-16112010-
Kereta ekonomi datang telat itu biasa, Kereta api sampainya molor juga biasa. Tidak heran orang Indonesia sabar-sabar, soalnya sudah terbiasa bersabar menunggu kedatangan angkutan transportasi.
“Di depan stasiun gubeng ada PDAM lalu belok kiri….”Petunjuk arah yang dikirim Ni’am kurang lebih begitu. Saya lalu menafsirkan bahwa belok kiri setelah di depan PDAM. Lalu saya mengikuti petunjuk berikutnya dari sms pentunjuk yng diberikan Ni’am. Sama sekali berbeda. Tapi saya masih ngotot dengan melangkah ke arah ini. Sampai saya sedikit mulai merasa bahwa saya Kesasar. Katanya kalau kesasar di Surabaya bakal susah baliknya. Saya membayangkan saja ngeri. Dengan rasa gerah yang masih tersisa sejak di kereta, saya memutuskan untuk bertanya dengan seorang penjaga POM bensin.
“Maaf pak Unair kampus A dimana ya?
“Ooo…Di belakang mas.” Masnya menunjuk ke arah belakang Pom. Wah saya sedikit berbahagia, pasalnya saya ternyata tak salah jalan.
Mengikuti jalan dengan petunjuk mas pom bensin- di belakang-. Saya mengikuti jalan aspal (Perintah dari Ni’am selanjutnya berbunyi “ …Ikuti jalan aspal…”. Hallo? Semuanya jalan di Surabaya beraspal). Sudah mentok gang, saya masih belum menemukan kampus Unair. Setidaknya bangunan megahnya saja belum terlihat. Saya sudah merasa salah mengambil jalan. Menyadari akan kesalahan dalam menginterpretasikan sms dari Ni’am. Saya memutuskan balik ke Stasiun Gubeng. Memaknai kembali petunjuk “Di depan stasiun gubeng ada PDAM lalu belok kiri….” Bahwa saya harus belok kiri dari Stasiun yang di depannya ada PDAM. Benar saja. Saya lalu terseret di perjalanan sampai menemukan Unair kampus A. Sampai akhirnya saya sampai ke kosan Ni’am dengan selamat tak kurang apapun.
Rasa lengket karena keringat yang bercucur dalam jumlah luar biasa banyak menguatkan niat saya untuk mandi di sore ( sesuatu yang jarang saya lakukan sebagai mahasiswa di Jogja). Saya merogoh-rogoh dalam tas ransel saya. Mencari peralatan mandi. Sudah mentok ke bawah masih belum juga ketemu. Dengan nada datar saya bertanya ke Ni’am. Memelas penuh harapan. Merutuki kegegabahan diri.
“Am punya Sikat gigi? Am punya anduk kering? Am punya sabun cair?”
Ni’am mengambilkan saya sikat gigi yang konon belum pernah di pakai. Anduk kering, dia cuma punya satu, ya yang dipakainya. Ha? Saya harus berbagi anduk dengan seseorang? Fuh setelah bertanya apakah Ni’am memiliki penyakit kulit dan dibalas tegas TIDAK. Saya mengambil handuk yang terlihat sudah sangat tua berwarna hitam. Kalau sabun Ni’am hanya punya yang padat. Dia menambahkan itupun tinggal sedikit pula. Kali ini saya belum siap untuk berbagi sabun dengannya ( Sampai hari terakhir saya mandi tanpa sabun).
Bodohnya adalah ketika sudah berada di dalam kamar mandi. Saya lupa tanya yang mana peralatan mandinya. Jadi saya hanya mengguyur badan dengan air, tanpa menjamah semua peralatan mandi yang seharusnya. Saya sebenarnya juga kebingungan mengunci pintu kamar mandinya. Ni’am menjelaskan kamar mandi memang tidak bisa dikunci. Saya untungnya tidak mendorong kamar mandi yang tertutup. Soalnya di kos-an saya suka tetep ditutup walaupun tidak dipakai. Jadi harus memastikan apakah ada penghuni atau tidak di kamar mandi walaupun pintunya ditutup dengan mendorong pintu. Kalau saya melakukan itu…Porno ah!
Saya memberondong berbagai macam pertanyaan sesaat habis mandi ke Ni’am.
“ Apakah kamar mandinya memang begitu…yah begitulah?” Dijawab “ BIARIN, KALAU GAK MAU MANDI DI SINI. DI KOS-AN ZAZA’ SANA.
“Apakah air warna hitam itu warna airnya atau warna bak mandinya?”. Dijawab “ ITU YANG ITEM BAKNYA. REWEL!!”
Saya bungkam untuk sementara. Sampai saya sadar di pagi hari kalau sikat yang saya pakai sudah berwarna putih pekat (biasanya kan putih bening) penutup sikatnya. Saya bilang ke Ni’am “ OGAH PAKAI SIKAT INI LAGI.”
Malam menjelang larut kami berdua berjalan-jalan menyusuri Jalan Gubeng. Saya di ajak ke pasar malam. Memang ramai. Apalagi saat itu malam minggu. Pasar malamnya layaknya sunmor (Sunday Morning) di UGM. Hanya sekalanya lebih kecil. Yang kayak ginian saya kurang doyan.
Saya harus salut dengan Ni’am kerana kesabaran menjalani hidup di kamar ini. Hampir seluruh alat elektronik yang dimilikinya bekerja dengan tidak wajar. Selalu mengundang emosi. Komputernya LCDnya doang yang mentereng, tapi lemotnya minta ampun (Tanpa sepengetahuan Ni’am saya sampai menendang CPUnya saat terbawa emosi). Modem yang katanya baru dibeli itu juga sangat amat lemot. Buat buka email gagal, buat buka blog gak sanggup, buat buka facebook layaknya waktu berputar lebih lama. Bisanya apa sih nih meodem. Kipas angin yang sangat eksentrik-saya lebih meresa angker-. Soalnya tiba-tiba mati, tiba-tiba nyala lagi, tiba-tiba mati lagi, tiba-tiba nyala lagi, dst.
Kos-an Ni’am memang tidak terlalu besar. Serangkaian alat elektronik bercecer tak rapi. Pakaian bekas tercentel tak rapi di gantungan, banyak pula. Seongok pakaian direndam di depan pintu. Tapi selebihnya saya akan mengakui kalau kamarnya jauh lebih rapi ketimbang kamar saya yang sudah tak berfungsi sebagai kamar lagi.
Saya jadi iri dengan Ni’am. Dia sudah menemukan identitas dari potensi. Dia seorang mahasiswa yang begitu menikmati kegaitan merakit robot. Terlihat dari serentetan alat elektronik yang tergolek di lantai, di meja, di kasur, di lemari, di bawah kasur. Apalagi Ni’am sudah diakui kemampuannya dalam bidang kelektronikan di angkatannya, oleh rekan-rekannya bahkan dosen. Punya kesempatan ke Belanda pula.Sedangkan saya? Masih berkubang pada tak kebermutuan hidup. Masih belum mengenal potensi apa yang sebenarnya saya terkandung dalam diri saya. Kemampuan jurnalis, sejauh ini saya kurang skeptis. Sebagai novelis, hanya cercaan kekuarangan yang didapat. Ahli di bidang pertanian, lupakan sajalah.
Pembicaraan kami selanjutnya hanya berkutat pada romantika anak muda. Kami yang sudah cukup dewasa memang sudah waktunya memperbincangkan masalah beginian. Baik romantika masa lalu maupun romantika yang tengah kami alami di masa kini. Seperti dalam dendang lagu abah Rhoma Irama yang mengingatkan kami, “ Darah muda/Darahnya para remaja…”
Hari berikutnya saya sudah merengek-rengek sejak pagi ke Ni’am untuk menemani ke Suramadu. Sepepu saya akhirnya konfirmasi tidak bisa mengantar. Ni’am beralasan tak punya kendaraan dan tak tau jalan.Halah alasan.
Pada akhirnya motor itu datang tak diminta atas kunjungan kami ke kos-an Zaza’, Bagus, Arif, Tejo dan Erlan. Kami berangkat di senja hari. Di Suramadu kami berkesempatan melihat matahari tenggelam di selat Madura. Disempat-sempatkan berhenti pula(Ini sebenarnya melanggar rambu-rambu.)
Setelah kami dari plesiran di Suramadu. Kami menyempatkan berkunjung ke Kos-an Hakim. Saya baru tau Hakim sudah menemukan usaha yang memperkaya dirinya. Juragan pulsa dan juragan printer.Printernya saja sampai 3.
Di kamar Bagus saya menggangunya, padahal dia hendak belajar UTS. Untuk dua mata kuliah pula. Saya malah mengajaknya ber-euforia masa SMA. Saya melacak nasib beberapa teman SMA pasca kelulusan.
Hari ketiga, saya muring-muring di pagi hari. Pasalnya siang sebelumnya saya dibelikan es teh porsi gelas sogem. Itu membuat alergi saya kumat. Saya jadi beler dan hidung saya bumbek. Malamnya eh sang empu rumah tidur nyenyak mendahului saya. Tanpa mempedulikan apakah sang tamu sudah idur atau belum. Meninggalkan saya sendiri di malam penuh kesunyian. Saya sudah berusaha membangunkan Ni’am. Mencubit-cubit kulit Ni’am. Yang bikin ilfeel, udah gak mau nemenin malah saya disembur saat nggak bisa buka pintu kamar.
Di Shubuh, sebelum saya hengkang dari Surabaya. Saya memberikan berbagai macam petuah (Sebelumnya saya banyak diberikan banyak petuah oleh Ni’am.). Mengingatkan Ni’am agar tak terlena dengan romantika anak muda. Kalau dia menolak petuah saya, rambutnya saya jambak keras. Layaknya mama tiri pada anaknya saja. Saya sudah berasa tuir nian.
Saya merengek buat dipijit leher saya, biar hidung saya kembali lancar bernafas. Dengan ogah-ogahan Ni’am melakukan. Tapi enak pijitannya mengingatkan akan orang tua saya di rumah. Untuk ini saya harus mengatakan Ni’am adalam patner pergaulan terbaik saya. Bayangkan dia sampai melakukan itu. Saya saja mungkin bakal misuh-misuh kalau disuruh gituan.
Saya bakal tak akan melupakan semuanya. Suara merdu Ni’am saat tilawah. Ledekan Ni’am akan pigmen kulit saya, katanya “ Pigmen kulit saya menyerap panas, sedangkan pigmen kulitnya memantulkan panas.” Dia menambahkan, “ Makanya kamu suka tidak betah di tempat panas.” Dalam hati saya jawab “ Kurang ajar, ini mah Surabayanya saja yang panasnya keterlaluan. Sandal saja saya waktu ditinggal Sholat Dzuhur langsung mendidih dan bikin kaki saya melempuh panas.” Dan tentu saja akan perbincangan romantika anak muda yang terus akan kami hadapi.
Sampai bertemu di Jurnal akhir pekan berikutnya.
20:03 WIB, KEDIRI!!!