Selasa, 14 Juni 2011

Melepas Keterbelengguan

Aku memang pembohong. Setidaknya pada diriku sendiri. Seringya juga pada orang lain. Kejujuran memang masih seringan kapas yang diterbangkan oleh angin. Tapi terkadang aku justru beruntung dengan itu. Entah kenapa ada banyak kejujuran yang tak perlu disampaikan karena kejujuran yang kita maksud hanya subjektivitas diri. Bukan kebenaran yang bersifat mutlak. Buat apa orang lain menerima kepahitan akibat kejujuran dari benak kita. Beruntung pula aku terlahir sebagai orang Jawa yang terbiasa menyimpan ganjalan diri untuk diri sendiri. Sekuat apapun keinginan kita mengungkapkan sesuatu yang menyakitkan, kita akan lebih memilih untuk menyimpannya sebagai benalu hati untuk diri sendiri.


Kemarin aku semakin menyadari akan kebebasan untuk melepaskan keterbelengguan dari ketergantungan diri. Lihatlah betapa sebenarnya kita dirancang sedemekian sempurna. Kita punya dua tangan, dua kaki, dua telinga, dua lubang hidung, dua paru-paru, sepuluh jari dengan ukuran yang nyaris sempurna. Komplit dan selalu sepasang. Sisi satu untuk melengkapi sisi yang lain. Lalu kenapa kita harus sibuk untuk mencari orang lain untuk menggenapinya lagi. Cukuplah alphabet terdiri dari dua puluh enam huruf, tak perlu lagi kita menciptakan huruf baru karena itu sebuah kesia-sian. Ketika kita menyadari kesempurnaan diri kita, sebenarnya itu adalah kunci melepaskan ketergantungan ke orang lain.


Aku juga merasa harus tau diri. Tidak semua orang siap dengan kehadiran kita. Dengan segala macam kekurangan (dan entah juga memiliki kelebihan atau tidak?). Yang buruk dariku, seringnya aku mencari seseorang untuk menerima semua masalahku. Padahal diri teman kita sudah membungkuk oleh beban masalahnya sendiri. Kejam. Maka sepatutnya masalah ku untuk diri ku, bukan untuk dibagikan ke orang lain. Yang akan menyelasaiakan masalahku adalah diri ku sendiri bukan orang lain. Kalau kita menyadari bahwa kita saja tak mau memanggul beban, kenapa kita menambahkan beban yang kita miliki pada orang lain. Seperti perintah sedekah, Kita dituntut untuk menyedekahkan harta bukan menyedekahkan utang!


Lalu buat apa menikah? Wah ini perkara sensitif. Ada satu hal yang tak pernah sanggup kita lengkapi dalam hidup kita. Satu hal itu adalah agama. Agama dalam hidup kita seperti sebuah sayap. Kita butuh sepasang sayap untuk terbang menemui Tuhan. Bukan satu.


Untuk teman-temanku yang selama ini merasa lelah dengan masalahku yang itu-itu saja. Maafkan aku ya. Ini bagian dari kepengecutanku yang selalu enggan menerima tuntutan perubahan dalam hidupku. Aku sudah terlalu terbuai dengan masalah ini. Tanpa kusadari terkadang aku malah memanfaatkan masalah yang melilitku untuk mendapatkan perhatian kalian. Mendapatkan simpati kalian adalah pengusir kesepian yang mujarab. Kalau tidak demikian masihkan kalian peduli denganku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar