Rabu, 25 Agustus 2010

REUNI BOCAH RUMAH POHON

Sebuah pesan masuk ke dalam Facebook-ku
Masih ingatkah kau akan gubug kita? Ayo kita kembali merasakannya lagi. Kami menunggumu sobat, tanggal 16 februari 2005, jam 16.30 WIB ya!

Nb: Jangan menggunakan mobil atau kendaraan apapaun. Berjalan kakilah menuju SD kita sobat!

            Dari nama yang sudah lama terlupa dari otakku. Sukro. Sahabat lamaku. Bagiamana bisa? Ah bodohnya aku, sekarang sudah tidak susah untuk mencari sahabat-sahabat lama kita dengan Facebook. Aku pun menjawab pesan itu.

Pasti sobat!!

***

            Hari ini tiba. Hari yang sudah sangat kutunggu, bertemu dengan mereka yang melukis indah kenangan di hatiku. Sahabat-sahabatku sejak kecil. Sekarang aku berada di desa tempat kelahiranku. Aku telah lama meninggalkannya. Banyak hal yang berubah, tapi tak sepenuhnya merubah semua keadaan. Aku masih merasakan aroma hijau daun yang segar, udara dengan sedikit polusi, sawah yang meghampar luas, dan sekolah kecilku yang sekarang sudah semakin merenta.

            Sekolah SD ku adalah sekolah yang konon sudah berumur 100 tahun lebih. Sangat tua. Walaupun saat ini aku melihat secara fisik sudah sangat berbeda. Sudah tampak jauh lebih baik daripada 30 tahun yang lalu, saat aku masih sekolah di sini. Temboknya sudah bukan lagi tembok anyaman bambu, tapi sudah jadi tembok dari batu bata dengan graffiti yang menghiasinya.

            Canda tawa masih tertancap nyata di otakku. Hampir semuanya masih kuingat. Setiap jengkal sudut. Setiap peristiwa seolah memutar otakku untuk mengulangi semua kejadian penuh kenangan di masa lalu. Terlintas begitu cepat.

“Kemana mereka? aku sudah menunggu lama disini.”

“Apakah mereka membohongiku?” aku semakin menggerutu.

Aku berkelilingi sekolahan itu. Menuju arah barat sekolahanku. Menyusuri kelas per kelas. Aku benar-benar reuni dengan masa laluku.

“ Aku meridukan kalian. Sangat! ” aku tersenyum kecil.

***

            Dari kelas satu hingga kelas 5 semuanya kosong. Harapanku tinggal satu lagi. Kelas 6. Aku mempercepat langkahku menuju kelas 6. Aku berkeliling ke semua bagian kelas. Aku memukan secarik kertas tertempel di papan tulis. Aku mendekatinya.

“ Berjalanlah menuju tempat dimana kau merindukan kami.”

“ Mereka…tak pernah berubah!” gumamku.

***

            Di tengah sawah yang segalanya terhiasi warna hijau padi. Dari kejauhan seperti barisan prajurit yang berbaris rapi. Beberapa padi terserang hama dan bekas lukanya terlihat. Entah bernbentuk lubang atau daunnya berubah kuning. Sawah sedang sepi karena disiang hari petan akan meninggalkan sawahnya untuk beristirahat. Sejenak meluruskan persendian yang telah bekerja dengan berat.

            Aku dan temanku berkumpul seperti biasa. Di sebuah gubug di tengah-tengah sawah. Gubug yang tak terlalu yang begitu. Atapnya adalah anyaman daun kelapa yang sudah mengering, warnanya sudah berubah coklat. Tiang penyangganya terbuat dari empat bambu dengan ukuran diameter yang cukup besar. Sedangkan alasnya adalah kayu.

“Cah, nek awake dewe uwes gedhe arep dadi opo ya? Iseh podo ileng gak ya? Iseh koyok ngene gak ya?1 Sukro memulai pembicaraan siang itu.

            Sukro bisa dibilang adalah ketua kami. Dia orang yang hobinya menyuruh ini dan itu. Sukanya mengatur agar begini dan begitu. Dibalik itu semua, dia orang yang selalu melindungi kami dari semua kejahilan teman-teman kami. Tubuhnya yang besar membuat dirinya cukup ditakuti.

            Lana dan Lani masih sibuk dengan dakonnya. Mereka berdua adalah si kembar yang sangat kompak. Kemanapun selalu bersama. Selalu menggunakan pakaian yang sama. Potongan rambut yang sama. Satu persamaan lagi yang mereka miliki, Pelit.

            Sedangkan aku selalu berdekatan dengan mbak Sumi. mbak sumi adalah seorang penderita lumpuh. Tapi semangatnya yang luar biasa itu yang membuat kami selalu mengajaknya. Kami bergantian menjemput dan menggendongnya. Untungnya saja rumah mbak sumi cukup dekat dengan rumah gubug ini. mbak sumi adalah motivator bagi kami. Usianya paling dewasa. Dia mengajari kami banyak hal.

Mbak sumi tak pernah bisa sekolah. Alasannya adalah orang tuanya tak mampu untuk menyekolahkannya. Apalagi dengan kondisinya seperti itu. Tapi semangatnya untuk belajar membuat kami betah bersama dengan mbak sumi. mbak sumi adalah pembaca segala macam buku. Kami rajin membawakannya. Setelah membacanya mbak sumi memndongenkannya kepada kami. Pokoknya kalau mbak sumi sudah mendongeng maka itu saat kami akan terdiam dan menyelami dunia lain. Mbak sumi selalu mengajak kami menjadi terlibat ceritanya.

Satu lagi yang menjadi anggota geng ini. Namanya Bara, kacamata tebalnya adalah kelemahannya. Kacamatanya adalah sumber kejahilan bagi kami. Bara memang tak akan pernah bisa hidup tanpa kacamatannya. Dia tak akan bisa melihat. Bara adalah kutu buku sejati, dia pemasok buku bagi mbak sumi. Bara bukan orang yang pandai berbicara. Dia pendiam. Tapi bara adalah orang yang penuh kejutan. Selalu membuat penelitian sederhana yang mebuat kami dibuatnya terkesima.

Semua tak ada yang merespon. Mbak sumi tau kalau sukro sedikit tersinggung dengan keadaan dimana dia dicuekan. Maka mbak sumi mengawali untuk menjawab berkomentar.

“Aku cuma pengen dadi penulis kro. Kowe lak ngerti aku cuma iso nulis. Aku gak mungkin dadi wong gedhe. Gak mungkin dadi guru. Yo jelas bakal ileng terus lah kro. Nek iseh iso koyok ngono opo ora? Mbak gak iso jawab. Soale nek kowe – kowe podho sukses opo iseh gelem kenal karo aku?”2

“ Yo tetep mau lah mbak.” Kami serentak menjawab.

***

            Aku berjalan menyusuri sawah.  Jalannya masih basah diguyur hujan. tanahnya terasa begitu lembek. Aku cukup kesulitan melewatinya. Bukan mudah untukku yang sekarang. Aku melepas sepatuku. Melipat celanaku hingga di bawah lutut. Tangan kananku memengang sebuah tongkat yang kuambil dari pohon di jalan. Tangan kiriku memegang sepatuku.

            Menyusuri galengan yang memisahkan sawah satu dengan sawah yang lain. Aku berjalan pelan dan berhati-hati. Keringatku menetes lumayan deras. Aku sudah tak terbiasa berjalan kaki sejauh ini. Segala fasilitas yang kumiliki membuatku termanjakan. Malam segera tiba.

            Tiba- tiba aku dikejutkan dengan selembar kertas lagi. Aku mengambilnya dan membaca isinya.

“ Kau cengeng sekali. Kau kehilangan setengah mati saat ditinggal kekasihmu!”

“ Maksudnya?” Aku tak paham.

***

            Ketika kami sudah beranjak dewasa. Kami masih saja menjadikan gubug tua ini sebagai tempat kami melepaskan lelah setelah sekolah. Kami semua sudah menginjak bangku SMA. Sudah banyak kejadian yang terjadi.

            Hari ini adalah hari ke-40 meninggalnya mbak sumi. Mbak sumi sudah bergelut dengan penyakitnya sudah hampir satu tahun. Dia terus berjuang. Kami sering bergantian menjenguknya. Sekedar membawakanya buku. Atau mengajaknya bercanda. Kondisi mbak sumi sudah tak memungkinnya untuk keluar dari rumah. Itu tak membuatnya berhenti untuk mendongeng kepada kami.  Mbak sumi berubah menjadi ibu kedua bagi kami.

            Dari semua temanku, aku bisa di bilang paling dekat dengan mbak sumi. Aku paling rajin membersamai mbak sumi. Mengajak mbak sumi bermain. Mengerjakan PR bersama mbak sumi. Sampai sebagai pacarnya mbak sumi. Mungkin tak terlalu salah juga. Hampir setiap hari aku memang datang kerumah mbak sumi. seperti sepasang kekasih yang saling mengunjungi.

 “ Purwo???” Teriakan banyak orang mencariku.

            Aku masih saja diam. Aku tetap posisiku bersembunyi di dalam hamparan jagung. Berada ditengah-tengah dan menyembunyikan diriku. Hanya menangis. Pura-pura tuli. Menafikkan bahwa aku sedang dicari semua orang.

            Aku masih tak bisa menerima kepergian mbak sumi. Aku masih terasa terkejut. Aku membenci keadaan ini. Aku masih ingin merasa selalu bersama mbak sumi.

“Kenapa mbak sumi yang harus mati? “

“Bukankah banyak orang diluar sana? “

“Bukankah masih banyak orang yang lebih pantas mati. Mbak sumi masih terlalu muda untuk mati.”

            Aku menangis lama. Merasakan alam ini semakin sepi. Tenggelam dalam kesedirian. Semua terasa menjahuiku. Mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa melihat jelas lagi. Semua abu-abu. Tubuhku melemas. Kakiku gemetaran. Aku sudah mati rasa.

            Semua berubah gelap.

***

            Aku tersenyum. Wajahku memerah ketika mengingat masa itu. Aku terlihat begitu kolot. Sosok mbak sumi sudah mebuatku tergila-gila. Kepergian mbak sumi meberikan dampak luar biasa bagiku. Aku melanjutkan langkahku. Tempat gubuk itu sudah begitu dekat. Langit sudah menjadi gelap. Aku mepercepat langkahku.

            Aku sudah begitu dekat dengan gubuk tua yang sudah semakin reot termakan usia. Aku melihat mereka semua. Aku berlari sesegera menghampiri mereka.

“ Kowe sui tenan pur. Uwes leleh ngenteni kowe sui.3” Sukro seperti biasanya selalu sok galak.

“ Yo maaf. Salah kowe kabeh  juga, leren gawe teka-teki. Aneh-aneh. Ki mesti idene bara.4

            Semua tertawa terbahak-bahak. Bara masih seperti dulu.

***

            Lana dan Lani berubah menjadi sosok wanita dewasa. Lana menjadi seorang wirausaha di bidang kuliner. Sedangkan Lani menjadi seorang ibu rumah tangga. Lani terlihat lebih gemuk. Perbedaan antara mereka menjadi terlihat lebih tajam sekarang. Lana lebih terlihat seperti wanita metropolitan. Tuntutan profesi sebgai pengusaha merubahnya demikian. Wajahnya segar dengan riasan kosmetik. Wajahnya terlihat seperti bukan pengusaha pada umumnya.

            Sukro terlihat jauh berbeda. Sukro berpenampilan elegan. Wajahnya terlihat sangat berwibawa. Gerak tubuhnya menegaskan karakter seorang pemimpin. Tubuhnya berubah tambun. Cara dia berbicara menunjukkan kelasnya sebagai seorang pejabat. Dia sangat berkelas.

            Bara. Dia terlihat seperti bayanganku. Tubuhnya semakin kurus. Bajunya kedodoran. Kacamatanya semakin tebal. Rambutnya memutih terlalu cepat. Sedikit botak. Dia sudah mencicipi indahnya dunia. Dengan profesinya sebagai peneliti biologi di spesialisasi entimologi membuatnya dengan mudah berkeliling dunia. Dia masih saja sangat cool.

“ Andaikan mbak sumi masih ada ya.

“ Sukro.” Lana merasa pembicaraan tentang mbak sumi akan membuat suasana berubah. Apalagi untukku.

“ Iyo kamu benar.” Aku menjawabnya dengan sedikit sendu.

“ Yoweslah, seng uwes yo uwes. Gak bakalan iso balek maneh. Saiki ayo mangan panganan seng wes tak gowo. Kowe kabeh lak bakal seneng. Lele goreng karo sambel terasi.5 Lani mencoba mengalihkan pembicaraan.

“ Aku yo gowo panganan ki. Mosok Cuma Lani seng gowo6.”

“ Sip!” Aku bersorak.

***

            Ini hari dimana kami akan berpisah. Sudah lulus dari SMA. Kami semua punya cita-cita masing-masing. Aku sudah di terima di institut teknik terbaik di negeri ini. Lana diterima di universitas negeri di jawa timur jurusan management. Sedangkan lani memilih untuk tidak melanjutkan sekolah. Dia memutuskan untuk menunggu pangerannya datang di desa ini.Sukro diterima di universitas di Jogja. sedangkan bara mendapat beasiswa ke jepang. Sesuai dengan keinginannya. Ini semua karena perjuangan berat yang kami lakukan. Kami bisa meraih semuanya.

“Ojo sampai lali ya cah. Sok nek wes podo sukses ojo sampe lali karo gubuk iki.” hening tak ada yang menjawab.

“ Iyo, iyo.” Sukro menjawab ketus, penuh keraguan.

            Semua tak pernah tau masa depan. Akankah masa depan masih mengizinkan untuk bisa berkumpul lagi seperti ini dan di tempat ini.

“ Eh deloke kae8!” Bara memotong pembicaraan.

            Beberapa kunang-kunang terbang dengan nyala warna kuning yang berpadu dengan warna gelap malam. Kontras namun terlihat indah. Terbang berputar-putar. Mengitari sawah hijau ini. sebagian hinggap di daun. Sebagian lagi terbang pergi. Sebagian lagi mendekati kami. Bara menangkap bebarapa kunang-kunang itu.

“Bagus banget.”

            Kunang-kunang itu menutup malam itu dengan seuatu yang indah. Kenangan yang tak akan pernah terlupa.

***

“ wah masakanmu enak tenan. Wareg tenan9.” sukro begitu puas dengan makanan yang dibawa lana dan lani.

“ sek yo, aku arep jumok barangku neng tasku10”. Bara melangkah mengambil tasnya yang berada di sebelah kanan gubug. Tasnya berbetuk kotak  persegi.

            Bara membuka kotaknya dan keluar kunang-kunang yang beterbangan. Sebagai ahli entimologi, mengumpulkan kunang-kuang memang bukan perkara sulit. Walaupun di tahun seperti sekarang tak mudah juga untuk bisa menemukan kunang-kunang.

            Kunang-kunang itu terbang meliuk-liuk. Berada lama di kotak membuat mereka begitu keasyikan merasakan kembali di dunia asli mereka. Di alam. Warna kuningnya berpendar sempurna. Membut kami semua merasa seperti merasakan masa lalu. De javu. Aku menangis. aku melihat lana dan lani juga menangis. Sukro memang masih seperti dulu tak pernah mau menangis di depan orang. Bara melepaskan kacamatanya karena kacamatanya berubah sembab.

            Sungguh sekali lagi kunang-kunang itu menutup malam itu dengan seuatu yang indah. Kenangan yang tak akan pernah terlupa.

 Mbak sumi aku merindukanmu.




teman, kalau kita sudah besar mau jadi apa ya? Masih saling mengingat gak ? masih bisa seperti ini tidak?1

Aku cuma ingin jadi penulis kro. Kamu kan tau aku cuma bisa nulis. Aku gak mungkin jadi orang besar. Gak mungkin jadi guru. Yo jelas bakal ingat terus lah kro. Kalau masih bisa seperti ini atau tidak?Mbak gak bisa jawab. Soalnya kalau kalian semua sukses apa masih mau kenal denganku?2

“ kamu lama banget pur. sudah leleh nunggu kamu.3

Ya maaf. Salah kalian semua juga,biki teka-teki segala. Aneh-aneh. Ki pasti idenya bara.4

Yasudahlah, yang sudah ya sudah. Gak bakalan bisa kembali lagi. Sekarang makan yang tak bawa. Kamu semua pasti seneng. Lele goreng dan sembal terasi.5

Aku juga bawa makan. Masak Cuma lani yan bawa6.

jangan sampai lupa ya kawan.jangan sampai lupa dengan gubuk ini7

 Eh lihat itu8!

wah masakanmu enak banget. Kenyang banget9

sebentar ya, aku mau ngambil barangku ditasku10


28 Agustus 2010

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar