Sabtu, 03 November 2012

Membebaskan Perasaan


Tepat dua bulan. Setiap dua minggu sekali. Hari ini pertemuan ke delapan ku.
Awalnya, hanya karena ikut-ikutan Ani yang mendadak berubah lebih tidak ter-deskripsi-kan. Entahlah, aku kesulitan menamai perubahan Ani. Hanya dia benar-benar berubah. Satu hal yang kulihat, Ani sudah mulai berani bilang tidak suka pada sesuatu. Itu hebat jika yang berkata itu Ani. Kalau ada beberapa kata yang menggambarkan sosok Ani adalah selalu bilang iya dan tidak pernah bilang tidak.
Kami biasanya duduk bersila. Diatas satu bantal berwarna merah. Tanpa sandaran. Beberapa aroma terapi. Dan bunga sedap malam disetiap sudut ruangan. Ada tujuh belas orang. Kami duduk berpasangan. Boleh bercerita apapun, dan pada gilirannya kami berubah menjadi pendengar apapun. Cukup itu. Tidak ada yang lain. Kami boleh marah,senang, sedih, kecewa, jengkel. Boleh bercerita panjang atau pendek. Lama atau sebentar. Semua perasaan yang kita rasakan dan semua hal yang ingin kita ungkapkan tidak boleh kita tahan. Karena tidak ada yang perlu disembunyikan.
Karena jumlah kami ganjil, dan aku adalah pendatang baru dengan terpaksa pasanganku adalah sang tentor, Ataka. Ataka, pemuda seusiaku, 25 tahun. Sekilas ketika melihatnya, tak ada yang berbeda dengannya. Tapi ketika melihat matanya, selalu ada ketajaman. Setiap melihatnya seolah kita sedang dilihat hingga ketingkat dalam diri kita. Peramal? Bukan. Cenayang? Bukan. Kata Ani, Ataka tidak punya yang seperti itu. Pelatihan ini hanya pelatihan psikologi biasa. Metode ini mulai dikembangkannya ketika dia masih mengambil master di bidang psikologi Harvard University. Menurutnya semua sangat simpel, ketika kita mengerti orang lain, maka kita bisa mengerti diri kita. Ketika kita bisa memahami orang lain, kita juga bisa memahami diri sendiri. Dan baginya kebenaran itu selalu datang dari diri sendiri.
“Aku capek!” Dari awal pertemuan sampai sekarang kata itu yang selalu kujadikan ceritaku. Hanya itu. Ataka hanya selalu diam. Tak pernah ada tanggapan. Tak pernah ada yang kata-kata yang diberikan. Tak pernah ada sentuhan atau apapunlah yang membuatku bisa merasa bahwa aku berbicara dengan seseorang, bukan patung. Padahal ketika aku mengawasi sekitarku, semua orang telihat sangat menikmati peran pencerita dan pendengar tanpa seolah menjadi si bisu dan si banyak omong.
“Kenapa selalu diam guru?”
“Karena jawaban terbaik untuk ceritamu hanya diam.”
“Tapi sampai sekarang aku tidak pernah merasa lebih baik dengan guru hanya diam!” Nada suaraku meninggi. Aku bisa merasakan rasa jengkel menyusup pada kata-kataku yang baru saja kukeluarkan. Sekeliling mendadak berhenti dan mengawasi kami.
“Maaf atas kelancangan saya.” Aku merasa pernyataanku tadi terlalu lancang. Hening. Aku diam. Ataka juga diam. Semua orang juga diam. Tak ada suara. Bahkan tak ada yang bergerak.
“Akhirnya. Kamu jujur pada perasaanmu sendiri.”
Dalam beberapa detik mataku beradu dengan mata Ataka. Ketika mata kami beradu aku merasa ada dorongan yang muncul tiba-tiba. Sesuatu dalam diriku dilihat. Sesuatu kekosongan dalam diriku tiba-tiba perlahan tidak kurasakan. Sesuatu yang kusembunyikan tiba-tiba dilepaskan. Aku tidak tau bagaiamana caranya. Tapi aku yakin itu semua Ataka yang melakukan. Aku terhenyak. Aku menunduk. Aku menangis.
“Aku diam karena aku menunggumu untuk siap. Apa yang kamu rasakan sekarang bukan pencerahan. Bukan pula kebenaran. Itu hanya dirimu sendiri. Jangan pernah menahannya lagi. Lepaskan dirimu dari batas iya dan tidak. Seharusnya dan tidak seharusnya. Percaya dan tidak percaya. Dirimu adalah dirimu. Jadi terimalah. ”
“Sekarang pergilah. Lunasi apa yang harus kamu lunasi. Sampaikan apa yang harus kamu sampaikan. Tidak perlu lagi ada belenggu. Bebaskan dirimu.”
“Tapi saya tidak yakin berani guru?”
“Kamu harus percaya pada dirimu. Kelelahanmu hanya karena pelarian dari semua penolakanmu.”
“Terimakasih. Saya pamit guru.” Aku menyeka air mataku. Membereskan tasku. Dan aku berlari keluar. Aku tak menghiraukan semua tatapan seisi ruangan yang melihatku. Lagi-lagi aku tidak tau bagaiamana hingga Ataka seolah tau sesuatu yang tak pernah kuceritakan ke siapapun tentang perasaanku. Sesuatu yang menjadi lubang untukku melangkah. Tapi Ataka benar-benar membantuku.
“Silakan”. Suara samar Ataka yang masih bisa kudengar.
***
Dua tahun tak pernah memberiku cukup keberanian untuk mengakui perasaanku akan ketidaksanggupanku untuk hidup dengannya. Waktu seolah menjadi beku, layu, dan kaku. Aku tau aku egois. Tapi sebagai mahasiswa farmasi aku tau kenyataan kalau Ryan dengan Hepatitis- B1 nya kecil kemungkinan bisa disembuhkan. Bukan sebatas itu, Hepatitis juga merupakan penyakit yang mampu menurun dan sangat menular bahkan jauh lebih ganas dibanding HIV. Adakah kebahagian yang ditawarkan dari kehidupan yang seperti itu?
Sejak saat itu semua informasi tentang Hepatitis B kukumpulkan. Setiap ada diskusi tentang Hepatitis B selalu kuikuti. Aku selalu berharap ada celah, walau hanya sekecil lubang ujung jarum. Dilaptopku bahkan ada satu folder yang kuberi nama “IHateHepatitisB” yang bahkan sudah mencapai 10GB. Isinya mulai dari artikel, jurnal,sampai dengan video.
Sudah dua tahun juga, aku tak pernah berhenti memperhatikannya. Setiap ada kesempatan aku akan menengoknya untuk melihat kondisinya. Dan semakin lama aku melihat bukan hanya fisik yang digerogoti oleh penyakit biadab itu. Tapi juga psikisnya. Setiap obrolan kami yang kudengar hanya kemuraman. Pada akhirnya yang kudengar hanya tentang kematian.
Aku berusaha menerima semua itu. Aku berusaha percaya cinta mampu mendamaikan semuanya. Membuatku selalu punya kekuatan untuk bisa menerima keadaan. kenyataanya sebaliknya. Aku menjadi terlalu lelah. Semua itu membuatku melakukan banyak pelampiasan. Aku mengambil semua pekerjaan yang ditawarkan padaku, mulai jurnalis, asisten laboratorium, asisten dosen. Ketika teman-temanku mengajakku keluar hanya sekedar makan hingga belajar bersama tak pernah ku tolak. Aku selalu berangkat pagi, pulang malam. Selama aku bisa, aku harus mengisi pikiranku. Karena ketika pikiranku kosong, batinku tersiksa atas kebohongan yang kubuat. Semua itu berlangsung bahkan sampai sekarang, ketika aku sudah mulai berkerja.
“Na, aku akan lebih bahagia kalau melihatmu bahagia. Dan kebahagianmu bukan bersamaku.”
“Jangan pernah berbicara seperti itu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, percayalah!”
Sebenarnya sudah sangat sering Ryan memintaku untuk meninggalkannya. Dia selalu berharap untuk melupakannya. Menggapai hidup baru yang jauh lebih baik dari sekarang. Dan lagi-lagi aku dengan pengecutnya tidak berani mengungkapkan perasaanku.
***
Aku mengayuh sepedaku menuju tempat Ryan yang tak jauh dari tempatku saat ini. Aku menangis. Tapi aku sadar aku bahagia. Keberanian yang sudah kutunggu begitu lama. Sebagian diriku yang selalu terasa kosong, tak kurasakan lagi.
Langit begitu mendung. Aku mengayuh lebih kencang. Takut hujan akan lebih dahulu mengguyurku sebelum aku sampai di  rumah Ryan.
Tak butuh waktu lama aku sudah sampai di depan rumahnya. Aku mengetok pintu. Dari dalam aku mendegar suara langkah kaki yang menuju ke arah pintu. Pintu terbuka. Dan itu Ryan.
Aku memeluknya. Aku tertawa keras. Aku tidak menahan apapun perasaan yang sedang kurasakan. Semua bebas dan lepas. Membuatku meledak hingga tak bergerak.
“Ada apa ini? Kamu kenapa Na?” Aku melepaskan pelukanku. Melihatnya yang sedang dikepung ribuan tanya.
Aku memeluknya lagi. “Maaf. Tapi kamu benar! Kamu benar!”
“Benar tentang apa Ana? Ada apa? Kamu kenapa?”
“Iya kamu benar. Maafkan aku, aku benar-benar mencintaimu hingga bisa bertahan hingga sekarang untuk terus mencintaimu. Tapi aku tidak bisa bertahan lagi. Aku tidak bisa terus membohongimu seperti aku membohongi diriku sendiri.”
Tiba-tiba Ryan memelukku. Merengkuh lebih erat. “Cukup…Aku mengerti.” Bisikmu lirih.
***
Hujan turun dengan deras. Aku terbebas. Aku mengayuh sepeda dengan bahagia, juga dengan kecewa. Tidak mudah melepas sesuatu sekalipun aku tau itu yang selama ini kuinginkan. Aku suka hujan. Karena hujan meredam semuanya. Menyembunyikan air mataku dalam basuhan airnya.

***
Yogyakarta, 3 November 2012
For Ana! Selamat Ulang Tahun yang ke-22 yah…
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi ha ti atau kanker hati.1)

Senin, 15 Oktober 2012

PROSES#3


Setelah beberapa hari stagnan, tanpa kelajuan, tanpa perkembangan, disitu-situ saja. Hari ini saya lebih bisa fresh. Lebih bisa mengamati apa yang mengikat saya.

Pertama, saya terlalu ingin menjadi “someone” –penulis lain yang saya idolakan-. Saya pernah mendengar kita memang tidak pernah benar-benar bisa melepaskan jeratan dari faktor eksternal semacam ini. Tapi...saya merasa menjadi terpenjara pada satu bilik yang menyiksa. Pada satu titik saya merasa bukan saya. Pada titik yang lain, energi saya habis untuk bisa menjadi seperti “someone”. Pemborosan. Saya adalah saya. Kemutlakan entitas diri. Kalau saya mengejar menjadi “someone”, saya tak lebih seperti proyeksi bayangan di cermin. Ada tapi tidak nyata.

Kedua, saya malas. Tidak ada obat yang mujarab selain...Entahlah, saya sendiri juga kurang tau.

Ketiga, keempat, kelima saya malas...Beneran saya mengalami masa dengan kemalasan tingkat akut. 

Mungkin sih...ini masih saja kemungkinan. Saya masih ingin menulis hanya sekedar untuk mendapatkan pengakuan. Tidak salah, hanya kurang pas. Menulis butuh wadah yang lebih besar dibanding hanya sebuah pengakuan. Seperti ikan yang meskipun bertahan hidup di kolam, tapi wadah seharusnya adalah lautan. 

Kemudian, wadah besar itu apa? yang bagaimana? saya tidak tau. Wadah besar itu sesuatu yang tidak bisa saya definisikan dengan pasti, tapi bisa saya rasakan dengan pasti. Mungkin kebermanfaatan? Mungkin Pencarian? Mungkin Kebenaran? Mungkin Pengabdian? Apapun kemungkinan yang muncul, saya hanya ingin semua bermuara pada satu titik Mahabesar, TUHAN!

Alasan – alasan saya adalah jangkar. Mengait saya untuk berada di dermaga yang sama. Ok, saya seharusnya tidak terjebak dengan beban-beban yang seharusnya saya abaikan. Itu tuntutan yang retoris menurut saya. Keberadaanya ada untuk diabaikan.  Toh menuliskannya seperti ini untuk apa? Untuk siapa?

Selasa, 02 Oktober 2012

PROSES#2


Apa yang saya harapkan terjadi pada hari ini, sama sekali berbanding terbalik dengan faktanya. 0 kata, 0 huruf. Bahkan melihat Atana saja nggak. Atana juga nggak bereaksi apa-apa. Akhirnya saya cuma menunggu dengan nihil. Kami sedang tidak terkoneksi. Saya mengalah.

Besok mungkin saya akan vakum kembali. Saya ingin memperkaya Atana dengan riset. Saya ingin riset tentang bunga anggrek dan burung, untuk tokoh Laras. Informasi tentang pantai Gunung Kidul, Burung, teknik fotografi dan Cemara udang untuk Atana. Beberapa hal filosopis tentang Tuhan, cinta dan kehidupan untuk ruh cerita.


Hari ini saya justru terpikat dengan buku Inheritance yang merupakan series terkair dari novel Eragon. 900-an lebih halaman. Saya bacanya seperti sedang mendaki  gunung. Pelan-pelan, engos-engosan, tapi tetap merangkak naik. Banyak sekali adegan yang menurut saya bisa diilangin. Dipotong sana-sini, tanpa sedikitpun mengurangin keasyikan cerita. Terlepas dari semua kekuarangnnya itu, saya jadi termotivasi kembali untuk mengerjakan novel fantasi yang sudah saya bikin rancangan dunianya. Setelah Atana tentunya.

Senin, 01 Oktober 2012

PROSES#1


saya tidak tau, rasanya ada yang salah dengan diri saya. Rasanya saya sangat susah untuk menulis sesuatu. Apapun itu. Saya teramat malas. Entahlah…saya merasa seperti ada beberapa lapis tembok yang selalu mementalkan keinginan saya menulis. Saya di depan laptop, saya sudah menyiapkan segala yang saya rasa dibutuhkan dalam posisi menulis-Niat,suasana, ide yang mengalir-.  Entahlah dari ketiga hal itu mana yang cacat. Sampai detik ini saya tidak beranjak dari apapun.

Kalau niat dan suasana sudah ada dan begitu mendukung. Kadang idenya terasa begitu “mentah”. Sampai saya kembali bertanya pada cerita saya, “mau gimana?” atau “terus kalau sudah begitu, apa yang kalian inginkan?”.Seringnya saya bertanya, dan mereka tak bersuara.

Saya akhirnya mencoba membeli buku untuk membuat semacam outline. Sejujurnya saya tidak terbiasa dengan metode demikian. Biasanya cerita bergerak menuntun saya menulis. Jadi “mereka” terbebas membuat ceritanya sendiri. Bukan saya yang membuat “mereka” hidup. Tapi “mereka” membuat dirinya hidup sendiri. Yah tapi, apa salahnya mencoba. Setidaknya hanya untuk lebih merunutkan apa yang ada diotak dan benak saya. Siapa tau ini jadi media saya dan “mereka” bisa berdiskusi bersama.

Kita lihat beberapa hari ke depan apa ada perubahan? Saya harap iya.

Baik...ini kita jadikan hari pertama proses kreatif saya dimulai. Dengan catatan saya membuat sedikit kecurangan, karena sudah menulis 1530 kata terlebih dahulu. Anggap saja ini modal awal. Toh akan bertambah atau bertahannya semua tergantung pada saya.

Setelah ini kita akan menyebut “mereka” dengan sebutan Atana. Sampai detik ini, itu identitas mereka yang terlintas.

Kamis, 07 Juni 2012

Kemauan dan Keharusan


“ Apa sih yang salah? Aku selalu merasa jauh lebih baik darimu dalam banyak hal! Kamu tidak lebih hanya penikmat. Sedangkan aku selalu sebagai pelaku. Nyatanya kamu lebih memiliki banyak teman dibanding aku.” Kamu memelankan laju motor. Agar lebih bisa mendengarkan suaraku.

“Apa yang salah?” Aku mengulangi pertanyaan yang sama. Kamu hanya diam. Kamu selalu tau kapan harus menyela,dan sekarang belum waktunya. 

“Aku sudah tamat banyak buku motivasi, psikologi, komunikasi, dan ini, dan itu. Entah berapa kali aku membaca teori yang sama dalam buku yang berbeda. Dan kamu? Aku bahkan masih ingat buku terakhir yang kamu baca!” 

“Akhirnya, fakta, data, analisis itu hanya sebuah teori tentang apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang sesungguhnya terjadi.” Aku masih tidak mau berhenti.

“ Mau mampir di rumah makan padang dulu?” Kamu menyela.

“Aku serius!”

Kamu tertawa.

“Sama seperti yang kamu katakan tadi, aku tidak lebih baik darimu. Tapi bagiku, kita…Manusia…Selalu tau apa yang harus kita lakukan. Mudah membuat orang tau tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Tapi tidak pernah mudah membuat seorang mau melakukannya.”

Aku diam. Suara angin yang kemudian menguasai semuanya. “ Singkatnya, kita hampir dalam banyak hal tau apa yang harusnya kita lakukan, tapi apa yang harus kita lakukan bukan menjadi apa yang kita mau.”

“ Kamu benar. Terlalu sulit bagiku memisah,lalu memilih kapan saat kalah, mengalah, dan pasrah. Semuanya terlalu tercampur.”

“ Aku juga tidak yakin, aku benar-benar punya banyak teman Nu. Semua serba tidak jelas, aku semakin sulit menentukan mana yang basa-basi dan mana yang tulus. ”

“ Aku sering berbohong padamu At. Hanya agar aku terlihat selalu benar dimatamu.” Kepalaku tertunduk. Udara dingin malam semakin menekan kulit.

“ Aku juga Nu.”

“ Berjanjilah padaku bahwa kamu selalu menerimaku sama seperti saat ini kamu menerimaku. Saat aku melakukan apa yang aku mau entah itu apa yang seharusnya kulakukan ataupun tidak. “
 

“ Sampai sekarang aku selalu diposisi itu Nu. Tapi aku berjanji!”

Senyum kami mengembang. Bulan tertutup langit gelap. Lampu berubah hijau. Motor melaju lagi, dengan iringan bunyi klakson.

Minggu, 08 April 2012

KULTWIT: Penyejuk Bagi yang Galau!


oleh  Ustadz Abdullah Gymnastiar @aagym

#Kalau ingin hati tenang, coba penuhi hatinya dengan ingat dan menyebut Allah, sebanyak2nya, silakan rasakan tentramnya

#Sumber semua masalah adalah belum kenal Allah, makin yakin makin nyaman dan mantap hidup ini

#Kalau mau berbuat baik, jangan suka hitung2an, slama ini juga karunia Allah tak terhitung walau kita pelit

#Ayoo jalani hidup lurus lurus ajaa, rejek/karuniai ga akan kemana2, ga tertukar atau meleset.. Semua akan berkah

#Menderita itu bukan krn takdir Allah, tapi karena tak menerima takdir yg ada.

#Pokoknya apapun yg Allah takdirkan bagi hambaNya pasti baik, krn Dia tak pernah zolim kpd hamba2Nya.

#Yang sesat saja diberi petunjuk, apalagi orang yg sungguh2 ingin dekat denganNya.

#Jangan risau ttg masa depan, semuanya ada dalam Genggaman Allah, risaulah bila saat ini tak serius mendekatiNya.

#Semua takdirNya pasti diukur dengan sempurna, tak akan melampaui batas, DIA Maha Adil dan Maha Baik

#Kita ini bodoh.. Akan sengsara skali kalo harus ngurus yg tak kita pahami, lebih enak di urus oleh Yg Maha Tau segalanya.

#Jangan ragukan kebaikan Allah, slama ini kita masih bersikap buruk Dia senantiasa menolong kita, apalagi bila berusaha baik.

#Kita ini ga punya apa2, berat skali kalo smua harus kita bayar, mendingan pasrahkan spy dibayarkan Pemilik langit dan bumi.

#Makin pasrahkan total urusan kita kpdNya, maka kita akan dituntunNya bergerak menyempurnakan ikhtiar yg tepat.

#Pasrahkah spenuhnya kepada Allah, maka dia akan mengambil alih & membereskan urusan2 kita dengan sempurna.

#Jangan ragukan kebaikan Allah, slama ini kita masih bersikap buruk Dia senantiasa menolong kita, apalagi bila berusaha baik

#Apapun yg dilakukan, tetaplah hati bersandar kpd Allah, krn hny DIA yg kuasa menolong kita.

#Semakin banyak keinginan yg siap siap saja hidup makin rumit, kalo banyak bersyukur makin enak.

#Sebetulnya kita tak disuruh mnyelesaikan masalah sndiri, kita disuruh yakin dan taat, lalu Alloh menuntun kita dpt solusi.

Rabu, 21 Maret 2012

Jurnal CWC-Filosopi Angka


Pada tahun 2011 kemarin ketika mendekati hari ulang tahun yang kedua puluh, saya membuat sebuah proyek dengan nama Vulkano. Vulkano berisi dua puluh cerita pendek yang saya buat sesuai umur saya saat itu. Dalam satu bulan lebih saya mencoba menyelesaikannya. Disaat ide datang saya buru-buru menuangkan sebelum menguap hilang. Waktu sela menjadi anugerah yang ternilai harganya. Dan banyak waktu lain yang terpaksa saya korbankan untuk proses menulis. Saya ingat waktu itu juga mendekati ujian. Di otak saya beban ujian dengan beban merampungkan sama besarnya. Hingga pada menit-menit ujian selesai tapi waktu masih tersisa. Saya membuat corat-coret entah dalam bentuk kerangka atau juga bagian dari cerita di lembar soal. Ketika proyek itu selesai dan beberapa orang membacanya, terlebih mengapresiasinya (walau seingat saya kebanyakan hanya membaca sebagian) ada perasaan bangga dan haru yang terus merubungi.
Mungkin terdengar aneh. Saya seolah memberikan kado untuk diri saya sendiri. Namun sebenarnya bukan itu yang menjadi mula pemikiran saya. Saya hanya ingin di umur saya yang kedua puluh bisa membuat sesuatu karya nyata yang bisa diwariskan. Jadi saya bisa berkata ini saya buat ketika umur saya sekian, sekian, dan ini saat sekian!
Sekarang di saat umur saya ke 21. Saya juga ingin sekali lagi merampungkan sebuah projek. Projek kali ini saya beri nama Jurnal 19021991-21 CWC. Saya mencoba membuat sebuah jurnal dari pemikiran saya untuk CWC.
Projek ini beretetapan dengan masa kerja lapangan saya. Otak saya lebih dipenuhi dengan ide tentang projek ini. Saya benar-benar menggebu dalam menyelesaikan projek ini. Saya berusaha berangkat lebih awal di Balijestro (Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropik), bersorak ketika waktu istirahat, mengundur waktu pulang, mendakam di kos, dan saat terindah merampungkannya di rumah. Pekerjaan saya di Balitjestro banyak diisi oleh menunggu. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengotak-atik semua ide untuk setiap babnya dalam otak. Seolah ide itu seperti perjalanan panjang menuju satu tempat. Kadang buntu dan kita harus memutar ulang. Kadang lelah dan kita harus berhenti istirahat. Kadang tersesat dan kita harus memulai mencari jalan lain.
Saya begitu terbantu dengan deadline yang saya tetapkan. Awalnya saya buat dua puluh satu hari. Saya pikir itu terlalu lama. Saya juga harus memikirkan pekerjaan yang lain (novel saya juga masuk perhitungan). Projek ini memenuhi hampir seluruh isi otak saya. Hanya menyediakan sedikit space untuk memikirkan yang lain. Akhirnya saya nekat mengencangkan ikat pinggang dengan menancapkan deadline sangat gila, SATU MINGGU HARUS JADI!
Deadline yang saya buat seperti siksaan paling sadis. Otak saya terpaksa bekerja rodi. Saya jadi selalu melakukan screening terhadap apa pun yang saya temui. Saya menghubungkan semuanya dengan projek ini. Apa yang saya lihat, dengar, baca, dan rasa, apapun itu seolah saya paksa bisa tersambung dengan projek ini. Tapi saya berterima kasih banyak pada deadline yang seperti cambuk api yang melecuti terus untuk merampungkan projek ini. Jika tidak ada dealine, mungkin projek ini akan memfosil lama di satu folder saya.
Bagi saya umur dan karya berkorelasi negatif. Berkurangnya umur justru kita dipaksa untuk bisa berkarya sebanyak mungkin. Saya sadar setiap ulang tahun berarti satu tahun peluang hidup dikurangi. Iya, saya mulai takut mati! Tapi bukan…bukan matinya yang harus saya takutkan karena itu absolut. Tapi seberapa perbekalan yang sudah saya siapkan? Perbekalan itu yang akan jadi media barter untuk kenikmatan abadi yang ingin kita peroleh di dimensi setelah kehidupan ini. Maka projek ini harus lahir dari rahim otak saya bertetapan dengan moment ulang tahun saya.
Setiap angka di jurnal ini semuanya memiliki arti. Kalau boleh jujur, menulis dengan berbagai macam batasan menjadi kendala besar bagi seorang penulis. Otak saya dibuat keriting untuk mernacang ini semua karena harus begini dan jangan begitu.
Jurnal ini memang bukan jurnal ilmiah. Lebih personal. Saya memang sengaja melakukan itu. Saya ingin jurnal ini lebih dekat dan tidak terasa berat dengan bahasa yang terlalu kaku. Saya ingin ketika membaca jurnal ini pembaca bisa merasa sedang membaca majalah. Terasa bebas. Saya juga sengaja menggunakan kata “saya” karena ini memang murni dari pemikiran saya pribadi. 
Jurnal ini terbagi menjadi tiga klasifikasi jenis tulisan yaitu essai, memoar, dan fiksi visual. Untuk klasifikasi pertama saya berat untuk mengatakan berisi essai murni. Tapi tereserah mau disebut apa yang jelas ini bagian dari non fiksi. Saya membuatnya dalam 16 bab kerena saya lahir ditanggal 16.
Kedua, tentang memoar. Memoar ini terdiri hanya dua kisah karena saya lahir bulan dua. Ini bab yang paling angin surga buat saya. Ini hanya tulisan lama yang berisi jejak rekam tentang suatu acara di CWC. Saya tidak perlu membuatnya dari nol. Hanya tinggal memoles sedikit saja.
Ketiga, tentang fiksi visual. Bagian paling akhir yang saya buat. Bagian ini terdiri dari 21 kisah yang sesuai umur yang saya injak saat ini. Saya membuat sebuah flash fiction,puisi,prosa, dan quote yang idenya saya pantik dari foto-foto CWC. Dan jumlah keseluruhan halamannya adalah 91 karena itu tahun lahir saya. Projek yang melelahkan sekaligus melegakan.
Saya puas merampungkan projek ini. Projek yang mebuat seolah kaki di kepala, kepala di kaki. Saya tidak melupakan jurnal ini masih banyak cacat. Tapi saya sudah cukup dimabuk rasa puas. Saya mengerjakan semua bagian pondasi dari jurnal ini. Saya sebagai konseptor, ekskutor, editor, bahkan saya sendiri yang me-lay out semuanya. Dari mulai bagian terkecil yang ada di junal ini, semua saya selasaikan dari, oleh,dan dengan tangan sendiri.
Kalau biasanya ulang tahun saya tidak pernah memberikan apa-apa terhadap pesta kecil dan kado yang selalu diberikan teman-teman CWC. Sekarang saya bisa menjamu kalian. Projek ini adalah kado balik buat semua perhatin teman-teman selama setahun belakangan ini. Sekaligus ucapan terimakasih juga untuk CWC, kawah candradimuka saya.
Sebelum pada akhirnya saya akan mengingatkan orang lain terhadap diri saya yang “suka ngilang”, “eksentrik”, “susah dipahami”,”suka aneh-aneh”, “mau menang sendiri”, dan “ambisus”.
Saya berharap buku ini bisa dibaca dari generasi ke genarasi. Bukan hanya di CWC tapi juga di luar CWC. Memang isinya tentang CWC tapi content yang terkandung di dalamnya juga terjadi pada organisasi lain. Semoga buku ini menjadi amal jariyah yang akan terus mengalir pahalanya buat saya.

Selasa, 20 Maret 2012

Semangkuk Indomie


Kata orang kami pasangan suami isteri paling bahagia di dunia. Hidup mewah di negeri seberang. Harta menumpuk. Anak sudah berumah tangga dan sukses. Kami langgeng hingga pernikahan kami menginjak 30 tahun lebih. Kami awet muda. Dan segudang sanjung lainnya.
“Apa yang kamu rindukan dari masa lalu?” tanyaku padamu.
“Indomie.” katamu datar. Aku tertawa. Kamu juga. Bukan karena kami suka makan indomie. Tapi satu-satunya saat itu yang bisa dimakan adalah indomie. Itupun satu mangkuk berdua. Kami pasangan muda yang belum mapan saat itu. Gaji awal sebagai dosen tak lebih layak daripada kuli. Hidup berpindah dari satu kontrakan super kecil ke kontrakan super kecil lainnya.
“Aku juga.” Sahutku. Orang boleh menganggap kami sekarang seperti apa. Yang jelas ada masa lalu kami yang hari-harinya hanya dihiasi satu mangkuk indomie untuk berdua. Dan saat ini, itu yang tengah kami rindukan di negeri rantau.