juga dikasih kesempatan berkunjung ke resort milik keluarga mas Ang. Tentu saja akhirnya saya dipinjami uang untuk pulang. Saya memang selalu malu setiap menjadi beban orang lain. Di sisi lain kondisi yang serba kesulitan mendorong paksa hati dan mulut saya terus berkomat-kamit mengucap syukur.
Sungguh disetiap kesulitan selalu ada ruang untuk kemudahan. Dan Allah selalu dekat dengan hambanNya yang tercekik kesulitan.


Semua yang terjadi saat itu baik kecewa atau bahagia, duka atau suka, amarah atau kesabaran semua telah menjadi satu paket istimewa dalam warna pengalaman hidup saya.


Nb: Terimakasih untuk Mbak Isti dan Mbak Dyah, rekan perjalanan yang menyenangkan. Kepada keluarga Istanto yang mensubsidi biaya pesawat, jamuan selama disana, biro perjalanan keliling Sumatra Barat, dan rumah untuk singgahnya. Juga kepada keluarga Mbak Dyah yang sudi mengantar kami hingga ke Bandung (walau memang kebetulan), rumah singgah, dan bubur ayamnya. Kepada keluarga Mas Anggoro yang mau meminjamkan uang demi bocah nelangsa ini untuk kembali pulang.
Mengenang satu tahun perjalanan Bandung-Padang.

Istana Pagar Ruyung Baru
Istana Pagar Ruyung yang tersambar petir

Padang di terminal ANS

Salah satu pantai di Pariaman

Becak motor

Rumah makan di Pariaman

SMAN 1 Padang pasca gempa

di pasir pantai mengukir nama

Sate Padang

Di pantai malin kundang

di jembatan sebelum pantai salido

Bukit bintang Pariaman

 di Kapal, kita bikin video lipsing

Rumah keluarga Mbak Isti yang konon usianya 100 tahun lebih

Jam Gadang

Pemandangan di Bukit Barisan

Jembatan Siti Nurbaya

ATM disana bentuknya rumah gadang

di Prasasti Malin Kundang (sebenarnya dilarang foto)