Aku berlari, membuka kemudian membanting pintu kayu rumah yang sudah reot. Menerobos keluar. Aku tak tau ini jam berapa. Dan memang tak sempat untuk sekedar melihat jam. Tak terlalu penting. Yang bisa kulakukan hanya melangkah secepat yang aku mampu.
Udara dingin begitu ganas. Tubuhku menggigil, aku lupa memakai jaket. Tapi itu sama sekali tak membuatku berhenti. Aku terus melaju, melewati sepinya kota. Kota, malam ini begitu lengang. Hanya sesekali motor berseliweran.
Aku terus berlari. Aku tak paham berapa jauh aku sudah melangkah, aku masih terus berlari. Segurat wajah lemah ibu ada dibenakku. Wajah teduh yang sekarang tergolek tak berdaya. Wajah yang selama ini mengajarkanku makna hidup secara berbeda. Mengajarkan aku kuat dan tak pantang menyerah. Mengajarkan aku selalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Melarangku untuk menangis hanya karena masalah dunia.
“Jangan menangis hanya kerena masalah dunia cah ayu, menangislah hanya kerana kamu mengingat Alloh. MerindukanNya. Hanya di saat itu kau boleh menangis.”
Kata–kata itu selalu terniang ketika aku selalu menghadapi masalah. Menjadikanku selalu menyembunyikan air mata menjadi sebuah senyuman. Aku tak mau ibu tau kalau aku menangis, karena itu hanya akan menjadikan beban untuknya. Saat ini aku melakukannya, seberapapun kuatnya dorongan untuk menangis, aku berusaha menahannya. Aku berusaha susah payah menahannya.
Ibu aku mencintaimu. lirih dalam hati aku mengucapkan itu.
***
Aku terus berlari. Mataku begitu mengantuk, sudah beberapa hari aku tidak tidur untuk menjaga ibuku, TBCnya semakin parah. Beliau sering batuk darah, karenanya Setiap malam aku selalu berjaga. Paginya aku bekerja.
Dua hari ini aku makan dengan tak layak, hanya sanggup makan makanan sisa yang disisakan oleh temanku. Bagi mereka mudah saja membuang nasi ketika kenyang, tapi berbeda denganku. Bisa makan saja, sudah membuatku harus bersyukur. Uangku habis untuk biaya berobat ibu. Aku tak akan mampu kenyang ketika ibuku belum mendapatkan obat.
***
Aku masih terus berlari. Aku terlempar ke ingatan dua belas tahun silam. Saat itu Ayahku selalu pulang dengan keadaan mabuk berat dan aku melihat ibuku menjadi korban ketidakwarasan ayah. Ibu dipukuli olehnya. Kejadian itu tidak terjadi hanya sekali, tapi setiap malam. Mulai dari sabuk, sapu, kemoceng hingga apapun yang dia temukan akan digunakannya memukuli ibuku. Tapi aku melihat sosok ibu begitu tegar menghadapinya. Beliau hanya menjerit ketika dipukul, kemudian menahannya. Tak pernah menangis.
Walau pukulan itu menjadi siksaan setiap hari bagi ibu. Ibuku tak pernah berhenti menunggu ayahku pulang. Ia duduk di sofa dengan kantuk berat yang kadang membuatnya tertidur. Memopong tubuhku yang masih kecil dipangkuannya. Kalau ayah menyiksa ibuku hingga menjelang pagi, itu tak akan mengahalanginya menyiapkan sarapan pagi. Jam 06.00 pasti makanan sudah tersaji di meja makan. Walau biru legam menghiasi beberapa bagian kulitnya. Satu hal lagi yang membuat ibuku begitu hebat dimataku adalah bahwa ibuku selalu berusaha membangunkan ayahku untuk sholat shubuh. Dengan telaten hal itu dilakukannya setiap hari. Yah, meskipun bisa ditebak hanya bentakan yang menjadi balasannya.
Hingga semuanya semakin parah. Ayahku bangkrut karena hutang judi. Semua harta yang kami miliki ludes untuk melunasinya. Parahnya ayahku pergi menghilang, entah kemana. Setelah meninggalkan sekian luka bagi ibu, dia pergi begitu saja. Akhirnya ibuku mengasuhku dengan kedua tangannya, sendirian. Dengan uang modal yang diberikan oleh keluarga ibu. Kami berjuang. Tak pernah mengeluh menapaki jalan hidup ini. Sekarang usiaku sudah 18 tahun. Sekarang adalah giliranku untuk menjaga ibuku. Membalas semuanya.
***
Aku tak lelah berlari. Nafasku sudah terengah-engah. Asmaku kumat. Tapi itu tak menghentikan kecepatan berlariku. Kaki mulai lemas. Terlalu lelah. Rumahku yang jauh dari berbagai akses memaksaku untuk menempuh perjalan sepuluh kilometer untuk membeli obat di apotek.
Aku terus berlari. Sambil memegangi kerudung pemberian ibuku yang kukenakan saat ini. Aku mempercepat laju lari. Menerobos semak semak agar aku bisa menempuh jalan yang lebih cepat. Aku berusaha melewati jalan tikus agar aku bisa sampai lebih cepat. Ibuku sudah tak mungkin menggu terlalu lama.
Ah…Tidak!!!
Lampu hijau. Padahal, Apotek sudah di depanku. Motor, mobil, truk dan angkot berlalu lalang. Disini memang tempat paling ramai meskipun malam hari. Tidak ada waktu untuk menungunggu pikirku.
Aku menjinjing rok yang ku kenakan, berusaha memanjat pagar didepanku. Tak mudah ternyata. Aku berusaha susah payah. Berkali-kali aku harus melorot dari pagar. Seketika itu pula aku berusaha naik lagi. Berulang aku mencoba berulang itu pula aku gagal. Hingga kali ini aku berhasil. Tapi rokku robek tersangkut pagar. Nafas sesakku mulai membuatku tersiksa. Kakiku seperti membawa beban berton-ton.
Sampai di depan Apotek 24 Jam itu, aku mencoba mengatur nafasku yang begitu kepayahan. Aku memegangi rokku yang sobek. Mencoba mengistirahatkan semua sendi-sendi tubuhku. Setelah mendapatkan obat aku segera melangkah bangkit. Segera meninggalkan Opotek itu untuk pulang.
***
Aku terus berlari. Kini lariku semakin sulit, karena aku harus berhati–hati untuk memegangi rokku yang sobek. Langkahku sering terhenti. Semua semakin berat. Namun sesuatu melintasi otakku, yang menguatkanku kembali untu tidak mengeluh.
Otakku membuang ke ingatanku akan masa saat ibuku masih kuat. Masa pembelajaran akan berbagi diberikan olehnya. Meski untuk makan saja kami kesusahan. Namun ibu tak pernah menjadikannya alasan untuk tidak berbagai. Kami cenderung harus rajin menahan lapar karena uang untuk makan hari ini harus habis dibagikan.
“ Cah ayu, hari ini kita makan sepotong ubi ini aja ya. Tadi ibu ketemu mbah-mbah yang sudah tua. Ia sedang menggendong dagangannya yang berat banget. Ibu gak tega cah ayu. Ibu kasihan sama mbah itu. Jadi ibu memberikan uang yang ada di dompet ibu kepada mbah itu.”
“ Ah buk, mosok setiap harus makan seperti gini terus buk”.
“ Sabar cah ayu, besok ibu masak enak untukmu”.
Jawaban ibu yang begitu lembut itu yang menenangkanku. Membuatku kuat menahan lapar yang melilit perut. Walau terbukti, ibu tak pernah masak enak.
***
Aku masih berlari. Bulan tak terlalu menampakkan cahayanya, dia membentuk sebuah sabit. Bintang-bintang hanya sedikit yang menemani bulan di malam ini. Mungkin mereka pergi untuk menemani ibu di rumah. Atau mereka bersembunyi karena terlalu kasihan memandang keadaanku sekarang.
Aku sudah dekat dengan rumahku. Asmaku benar sudah tak sanggup kutahan. Menyesakkan. Aku begitu kesulitan menghirup udara. Hidungku seperti tersumbat.
***
Aku terus berlari.Hanya berselang beberapa rumah lagi aku sampai rumah. Rumah yang berdinding anyaman bambu itu sudah kulihat. Aku masih tersiksa dengan asmaku. Dan aku juga masih berjuang untuk segera memberikan obat ini.
“Gedebrukk…”
Aku tersandung batu tepat di depan rumah. Tubuhku melemas. Tanah dan kerikil menggores kulitku. Kaki kananku dan tangan kiriku meneteskan darah. Perih. Aku benar-benar sudah tak mampu bertahan. Aku sudah tak mungkin berlari. Tubuhku tak mau diajak berdiri. Aku hanya sanggup merangkak mendekati rumah. Berusaha menahan perih luka dan asmaku.
Pelan-pelan aku menyeret tubuhku dari tanah menuju rumah hingga aku melihat ibuku sudah tergeletak di lantai. Ibu melihatku sebentar dengan memberikan senyuman tulus kepadaku. Aku melihat air mata menetes di pipinya, yang selama ini tak pernah kulihat. Darah menetes di pipinya, sebagian masih terlihat kental dan sebagian yang lain terlihat sudah mengering.
“ Ibu, ini obatnya. Sabar bu aku segera ke sana” teriakku.
Ibuku seolah tak mendengarkan terikanku. Aku sudah begitu dekat dengannya. Aku merangkak mendekatinya. Aku memegang tangan ibu. Meletakan di tangannya. Tapi aku merasakan tangan ibu begitu dingin dan lemas.
Ibu memejamkan mata. Aku menangis. Air mata menemani teriakanku. Aku sudah tak mampu menahannya. Nafasku menjadi semakin sulit. Aku berusaha menghirup udara. Tapi gagal, aku tak bisa menghirupnya.
Aku ambruk di dada ibuku. Semua berubah hitam. Semua gelap. Aku melihat ibu mengajakku ke tempat yang begitu terang.
Udara dingin begitu ganas. Tubuhku menggigil, aku lupa memakai jaket. Tapi itu sama sekali tak membuatku berhenti. Aku terus melaju, melewati sepinya kota. Kota, malam ini begitu lengang. Hanya sesekali motor berseliweran.
Aku terus berlari. Aku tak paham berapa jauh aku sudah melangkah, aku masih terus berlari. Segurat wajah lemah ibu ada dibenakku. Wajah teduh yang sekarang tergolek tak berdaya. Wajah yang selama ini mengajarkanku makna hidup secara berbeda. Mengajarkan aku kuat dan tak pantang menyerah. Mengajarkan aku selalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Melarangku untuk menangis hanya karena masalah dunia.
“Jangan menangis hanya kerena masalah dunia cah ayu, menangislah hanya kerana kamu mengingat Alloh. MerindukanNya. Hanya di saat itu kau boleh menangis.”
Kata–kata itu selalu terniang ketika aku selalu menghadapi masalah. Menjadikanku selalu menyembunyikan air mata menjadi sebuah senyuman. Aku tak mau ibu tau kalau aku menangis, karena itu hanya akan menjadikan beban untuknya. Saat ini aku melakukannya, seberapapun kuatnya dorongan untuk menangis, aku berusaha menahannya. Aku berusaha susah payah menahannya.
Ibu aku mencintaimu. lirih dalam hati aku mengucapkan itu.
***
Aku terus berlari. Mataku begitu mengantuk, sudah beberapa hari aku tidak tidur untuk menjaga ibuku, TBCnya semakin parah. Beliau sering batuk darah, karenanya Setiap malam aku selalu berjaga. Paginya aku bekerja.
Dua hari ini aku makan dengan tak layak, hanya sanggup makan makanan sisa yang disisakan oleh temanku. Bagi mereka mudah saja membuang nasi ketika kenyang, tapi berbeda denganku. Bisa makan saja, sudah membuatku harus bersyukur. Uangku habis untuk biaya berobat ibu. Aku tak akan mampu kenyang ketika ibuku belum mendapatkan obat.
***
Aku masih terus berlari. Aku terlempar ke ingatan dua belas tahun silam. Saat itu Ayahku selalu pulang dengan keadaan mabuk berat dan aku melihat ibuku menjadi korban ketidakwarasan ayah. Ibu dipukuli olehnya. Kejadian itu tidak terjadi hanya sekali, tapi setiap malam. Mulai dari sabuk, sapu, kemoceng hingga apapun yang dia temukan akan digunakannya memukuli ibuku. Tapi aku melihat sosok ibu begitu tegar menghadapinya. Beliau hanya menjerit ketika dipukul, kemudian menahannya. Tak pernah menangis.
Walau pukulan itu menjadi siksaan setiap hari bagi ibu. Ibuku tak pernah berhenti menunggu ayahku pulang. Ia duduk di sofa dengan kantuk berat yang kadang membuatnya tertidur. Memopong tubuhku yang masih kecil dipangkuannya. Kalau ayah menyiksa ibuku hingga menjelang pagi, itu tak akan mengahalanginya menyiapkan sarapan pagi. Jam 06.00 pasti makanan sudah tersaji di meja makan. Walau biru legam menghiasi beberapa bagian kulitnya. Satu hal lagi yang membuat ibuku begitu hebat dimataku adalah bahwa ibuku selalu berusaha membangunkan ayahku untuk sholat shubuh. Dengan telaten hal itu dilakukannya setiap hari. Yah, meskipun bisa ditebak hanya bentakan yang menjadi balasannya.
Hingga semuanya semakin parah. Ayahku bangkrut karena hutang judi. Semua harta yang kami miliki ludes untuk melunasinya. Parahnya ayahku pergi menghilang, entah kemana. Setelah meninggalkan sekian luka bagi ibu, dia pergi begitu saja. Akhirnya ibuku mengasuhku dengan kedua tangannya, sendirian. Dengan uang modal yang diberikan oleh keluarga ibu. Kami berjuang. Tak pernah mengeluh menapaki jalan hidup ini. Sekarang usiaku sudah 18 tahun. Sekarang adalah giliranku untuk menjaga ibuku. Membalas semuanya.
***
Aku tak lelah berlari. Nafasku sudah terengah-engah. Asmaku kumat. Tapi itu tak menghentikan kecepatan berlariku. Kaki mulai lemas. Terlalu lelah. Rumahku yang jauh dari berbagai akses memaksaku untuk menempuh perjalan sepuluh kilometer untuk membeli obat di apotek.
Aku terus berlari. Sambil memegangi kerudung pemberian ibuku yang kukenakan saat ini. Aku mempercepat laju lari. Menerobos semak semak agar aku bisa menempuh jalan yang lebih cepat. Aku berusaha melewati jalan tikus agar aku bisa sampai lebih cepat. Ibuku sudah tak mungkin menggu terlalu lama.
Ah…Tidak!!!
Lampu hijau. Padahal, Apotek sudah di depanku. Motor, mobil, truk dan angkot berlalu lalang. Disini memang tempat paling ramai meskipun malam hari. Tidak ada waktu untuk menungunggu pikirku.
Aku menjinjing rok yang ku kenakan, berusaha memanjat pagar didepanku. Tak mudah ternyata. Aku berusaha susah payah. Berkali-kali aku harus melorot dari pagar. Seketika itu pula aku berusaha naik lagi. Berulang aku mencoba berulang itu pula aku gagal. Hingga kali ini aku berhasil. Tapi rokku robek tersangkut pagar. Nafas sesakku mulai membuatku tersiksa. Kakiku seperti membawa beban berton-ton.
Sampai di depan Apotek 24 Jam itu, aku mencoba mengatur nafasku yang begitu kepayahan. Aku memegangi rokku yang sobek. Mencoba mengistirahatkan semua sendi-sendi tubuhku. Setelah mendapatkan obat aku segera melangkah bangkit. Segera meninggalkan Opotek itu untuk pulang.
***
Aku terus berlari. Kini lariku semakin sulit, karena aku harus berhati–hati untuk memegangi rokku yang sobek. Langkahku sering terhenti. Semua semakin berat. Namun sesuatu melintasi otakku, yang menguatkanku kembali untu tidak mengeluh.
Otakku membuang ke ingatanku akan masa saat ibuku masih kuat. Masa pembelajaran akan berbagi diberikan olehnya. Meski untuk makan saja kami kesusahan. Namun ibu tak pernah menjadikannya alasan untuk tidak berbagai. Kami cenderung harus rajin menahan lapar karena uang untuk makan hari ini harus habis dibagikan.
“ Cah ayu, hari ini kita makan sepotong ubi ini aja ya. Tadi ibu ketemu mbah-mbah yang sudah tua. Ia sedang menggendong dagangannya yang berat banget. Ibu gak tega cah ayu. Ibu kasihan sama mbah itu. Jadi ibu memberikan uang yang ada di dompet ibu kepada mbah itu.”
“ Ah buk, mosok setiap harus makan seperti gini terus buk”.
“ Sabar cah ayu, besok ibu masak enak untukmu”.
Jawaban ibu yang begitu lembut itu yang menenangkanku. Membuatku kuat menahan lapar yang melilit perut. Walau terbukti, ibu tak pernah masak enak.
***
Aku masih berlari. Bulan tak terlalu menampakkan cahayanya, dia membentuk sebuah sabit. Bintang-bintang hanya sedikit yang menemani bulan di malam ini. Mungkin mereka pergi untuk menemani ibu di rumah. Atau mereka bersembunyi karena terlalu kasihan memandang keadaanku sekarang.
Aku sudah dekat dengan rumahku. Asmaku benar sudah tak sanggup kutahan. Menyesakkan. Aku begitu kesulitan menghirup udara. Hidungku seperti tersumbat.
***
Aku terus berlari.Hanya berselang beberapa rumah lagi aku sampai rumah. Rumah yang berdinding anyaman bambu itu sudah kulihat. Aku masih tersiksa dengan asmaku. Dan aku juga masih berjuang untuk segera memberikan obat ini.
“Gedebrukk…”
Aku tersandung batu tepat di depan rumah. Tubuhku melemas. Tanah dan kerikil menggores kulitku. Kaki kananku dan tangan kiriku meneteskan darah. Perih. Aku benar-benar sudah tak mampu bertahan. Aku sudah tak mungkin berlari. Tubuhku tak mau diajak berdiri. Aku hanya sanggup merangkak mendekati rumah. Berusaha menahan perih luka dan asmaku.
Pelan-pelan aku menyeret tubuhku dari tanah menuju rumah hingga aku melihat ibuku sudah tergeletak di lantai. Ibu melihatku sebentar dengan memberikan senyuman tulus kepadaku. Aku melihat air mata menetes di pipinya, yang selama ini tak pernah kulihat. Darah menetes di pipinya, sebagian masih terlihat kental dan sebagian yang lain terlihat sudah mengering.
“ Ibu, ini obatnya. Sabar bu aku segera ke sana” teriakku.
Ibuku seolah tak mendengarkan terikanku. Aku sudah begitu dekat dengannya. Aku merangkak mendekatinya. Aku memegang tangan ibu. Meletakan di tangannya. Tapi aku merasakan tangan ibu begitu dingin dan lemas.
Ibu memejamkan mata. Aku menangis. Air mata menemani teriakanku. Aku sudah tak mampu menahannya. Nafasku menjadi semakin sulit. Aku berusaha menghirup udara. Tapi gagal, aku tak bisa menghirupnya.
Aku ambruk di dada ibuku. Semua berubah hitam. Semua gelap. Aku melihat ibu mengajakku ke tempat yang begitu terang.
17122009, 22:55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar