Kamis, 25 Februari 2010

Bentuk Kasih untuk Ibu?

cerpen click di sini nih!
WD Yoga, penulis buku Ledgard


Selamat Hari Ibu. Ucapan itu sering terdengar saat menginjak bulan Desember. Pada bulan ini, bangsa Indonesia meletakkan sebuah hari penghormatan bagi para Ibu; Ibu yang berjasa melahirkan para pahlawan. Ibu yang berkorban membesarkan orang-orang besar. Ibu yang merawat kita.

Penghargaan pada para Ibu terwujud dalam banyak hal. Mulai dari ucapan via sms kepada ibu-ibu kita yang terpisah jauh, ciuman sayang dan setangkai bunga hingga kado kejutan yang kita, anak-anaknya, siapkan.

Cerpen Sebarut Senja Ibu mengangkat tema yang sama, meski tidak mengaitkan dengan Hari Ibu. Cerpen ini mengangkat kisah seorang anak perempuan yang berjuang membelikan obat untuk ibunya yang sakit di rumah. Pengemasan cerpen ini membuat usaha mencari obat yang 'biasa' menjadi pekerjaan luar biasa. Perhatikan bagaimana penulis mengulang kata 'Aku berlari' untuk menunjukkan tekanan waktu. Di saat sang tokoh tinggal selangkah mendapatkan obat, lampu lalu lintas pun tiba-tiba menyala hijau, menambah tekanan pada diri sang tokoh utama.

Di tengah semangat penulis untuk menunjukkan pengabdian tokoh utama pada sang ibu, ada satu hal penting yang luput. Penulis lupa menggarap latar dengan seksama. Latar berbicara tentang di mana kisah ini terjadi. Selain berfungsi menguatkan estetika sebuah kisah, latar juga berfungsi untuk membangun logika apa yang mungkin terjadi pada suatu tempat di suatu waktu tertentu.

Dalam cerpen Sebarut Senja Ibu, penulis lalai dalam memperhatikan fungsi latar untuk membangun logika. Penulis tidak memikirkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi dalam cerpennya. Akibatnya fatal. Penulis membangun ceritanya di atas pondasi logika yang salah. Apa yang dilaksanakan oleh tokoh utama ternyata tidak mungkin, atau nyaris mustahil, terjadi dalam dunia tersebut.

Mari kita bedah logika cerpen ini. Pertanyaan mendasar, apakah kisah ini terjadi di pelosok desa ataukah di kota? Jika di desa, secara logika wajar tokoh utama kesulitan mencari apotek. Namun tidak wajar penduduk desa membiarkan seorang anak gadis mencari apotek dengan berlari sendirian. Lebih wajar jika salah seorang penduduk desa ikut mengantarkan mencari obat.

Sebaliknya, jika di kota, peluang sang gadis berjalan sendirian memang lebih besar mengingat penduduk kota kadang lebih egois. Tapi, jika latar cerita adalah kota, gadis itu tidak perlu berlari sepuluh kilometer. Tentu tidak masalah mencari sebuah apotek yang buka 24 jam sehari. Kalaupun ada kendala jarak, ia dapat naik sepeda, ojek, taksi atau bentuk transportasi lain.

Akibat tidak menyusun bangun logika dengan benar, perjuangan sang tokoh mencari obat yang menjadi inti dalam cerpen justru terasa tidak logis. Tentu, seorang penulis dapat menulis adegan di mana tokoh berbuat hal yang di luar kebiasaan. Namun, penulis harus menjelaskan latar belakangnya. Di mana, kapan dan kenapa sang tokoh melakukan itu. Dalam kasus ini, penulis perlu menjelaskan dengan rinci, di mana, kapan dan kenapa sang tokoh utama berlari sendirian, sepanjang sepuluh kilometer, di malam hari (atau senja hari?) tanpa bantuan orang lain, tanpa memakai alat transportasi. Dengan penjelasan tersebut, akan terbangun sebuah logika yang runtut. Logika ini akan membuat pembaca memahami tokoh dan menghargai perjuangannya. Sebaliknya, ketiadaan logika berakibat seluruh bangun cerpen ini menjadi rapuh. Pembaca pun merasa 'dipaksa' untuk bersimpati pada sebuah kisah yang tidak dapat mereka percaya.

Sejatinya, cerpen Sebarut Senja Ibu memiliki potensi untuk memikat pembaca. Tempo penceritaan cepat dan tangkas, cocok untuk membangun ketegangan. Jika penulis mampu membangun logika yang runtut, atau setidaknya menjelaskan latar belakang tokohnya berbuat di luar alur logika umum, cerpen ini memiliki peluang untuk menjadi kisah yang menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar