Sabtu, 03 November 2012

Membebaskan Perasaan


Tepat dua bulan. Setiap dua minggu sekali. Hari ini pertemuan ke delapan ku.
Awalnya, hanya karena ikut-ikutan Ani yang mendadak berubah lebih tidak ter-deskripsi-kan. Entahlah, aku kesulitan menamai perubahan Ani. Hanya dia benar-benar berubah. Satu hal yang kulihat, Ani sudah mulai berani bilang tidak suka pada sesuatu. Itu hebat jika yang berkata itu Ani. Kalau ada beberapa kata yang menggambarkan sosok Ani adalah selalu bilang iya dan tidak pernah bilang tidak.
Kami biasanya duduk bersila. Diatas satu bantal berwarna merah. Tanpa sandaran. Beberapa aroma terapi. Dan bunga sedap malam disetiap sudut ruangan. Ada tujuh belas orang. Kami duduk berpasangan. Boleh bercerita apapun, dan pada gilirannya kami berubah menjadi pendengar apapun. Cukup itu. Tidak ada yang lain. Kami boleh marah,senang, sedih, kecewa, jengkel. Boleh bercerita panjang atau pendek. Lama atau sebentar. Semua perasaan yang kita rasakan dan semua hal yang ingin kita ungkapkan tidak boleh kita tahan. Karena tidak ada yang perlu disembunyikan.
Karena jumlah kami ganjil, dan aku adalah pendatang baru dengan terpaksa pasanganku adalah sang tentor, Ataka. Ataka, pemuda seusiaku, 25 tahun. Sekilas ketika melihatnya, tak ada yang berbeda dengannya. Tapi ketika melihat matanya, selalu ada ketajaman. Setiap melihatnya seolah kita sedang dilihat hingga ketingkat dalam diri kita. Peramal? Bukan. Cenayang? Bukan. Kata Ani, Ataka tidak punya yang seperti itu. Pelatihan ini hanya pelatihan psikologi biasa. Metode ini mulai dikembangkannya ketika dia masih mengambil master di bidang psikologi Harvard University. Menurutnya semua sangat simpel, ketika kita mengerti orang lain, maka kita bisa mengerti diri kita. Ketika kita bisa memahami orang lain, kita juga bisa memahami diri sendiri. Dan baginya kebenaran itu selalu datang dari diri sendiri.
“Aku capek!” Dari awal pertemuan sampai sekarang kata itu yang selalu kujadikan ceritaku. Hanya itu. Ataka hanya selalu diam. Tak pernah ada tanggapan. Tak pernah ada yang kata-kata yang diberikan. Tak pernah ada sentuhan atau apapunlah yang membuatku bisa merasa bahwa aku berbicara dengan seseorang, bukan patung. Padahal ketika aku mengawasi sekitarku, semua orang telihat sangat menikmati peran pencerita dan pendengar tanpa seolah menjadi si bisu dan si banyak omong.
“Kenapa selalu diam guru?”
“Karena jawaban terbaik untuk ceritamu hanya diam.”
“Tapi sampai sekarang aku tidak pernah merasa lebih baik dengan guru hanya diam!” Nada suaraku meninggi. Aku bisa merasakan rasa jengkel menyusup pada kata-kataku yang baru saja kukeluarkan. Sekeliling mendadak berhenti dan mengawasi kami.
“Maaf atas kelancangan saya.” Aku merasa pernyataanku tadi terlalu lancang. Hening. Aku diam. Ataka juga diam. Semua orang juga diam. Tak ada suara. Bahkan tak ada yang bergerak.
“Akhirnya. Kamu jujur pada perasaanmu sendiri.”
Dalam beberapa detik mataku beradu dengan mata Ataka. Ketika mata kami beradu aku merasa ada dorongan yang muncul tiba-tiba. Sesuatu dalam diriku dilihat. Sesuatu kekosongan dalam diriku tiba-tiba perlahan tidak kurasakan. Sesuatu yang kusembunyikan tiba-tiba dilepaskan. Aku tidak tau bagaiamana caranya. Tapi aku yakin itu semua Ataka yang melakukan. Aku terhenyak. Aku menunduk. Aku menangis.
“Aku diam karena aku menunggumu untuk siap. Apa yang kamu rasakan sekarang bukan pencerahan. Bukan pula kebenaran. Itu hanya dirimu sendiri. Jangan pernah menahannya lagi. Lepaskan dirimu dari batas iya dan tidak. Seharusnya dan tidak seharusnya. Percaya dan tidak percaya. Dirimu adalah dirimu. Jadi terimalah. ”
“Sekarang pergilah. Lunasi apa yang harus kamu lunasi. Sampaikan apa yang harus kamu sampaikan. Tidak perlu lagi ada belenggu. Bebaskan dirimu.”
“Tapi saya tidak yakin berani guru?”
“Kamu harus percaya pada dirimu. Kelelahanmu hanya karena pelarian dari semua penolakanmu.”
“Terimakasih. Saya pamit guru.” Aku menyeka air mataku. Membereskan tasku. Dan aku berlari keluar. Aku tak menghiraukan semua tatapan seisi ruangan yang melihatku. Lagi-lagi aku tidak tau bagaiamana hingga Ataka seolah tau sesuatu yang tak pernah kuceritakan ke siapapun tentang perasaanku. Sesuatu yang menjadi lubang untukku melangkah. Tapi Ataka benar-benar membantuku.
“Silakan”. Suara samar Ataka yang masih bisa kudengar.
***
Dua tahun tak pernah memberiku cukup keberanian untuk mengakui perasaanku akan ketidaksanggupanku untuk hidup dengannya. Waktu seolah menjadi beku, layu, dan kaku. Aku tau aku egois. Tapi sebagai mahasiswa farmasi aku tau kenyataan kalau Ryan dengan Hepatitis- B1 nya kecil kemungkinan bisa disembuhkan. Bukan sebatas itu, Hepatitis juga merupakan penyakit yang mampu menurun dan sangat menular bahkan jauh lebih ganas dibanding HIV. Adakah kebahagian yang ditawarkan dari kehidupan yang seperti itu?
Sejak saat itu semua informasi tentang Hepatitis B kukumpulkan. Setiap ada diskusi tentang Hepatitis B selalu kuikuti. Aku selalu berharap ada celah, walau hanya sekecil lubang ujung jarum. Dilaptopku bahkan ada satu folder yang kuberi nama “IHateHepatitisB” yang bahkan sudah mencapai 10GB. Isinya mulai dari artikel, jurnal,sampai dengan video.
Sudah dua tahun juga, aku tak pernah berhenti memperhatikannya. Setiap ada kesempatan aku akan menengoknya untuk melihat kondisinya. Dan semakin lama aku melihat bukan hanya fisik yang digerogoti oleh penyakit biadab itu. Tapi juga psikisnya. Setiap obrolan kami yang kudengar hanya kemuraman. Pada akhirnya yang kudengar hanya tentang kematian.
Aku berusaha menerima semua itu. Aku berusaha percaya cinta mampu mendamaikan semuanya. Membuatku selalu punya kekuatan untuk bisa menerima keadaan. kenyataanya sebaliknya. Aku menjadi terlalu lelah. Semua itu membuatku melakukan banyak pelampiasan. Aku mengambil semua pekerjaan yang ditawarkan padaku, mulai jurnalis, asisten laboratorium, asisten dosen. Ketika teman-temanku mengajakku keluar hanya sekedar makan hingga belajar bersama tak pernah ku tolak. Aku selalu berangkat pagi, pulang malam. Selama aku bisa, aku harus mengisi pikiranku. Karena ketika pikiranku kosong, batinku tersiksa atas kebohongan yang kubuat. Semua itu berlangsung bahkan sampai sekarang, ketika aku sudah mulai berkerja.
“Na, aku akan lebih bahagia kalau melihatmu bahagia. Dan kebahagianmu bukan bersamaku.”
“Jangan pernah berbicara seperti itu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, percayalah!”
Sebenarnya sudah sangat sering Ryan memintaku untuk meninggalkannya. Dia selalu berharap untuk melupakannya. Menggapai hidup baru yang jauh lebih baik dari sekarang. Dan lagi-lagi aku dengan pengecutnya tidak berani mengungkapkan perasaanku.
***
Aku mengayuh sepedaku menuju tempat Ryan yang tak jauh dari tempatku saat ini. Aku menangis. Tapi aku sadar aku bahagia. Keberanian yang sudah kutunggu begitu lama. Sebagian diriku yang selalu terasa kosong, tak kurasakan lagi.
Langit begitu mendung. Aku mengayuh lebih kencang. Takut hujan akan lebih dahulu mengguyurku sebelum aku sampai di  rumah Ryan.
Tak butuh waktu lama aku sudah sampai di depan rumahnya. Aku mengetok pintu. Dari dalam aku mendegar suara langkah kaki yang menuju ke arah pintu. Pintu terbuka. Dan itu Ryan.
Aku memeluknya. Aku tertawa keras. Aku tidak menahan apapun perasaan yang sedang kurasakan. Semua bebas dan lepas. Membuatku meledak hingga tak bergerak.
“Ada apa ini? Kamu kenapa Na?” Aku melepaskan pelukanku. Melihatnya yang sedang dikepung ribuan tanya.
Aku memeluknya lagi. “Maaf. Tapi kamu benar! Kamu benar!”
“Benar tentang apa Ana? Ada apa? Kamu kenapa?”
“Iya kamu benar. Maafkan aku, aku benar-benar mencintaimu hingga bisa bertahan hingga sekarang untuk terus mencintaimu. Tapi aku tidak bisa bertahan lagi. Aku tidak bisa terus membohongimu seperti aku membohongi diriku sendiri.”
Tiba-tiba Ryan memelukku. Merengkuh lebih erat. “Cukup…Aku mengerti.” Bisikmu lirih.
***
Hujan turun dengan deras. Aku terbebas. Aku mengayuh sepeda dengan bahagia, juga dengan kecewa. Tidak mudah melepas sesuatu sekalipun aku tau itu yang selama ini kuinginkan. Aku suka hujan. Karena hujan meredam semuanya. Menyembunyikan air mataku dalam basuhan airnya.

***
Yogyakarta, 3 November 2012
For Ana! Selamat Ulang Tahun yang ke-22 yah…
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi ha ti atau kanker hati.1)