Mikata ga iru to
Kanjita toki ni
Daremo ga kawaru
Tsuyoku naru naru kara
Karena saat aku merasa ada kawan
Semuanya berubah dan menjad tegar
( Tactics ED by Miki Akiyama)
Kanjita toki ni
Daremo ga kawaru
Tsuyoku naru naru kara
Karena saat aku merasa ada kawan
Semuanya berubah dan menjad tegar
( Tactics ED by Miki Akiyama)
Awalnya kupikir menjadi editor itu akan membuatku merasa penting. Tak salah memang, tapi juga tak sepenuhnya benar. Banyak hal yang berat yang harus menjadi konsekuensi sebagai editor. Walau begitu menjadi editor masih menjadi profesi yang kusuka.
Aku terpilih menjadi editor pada buku ini, sebenarnya bukan karena alasan yang cukup membuatku bangga. Bukan karena aku adalah penulis dengan banyak karya. Bukan pula karena aku adalah lulusan dari jurusan yang cocok dengan profesi editor. Tapi tak lebih alasanya hanya karena aku adalah anggota FLP. Sebuah organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia. Sepele. Namun aku tak terlalu memperdulikannya. Bagiku posisi editor adalah tawaran menarik. Tawaran yang selama ini kuimpikan. Meski bukan sebagai editor professional. Ah, aku sudah sangat merasa cukup.
Kalau sebagai penulis masalah-masalah yang akan mengganggu kita adalah masalah intern. Berbeda halnya dengan menjadi editor, masalah – masalah yang muncul adalah karena masalah eksternal. Sebut saja anggota yang tak kunjung mengirimkan karya. Susah sekali untuk memotivasi untuk mereka agar menulis. Setidaknya mau memulai menulis. Ada saja alasan mereka, sibuk inilah, sibuk itulah, ada acara inilah, ada acara itulah. Pokoknya alasannya bhineka tunggal ika. Beraneka ragam tapi tetap satu jua yaitu gak mau menulis.
Hal itu menjadi tantanganku sebagai editor. Butuh ketelatenan, sabar dan semangat. Alhasil mendekati dealine, aku harus rajin menghubungi mereka. Sekedar menanyakan sejauh mana menulis atau sudah tahap marah-marah karena hanya termakan janji-janji dari anggota kalau mau mengumpulkan. Padahal tak ada satupun karya yang terkumpul. Ok, belajar untuk sabar. Ujian awal.
Selain masalah eksternal, masalah internal juga menjadi masalah yang juga membingungkan untuk diselesaikan. Mulai dari malas untuk mengoreksi berlembar-lembar halaman. Karena dituntut harus mengamati kata demi kata dengan sangat jeli. Tak boleh teledor. Tanda baca yang kecil-kecil juga kadang menyulitkan, karena sering luput dari pengamatan. Manahan emosi ketika tau kalau 1 karya dibuat dengan bahasa SMS mutlak. Walah jadi banyak banget yang harus di edit, hampir semua malahan yang harus diedit. Seenaknya menulis hanya huruf konsunan aja. Aduh, mata ini terasa pedas. Namun tuntutan yang paling besar, sebenarnya adalah tuntutan untuk belajar menjadi seorang editor. Bagaimana harus paham di luar kepala tentang penggunaan EYD yang benar. Bagaimana memahami alur logika dari penulis yang terkadang susah untuk dimengerti. Atau bagaimana merubah tulisan tapi tak membuatnya kehilangan esensi yang disampaikan penulisa. Berat.
Saat mendekati proses percetekan menjadi hari-hari berat bagiku sebagai editor. Tulisan masih banyak yang baru dikirim. Janji di obral terus. Semakin rajin dituntut untuk sms semua anggota agar segera mengumpulkan tulisan. Menjadikan aku rajin di depan laptop hingga berjam-jam. Wuih, mata ini rasanya sudah sangat jenuh. Aktif mengechek email, hampir setiap jam berselang mungkin. Menunda berbagi tugas kuliah dan tugas organisasi. Harus dengan sabar menaggapi berbagi pertanyaan dari anggota. Menahan emosi ketika sudah diteror oleh panitia agar segera menyelesaikan buku ini biar segera diterbitkan. Menjemukan.
Tak berimbang kalau sedari tadi aku hanya mengeluh. Menjadi editor ternyata mengajarkanku banyak hal. Mengajarkanku tentang profesionalisme. Membuat aku belajar makna disiplin. Memahamkan aku banyak kisah yang selama ini tak pernah kudengar sebelumnya. Semua kuanggap menjadi suatu bagian yang menyenangkan. Pastinya merasakan sejenak menjadi editor. Jadi keranjingan juga. Tapi belum ada wadah lagi sepertinya. Dan harus kembali lagi menjadi seorang penulis. Semangat menulis.
Kejadian yang akan ku kenang adalah saat tulisan sudah harus diformat dengan rapi dan besok proses editing harus selesai. Karena besok akan diproses ke tahap berikutnta. Tahap penyuntingan bahasa.
Sebagai editor aku merasa sudah mengerjakan tugas dengan cukup rajin. Selama seminggu bersemedi, mencari ketenangan di Perpustakaan pusat UGM untuk mengedit semua karya yang sudah terkumpul. Tapi karena yang kumpul berangsur-angsur, tidak secara serempak. Maka terpaksa baru bisa di koreksi secara penuh saat hari H-1. Dengan jumlah karya sebanyak 33 karya dan 130 halaman. Alhasil selama sehari penuh berada di depan laptop. Lembur. Bener-bener mati- matian buat mengerjakan ini.
H-1 kebetulan bertepatan dengan diselenggarakannya TK 3 KMMP. Jujur, sebenarnya sama sekali tak punya niatan untuk ikut. Tapi, kesalahan konyol terjadi. Sebelum hasil editanku di save. Aku dengan gegabahnya mencabut secara paksa flasdisku dari laptop. Alamak, data tak tersimpan. Raib begitu saja. perjuanganku sejauh ini musnah. ah, tidak.
Tapi saat itu bener-bener tak ingin menjadi sosok yang cemen. Merasa yakin bisa mengulanginya lagi dari awal. Menganggap ini bukan masalah tapi tantangan. Karena harus mengumpulkan semangat-semangat yang sudah roboh. Aku memutuskan untuk rehat sejenak mengatasi kejenuhan. Ku pustuskan ikut TK 3 KMMP. Terpaksa juga sih.
Singkatnya setelah ditelantarkan panitia karena baru datang malam buat ke acara. Aku sampai ditempat acara pas malam hari, sesi istirahat. Tepat banget. Yang lain tidur aku lembur mengerjakan ini ( Sebelumnya membeli kopi buat senjata mengatasi kantuk dan sedikit sugesti ”JANGAN TIDUR!” -dengan nada suara mirip Rommy Rafael-).
Wuis keren banget. Yang biasanya jam 9 malam adalah waktu untuk bobok malam. Saat itu sama sekali tak memejamkan mata. Gak mengantuk sama sekali. Tekad ditambah sugesti. jadi obat yang cukup manjur ternyata.
Nah, pas malam-malamnya sendirian di masjid dengan duduk bersila. Lampu masjid dimatikan oleh panitia. Merasa sama sekali tak di hargai. Padahal sebenarnya sudah mendapatkan konpensasi terhadap acara ini dari mas’ul. Tapi hati lagi tak terlalu tertarik untuk mendebat. Merasa harus menghargai para panitia TK 3 karena mereka pasti juga kelelahan untuk menyiapkan acaranya agar berjalan dengan lancar. Sama-sama menghormati. Walau harus meraba-raba key pad karena tak terlihat atau menggunakan HP sebagai alat bantu penerangan. Cukup, ini bukan halangan. Sama sekali bukan.
Awalnya merasa semua berjalan normal. Eh pas malam semakin larut, semakin larut dan paling larut. Suasana mistik jadi membingkai kerja lemburku. Mulai suara cicak, suara dua burung hantu di tempat yang terpisah, mereka mengeluarkan bunyi yang saling bersahutan, sampai suara anjing mengonggong. Serem. Tapi gak pakai merinding. Biasa aja tuh.
Suasana semakin tak beres aja. Semakin aneh, otakku sudah terhasut oleh ketakutan. Itu mensugestiku akan hal-hal yang tak wajar. Mulai merasa mendengarkan perbincangan dari kejauhan. Merasa diawasi sesosok bayangan hitam. Halah, otakku lagi tak normal aja nih. Logikanya lagi tak lancar. Takut juga sih. Sempat pengen membangunkan teman agar mau tidur di sebelahku ( maklum aku duduk berjauhan dengan teman-teman karena laptopnya cuma bisa dipasang ditempat itu). Tapi kalau aku lakukan itu, rasanya itu terlalu cemen. Kan tadi sudah berkomitmen, sedang tak ingin jadi orang cemen. Jadi, tetap fokus dan jangan hiraukan apapun yang terjadi. Semangat tak menipis. Pagi hari aku tersenyum, aku baru tau kalau masjidnya dekat dengan kuburan. Adakah hubungannya?
Besoknya masih saja ada anggota yang mengumpulkan karya. Tak apalah. Kasihan mereka pasti juga sudah susah payah untuk membuat itu. Proses editing terus berlangsung. Semangat masih tak akan padam sebelum karya ini bener-bener sudah sempurna dan sampai ditangan penyunting. Satu lagi, sebenarnya hasrat untuk menangis begitu besar. Tapi sekali lagi kukatakan aku sedang berkomitmen tak ingin jadi orang cemen. Kusimpan air mataku sampai karya ini selesai. Setelah itu pengen nangis sepuasnya. Nangis sejadi-jadinya.
By the way, Menyedihkan bagiku karena editor selama ini menjadi suatu profesi yang cukup mudah untuk dilupakan. Ketika sebuah karya dari penulis itu sudah melejit menjadi terkenal, maka editor menjadi orang yang akan segera dilupakan. Namanya sering tak disebut ketika buku itu berubah menjadi best seller. Terlupakan begitu saja. Padahal tanpa adanya editor mungkin saat ini kita tak pernah merasakan nikmatnya membaca buku-buku berkualitas digenggaman kita , seperti saat ini.
Huft, sudah saatnya kita menghargai orang-orang yang berperan dibalik layar. Yang selama ini mereka tak muncul secara langsung. Tapi mereka memberikan sebuah peranan besar. Bukan sebuah penghargaan. Cukuplah hanya sebuah pengakuan. Seperti itulah harapanku dengan buku ini. Bukan untuk dianggap berjasa. Hanya saja ingin agar buku ini menjadi sebuah suguhan yang tidak mengecewakan bagi anda yang saat ini sedang membaca. Terimakasih untuk semua yang selama ini bekerja sama dengan baik. Arigatou Gozaimasu.
Aku terpilih menjadi editor pada buku ini, sebenarnya bukan karena alasan yang cukup membuatku bangga. Bukan karena aku adalah penulis dengan banyak karya. Bukan pula karena aku adalah lulusan dari jurusan yang cocok dengan profesi editor. Tapi tak lebih alasanya hanya karena aku adalah anggota FLP. Sebuah organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia. Sepele. Namun aku tak terlalu memperdulikannya. Bagiku posisi editor adalah tawaran menarik. Tawaran yang selama ini kuimpikan. Meski bukan sebagai editor professional. Ah, aku sudah sangat merasa cukup.
Kalau sebagai penulis masalah-masalah yang akan mengganggu kita adalah masalah intern. Berbeda halnya dengan menjadi editor, masalah – masalah yang muncul adalah karena masalah eksternal. Sebut saja anggota yang tak kunjung mengirimkan karya. Susah sekali untuk memotivasi untuk mereka agar menulis. Setidaknya mau memulai menulis. Ada saja alasan mereka, sibuk inilah, sibuk itulah, ada acara inilah, ada acara itulah. Pokoknya alasannya bhineka tunggal ika. Beraneka ragam tapi tetap satu jua yaitu gak mau menulis.
Hal itu menjadi tantanganku sebagai editor. Butuh ketelatenan, sabar dan semangat. Alhasil mendekati dealine, aku harus rajin menghubungi mereka. Sekedar menanyakan sejauh mana menulis atau sudah tahap marah-marah karena hanya termakan janji-janji dari anggota kalau mau mengumpulkan. Padahal tak ada satupun karya yang terkumpul. Ok, belajar untuk sabar. Ujian awal.
Selain masalah eksternal, masalah internal juga menjadi masalah yang juga membingungkan untuk diselesaikan. Mulai dari malas untuk mengoreksi berlembar-lembar halaman. Karena dituntut harus mengamati kata demi kata dengan sangat jeli. Tak boleh teledor. Tanda baca yang kecil-kecil juga kadang menyulitkan, karena sering luput dari pengamatan. Manahan emosi ketika tau kalau 1 karya dibuat dengan bahasa SMS mutlak. Walah jadi banyak banget yang harus di edit, hampir semua malahan yang harus diedit. Seenaknya menulis hanya huruf konsunan aja. Aduh, mata ini terasa pedas. Namun tuntutan yang paling besar, sebenarnya adalah tuntutan untuk belajar menjadi seorang editor. Bagaimana harus paham di luar kepala tentang penggunaan EYD yang benar. Bagaimana memahami alur logika dari penulis yang terkadang susah untuk dimengerti. Atau bagaimana merubah tulisan tapi tak membuatnya kehilangan esensi yang disampaikan penulisa. Berat.
Saat mendekati proses percetekan menjadi hari-hari berat bagiku sebagai editor. Tulisan masih banyak yang baru dikirim. Janji di obral terus. Semakin rajin dituntut untuk sms semua anggota agar segera mengumpulkan tulisan. Menjadikan aku rajin di depan laptop hingga berjam-jam. Wuih, mata ini rasanya sudah sangat jenuh. Aktif mengechek email, hampir setiap jam berselang mungkin. Menunda berbagi tugas kuliah dan tugas organisasi. Harus dengan sabar menaggapi berbagi pertanyaan dari anggota. Menahan emosi ketika sudah diteror oleh panitia agar segera menyelesaikan buku ini biar segera diterbitkan. Menjemukan.
Tak berimbang kalau sedari tadi aku hanya mengeluh. Menjadi editor ternyata mengajarkanku banyak hal. Mengajarkanku tentang profesionalisme. Membuat aku belajar makna disiplin. Memahamkan aku banyak kisah yang selama ini tak pernah kudengar sebelumnya. Semua kuanggap menjadi suatu bagian yang menyenangkan. Pastinya merasakan sejenak menjadi editor. Jadi keranjingan juga. Tapi belum ada wadah lagi sepertinya. Dan harus kembali lagi menjadi seorang penulis. Semangat menulis.
Kejadian yang akan ku kenang adalah saat tulisan sudah harus diformat dengan rapi dan besok proses editing harus selesai. Karena besok akan diproses ke tahap berikutnta. Tahap penyuntingan bahasa.
Sebagai editor aku merasa sudah mengerjakan tugas dengan cukup rajin. Selama seminggu bersemedi, mencari ketenangan di Perpustakaan pusat UGM untuk mengedit semua karya yang sudah terkumpul. Tapi karena yang kumpul berangsur-angsur, tidak secara serempak. Maka terpaksa baru bisa di koreksi secara penuh saat hari H-1. Dengan jumlah karya sebanyak 33 karya dan 130 halaman. Alhasil selama sehari penuh berada di depan laptop. Lembur. Bener-bener mati- matian buat mengerjakan ini.
H-1 kebetulan bertepatan dengan diselenggarakannya TK 3 KMMP. Jujur, sebenarnya sama sekali tak punya niatan untuk ikut. Tapi, kesalahan konyol terjadi. Sebelum hasil editanku di save. Aku dengan gegabahnya mencabut secara paksa flasdisku dari laptop. Alamak, data tak tersimpan. Raib begitu saja. perjuanganku sejauh ini musnah. ah, tidak.
Tapi saat itu bener-bener tak ingin menjadi sosok yang cemen. Merasa yakin bisa mengulanginya lagi dari awal. Menganggap ini bukan masalah tapi tantangan. Karena harus mengumpulkan semangat-semangat yang sudah roboh. Aku memutuskan untuk rehat sejenak mengatasi kejenuhan. Ku pustuskan ikut TK 3 KMMP. Terpaksa juga sih.
Singkatnya setelah ditelantarkan panitia karena baru datang malam buat ke acara. Aku sampai ditempat acara pas malam hari, sesi istirahat. Tepat banget. Yang lain tidur aku lembur mengerjakan ini ( Sebelumnya membeli kopi buat senjata mengatasi kantuk dan sedikit sugesti ”JANGAN TIDUR!” -dengan nada suara mirip Rommy Rafael-).
Wuis keren banget. Yang biasanya jam 9 malam adalah waktu untuk bobok malam. Saat itu sama sekali tak memejamkan mata. Gak mengantuk sama sekali. Tekad ditambah sugesti. jadi obat yang cukup manjur ternyata.
Nah, pas malam-malamnya sendirian di masjid dengan duduk bersila. Lampu masjid dimatikan oleh panitia. Merasa sama sekali tak di hargai. Padahal sebenarnya sudah mendapatkan konpensasi terhadap acara ini dari mas’ul. Tapi hati lagi tak terlalu tertarik untuk mendebat. Merasa harus menghargai para panitia TK 3 karena mereka pasti juga kelelahan untuk menyiapkan acaranya agar berjalan dengan lancar. Sama-sama menghormati. Walau harus meraba-raba key pad karena tak terlihat atau menggunakan HP sebagai alat bantu penerangan. Cukup, ini bukan halangan. Sama sekali bukan.
Awalnya merasa semua berjalan normal. Eh pas malam semakin larut, semakin larut dan paling larut. Suasana mistik jadi membingkai kerja lemburku. Mulai suara cicak, suara dua burung hantu di tempat yang terpisah, mereka mengeluarkan bunyi yang saling bersahutan, sampai suara anjing mengonggong. Serem. Tapi gak pakai merinding. Biasa aja tuh.
Suasana semakin tak beres aja. Semakin aneh, otakku sudah terhasut oleh ketakutan. Itu mensugestiku akan hal-hal yang tak wajar. Mulai merasa mendengarkan perbincangan dari kejauhan. Merasa diawasi sesosok bayangan hitam. Halah, otakku lagi tak normal aja nih. Logikanya lagi tak lancar. Takut juga sih. Sempat pengen membangunkan teman agar mau tidur di sebelahku ( maklum aku duduk berjauhan dengan teman-teman karena laptopnya cuma bisa dipasang ditempat itu). Tapi kalau aku lakukan itu, rasanya itu terlalu cemen. Kan tadi sudah berkomitmen, sedang tak ingin jadi orang cemen. Jadi, tetap fokus dan jangan hiraukan apapun yang terjadi. Semangat tak menipis. Pagi hari aku tersenyum, aku baru tau kalau masjidnya dekat dengan kuburan. Adakah hubungannya?
Besoknya masih saja ada anggota yang mengumpulkan karya. Tak apalah. Kasihan mereka pasti juga sudah susah payah untuk membuat itu. Proses editing terus berlangsung. Semangat masih tak akan padam sebelum karya ini bener-bener sudah sempurna dan sampai ditangan penyunting. Satu lagi, sebenarnya hasrat untuk menangis begitu besar. Tapi sekali lagi kukatakan aku sedang berkomitmen tak ingin jadi orang cemen. Kusimpan air mataku sampai karya ini selesai. Setelah itu pengen nangis sepuasnya. Nangis sejadi-jadinya.
By the way, Menyedihkan bagiku karena editor selama ini menjadi suatu profesi yang cukup mudah untuk dilupakan. Ketika sebuah karya dari penulis itu sudah melejit menjadi terkenal, maka editor menjadi orang yang akan segera dilupakan. Namanya sering tak disebut ketika buku itu berubah menjadi best seller. Terlupakan begitu saja. Padahal tanpa adanya editor mungkin saat ini kita tak pernah merasakan nikmatnya membaca buku-buku berkualitas digenggaman kita , seperti saat ini.
Huft, sudah saatnya kita menghargai orang-orang yang berperan dibalik layar. Yang selama ini mereka tak muncul secara langsung. Tapi mereka memberikan sebuah peranan besar. Bukan sebuah penghargaan. Cukuplah hanya sebuah pengakuan. Seperti itulah harapanku dengan buku ini. Bukan untuk dianggap berjasa. Hanya saja ingin agar buku ini menjadi sebuah suguhan yang tidak mengecewakan bagi anda yang saat ini sedang membaca. Terimakasih untuk semua yang selama ini bekerja sama dengan baik. Arigatou Gozaimasu.
13Desember2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar