Rabu, 25 Agustus 2010

Maskam dalam Lembaran

Maskam begitu gagah hari ini. Seisi masjid masjid kampus milik UGM ini begitu di padati dengan jejalan orang. Semua berkumpul dengan niatan untuk membadah bukuku. Sesekali air mancur kolam didepan maskam memancurkan air. Mengguyur dengan selaras seperti penari yang menari dengan anggun. Membuat siluet senja terlihat begitu tegas tapi menyejukkan. Tiang-tiang besar penyangga maskam menjadi lokasi favorit untuk bermalas-malasan. Parkir yang biasanya cukup luas lumayan tepadati oleh kendaraan yang sengaja singgah untuk acara hari ini. Beberapa penjual buku berjajar rapi menggear dagangannya disepanjang selasar utara maskam.
Tepuk tangan bergemuruh di ruangan masjid ini. Semua hadirin yang mengikuti acara ini merasa begitu puas. Berdecak kagum. Aku melihat beberapa orang sibuk membersihkan air matanya. Suasana masjid benar- benar berbeda hari ini.
Hari ini aku mengisi acara bedah buku. Buku pertamaku. Buku yang berisi pengalamanku menemukan islam. Pengalaman yang menggambarkan metamormofosis diriku hingga menjadi seperti ini. Aku memang berubah total. Bagiku berubah menjadi sempurna.
Bebarapa panitia menghampiriku mengucapkan terima kasih. Mereka merasa acara yang mereka rancang tidak sia-sia. Aku membalas semua pujian mereka hanya dengan senyuman. Yah, memang apa lagi yang bisa ku berikan.
Sekarang seorang ibu menghampiriku. Dengan mata sembabnya dia mendekatiku. Kemudian mulai berbicara.
“ Terima kasih ustadz atas ceramahnya, saya benar-benar mendapat semangat baru sekaligus malu. Saya muslim dari lahir, tapi dalam mencaintai Allah, ustadz jauh lebih baik. Saya sungguh malu ustadz…” ibu itu berbicara sambil mengusap air matanya.
“ Ibu mohon maaf sebelumnya, jika harus berterima kasih. Maka berterima kasihlah kepada Allah. Dan saya bukan ustadz ibu, maaf saya belum pantas untuk mendapat gelar itu ibu. Saya masih belajar, sama seperti Ibu.”
”Dia yang mengatur semua ini. Ini hanya perjalanan kecil yang berhasil saya raih. Tapi mungkin sebenarnya karena Allah memang menginginkan semua ini terjadi. Masih banyak rahasia yang memang sengaja disimpanNya. Karena kejutan itu tak pernah menjadi kejutan ketika disampaikan di awal. Maka bersyukurlah atas keislaman ibu sejak ibu melihat dunia ini. Itu kenikmatan yang tak dapat ditukar dengan apapun. Dan nikmat itu baru saya rasakan sepuluh tahun ini.”
***
Seorang pemuda sibuk membuka buku barunya, bukuku. Sambil bersandar di tiang penyangga maskam. Dia mulai membaca buku itu.
***

 Entah kenapa masjid itu menjadi tempat yang paling sejuk untuk berteduh bagiku. Berawal diajak oleh seorang teman muslimku. Aku jadi ketagihan menjadikan masjid sebagai tempat berteduh dari terik sinar matahari. Rasanya, di masjid sinar matahari tertahan oleh pelindung tak kasat mata. Sungguh sejuk dan menentramkan.
Aku memang non muslim, tapi dari dulu aku orang yang cukup toleran dengan agama lain. Mungkin karena aku bukan Kristen yang terlalu fanatik juga. Bagiku agama hanya warisan. Aku hanya melakukannya sebagai rutinitas tanpa makna.
Sudah seminggu ini aku menjadikan Maskam tempat favoritku. entah hanya untuk sekedar beristirahat siang atau untuk membaca buku.
Masjid menjadi tempat ibadah paling sering dikunjungi oleh umatnya. Aku membandingkan dengan berbagai agama lain. Muslim dalam sehari mendatangi masjid hingga lima kali. Minimal ketika mereka mau sholat. Itu yang kemudian membuatku semakin tertarik mempelajari islam.
Aku lalu menyediakan satu buku khusus yang kuisi dengan catatanku tentang islam berdasarkan semua hal yang akan ku temui di Maskam ini. Segala hal tentang islam.
Aku membuat ini sebagai kegiatan rahasiaku. Aku melakukannya setiap aku penat atau ketika memang aku ingin. Aku mencatat semua yang aku lihat tentang segala hal yang aku anggap menarik tentang islam. Aku akan mengobati rasa penasaranku akan agama ini. Bermula dari Maskam, aku akan memulai semuanya.
Aku menulis catatan ini dengan melepasakan kepercayaanku akan agama yang kupercayai sekarang, Kristen. Membuat sebisa mungkin agar catatan-catatanku ini lebih menjadi objektif. Aku merelakan apapun yang akan terjadi pada diriku kelak. Ini sudah konsekuensi akan sebuah rasa penasaranku. Rasa penasaran yang tiap hari kian dalam kurasakan. Kurasa, jika itu akan membuaku baik. Maka aku akan menjadi orang yang beruntung. Menjadi seseorang yang Beragama atas proses pencarianku sendiri. Bukan sekedar agama turun temurun dari orang tuaku.
                                                                                                                                                         ***
Aku hari ini diam – diam mengikuti kajian di maskam. Aku mendengarkan ceramah, namun berusaha sejauh mungkin. Namun tetap mencari tempat dimana aku bisa mendengarkannya. Lalu aku menemukan hal menarik lagi kali ini.
Hal yang menarik dari muslim adalah ketika agama mengajarkan untuk senantiasa menyebut nama tuhanNya. Dari kecil aku sudah terbiasa mendengar temanku berkata alhamdulillah atau astaghfirllah. Ternyata bukan hanya itu, masih banyak lagi ajaran yang islam tuntunkan kepada pemeluknya untuk senantisa menyebut nama TuhanNya.
Ketika seseorang jatuh, seseorang mengucapkan Astaghfirllah. Ketika seseorang sedang terkena musibah maka muslim mengatakan Inalillahiwa inalihllahi Roji’un. Ketika mendapatkan bahagia maka akan mengucapkan Alhamdulillah. Di setiap kesempatan mereka dituntut mengingat tuhanNya. Senang, sedih, kecewa mereka di minta untuk senantisa mengingatnya.
Bukan hanya itu, Islam juga selalu memeberi penekanan untuk senantisa membasahi lisannya dengan puji-pujian akan TuhanNya. Dan seolah tak ada proses kecil yang tidak dihargai dalam islam. Ketika menyuruh pengikutnya untuk mengerjakan sesuatu, maka akan di barengi dengan pedeskripsian akan imbalan atau hukuman sebagai balasan dari proses yang mereka lakukan.
Doa adalah komunikasi seorang hamba dengan TuhanNya. Luar biasa. Islam mengaturnya begitu lengkap, hampir tanpa satu kegiatan pun yang luput tanpa doa. Bahkan hendak ke kamar mandi saja seorang muslim dituntut untuk berdoa. Punya pakain baru juga demikian. Dengan itu semua. Sungguh bagaimana mereka tidak akan mencintai TuhanNya?
Dalam hatiku berdegup sesuatu yang aneh. Aku tak mampu mendeskripsikan perasaan ini. Apakah sekarang yang kurasakan hanya sebatas penasaran? Atau sudah berubah menjadi keyakinan? Aku tak paham. Aku diam-diam semakin kagum dengan ajaran ini. Meggeliat perasaan iri yang berkecamuk dan mengobrak-abrik isi otakku. Membolak-balik kepercayaan dan dogma-dogma yang selama ini aku terima. Semua ajaran yang aku terima selama ini seolah tak jauh lebih bagus ketimbang islam. Salahkah aku jika mengataka demikian?
Aku ketagihan…ya, semakin ketagihan.

                                                                             *** 
Masih dengan udara dan kesejukkan di maskam. Hari ini dengan kepenatanku aku mengungsi ke Maskam. Rasanya aneh, kenapa aku tidak pergi ke gereja saja? Kenapa malah ke Masjid? Ah, aku sungguh tak paham. Seolah ada seseuatu yang menggerakkan aku ke sini. Seolah aku akan mendapatkan ketrentaman disini. Maskam. Kali ini dengan sesuatu yang baru lagi yang aku dengar. Mungkin lebih tepatnya aku mneguping dari pembicaraan beberapa orang di sebelahku.
Seseorang yang terlihat paling senior mulai pembicaraan itu.
“ Kalian tau kenapa Muhamamad menjadi sebuah teladan buat kita?”
Beberapa orang yang sepertinya adalah adik angkatan dari sang penanya, memberikan jawabannnya masing-masing.
“ jawaban kalian semua benar. Yah seperti itulah Muhammad. Dia bisa memenuhi semua kriteria yang ada untuk menjadi seorang teladan. Dia seorang yang penuh akan kebaikan. Lisannya dijaga Allah dari perkataan dusta. Dia adalah sahabat yang baik bagi sahabat-sahabatnya. Dia membuat semua sahabat seolah menjadi orang paling di cintainya. Dia juga pemimpin yang selalu peduli dengan semua golongan. Menjadikannya sebagai sosok yang adil dalam segala urusan. Dia menjadi suami yang penuh perhatian terhadap istri-istrinya. Bagaimana Muhammad begitu memanjakkan istri-istrinya. Dia seorang ayah penuh kebijaksanaan. Seorang kakek yang tak pernah terganggu dengan kenakalan cucunya yang selalu menggagunya ketika menjadi imam sholat. Tak pernah memaki, justru menggendong mereka dalam sholatnya. Seorang politikus yang bersih. Seorang pembelajar yang tak pernah lelah. Sungguh jika saya harus menguraikan lagi. Rasanya waktu tak akan pernah memeberikanku izin. Satu kata untuk mewakili semuanya adalah LUAR BIASA”. Pria yang senior itu merangkum semua jawaban dan menambahkan jawaban pribadinya.
Sungguh demikian hebatkah Muhammad? Seagung itukah kepridaiannya?
Aku memutuskan untuk membeli beberapa buku di selasar maskam. Buku-buku tentang Muhammad. Aku ingin mencoba mengenalnya lebih dalam. Aku tipe orang yang belum percaya dan puas sebelu
m aku menemukannya sendiri.
Aku akan mengenalmu Muhammad.

***
Ketika aku melihat wanita berjilbab aku sedikit bingung. Kenapa mereka harus menggunakan itu. bukankah itu cuma akan membuat mereka gerah. Apalagi kalau disiang bolong. Apalagi aku melihat bebarapa wanita menggunakan jilbab yang menjuntai begitu panjang. Apakah mereka tidak pernah merasa kepanasan?
Aku memberanikan diri bertanya kepada salah seorang penjual buku di selasar maskam yang juga berjilbab. Dan ibu itu menjawab pertanyaanku dengan sangat memuaskan. Aku memulai dengan berbasa-basi, kemudian mengarahkan pembicaraan ke arah yang kuinginkan. Tentang jilbab. Ku balut pertanyaanku serapi mungkin dan semangalir mungkin.
“Wah ya gerah mas. Tapi mas, saya jauh merasa lebih nyaman kalau menggunakan jilbab ini mas. Saya merasa saya benar-benar wanita. Kalau laki-laki itu tugasnya untuk melindungi. Nah kalau wanita itu dilindungi mas. Dan menurut Al Qur’an. Bahwa wanita itu harus melindungi dirinya sendiri dengan menggunakan jilbab. Biar tak pernah ada lelaki yang akan menggoda. Kan laki-laki bisa jadi buas kalau lihat wanita seksi. Kalau pakai jilbabkan saya gak kelihatan seksi mas. Hahahaha…”
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban ibu itu. penjelasan yang sederhana namun bisa begitu logis. Aku terdiam sejenak. Seorang ibu di sebelah ku yang sejak tadi sibuk memilih buku ternyata juga memperhatikan percakapan kami. Dia juga ikut menjawab pertanyaanku tadi. Dari kepribadiannya, ibu itu terlihat sebagai sosok yang supel.
“ Wah saya boleh ikut menjawab mas?”
Aku mengiyakan.
“ Dulu saya model mas. Saya rajin banget fashion show dengan busana yang minim. Entah kalau bukan bagian atas, ya bagian bawahnya yang terbuka lebar. Dan bodohnya saya merasa tak malu dengan itu semua. Saya seolah merasa menjadi wanita yang sempurna. Seksi. Padahal yang melihat saya bukan hanya wanita mas tapi juga pria. Sampai saya menikah dengan suami saya. Sejak saat itu saya berubah menjadi wanita berjilbab seperti sekarang. Perubahan luar biasa yang saya rasakan adalah saya jadi begitu nyaman jalan kemanapun mas. Tak perlu was-was, sadar atau tidak wanita berjilbab itu lebih dihargai daripada wanita yang gak berjilbab. bener kata ibu tadi mas, laki – laki itu doyannya yang mini-mini.”
***
“Geovanny” seorang memanggil pemuda yang bersandar di tiang itu. Dia membuyarkan keasyikan pemuda yang sejak tadi tengah membaca buku.
“ Eh kemana saja lo, gue udah nunggu disini lama banget. Untung tadi gue punya buku ini. Lumayan mengisi kebosanan gue lah.”
“ Emang ceritannya tentang apa?”
” Isinya tentang muallaf yang menemukan keislamannya di Maskam ini. Di membuat lembaran-lembaran cerita tentang segala hal yang dia observasi di maskam ini. Buku ini di beberapa bagian membuat gue begitu malu. Menyindir gue. Bagaimana seorang penganut Kristen bisa memaknai islam lebih bagus ketimbang gue. Kerenlah pokoknya. Lo wajib baca.”
“ Boleh lah, ntar gue pinjem lo.”
“ Pinjem? Enak aja lo. Beli sono. Sudah ayo kita berangkat!”
***


Maskam dalam Lembaran
Rumcay , 22 April 2010
Last editing 29 April 2010
03:31
Wisnu Frian
Menang lomba cerpen@Forum Fiksi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar