Hasan untuk semua hal dimasa lalu, tidak ada kebijaksanaan sebelum terlahir kata maaf dan terima kasih untukmu.
San, jarak dan waktu terlalu berterus terang pada keadaan kita. Kalau selama ini kamu di Kediri, aku selalu menganggap kamu biasa-biasa saja. Ketika sekarang kamu pergi menuju satu pengharapan baru di kota Kuta. Aku baru sadar akan makna kehadiranmu untuk selama ini. Tidak ada perbicangaan tentang hidupku tanpa memperbincangkan keberadaanmu. Sungguh.
San, dua tahun kita akan berpisah. Walau dua tahun menjadi bilangan waktu semenatara, bagiku tetap saja akan berjalan terlalu lama. Kamu tau betapa kadang butuhnya aku terhadap kehadiranmu dan seluruh bantuanmu.
San, kalau kamu masih mengingat awal kita ketemu. Semua di mulai di Bali, saat kita studi tour. Ingat kan? Kita satu bus, aku masih ingat kita bus urutan lima. Aku duduk dengan dua orang karena berada di kursi posisi tiga orang. Kamu tepat di belakangku. Iya,kita saling mengenal sejak kelas dua bukan sejak awal kita sekolah. Begitulah kadang takdir bekerja di luar kinerja nalar kita. Kita hanya actor untuk sebuah scenario besar yang dibuat sutradara Yang Maha Agung.
San, entah bagaiamana urutan kejadian hingga kita bisa mengenal sedekat ini. mungkinkah karena sesederhana bahwa kita adalah sama-sama pelanggan Tiara- toko penyewaan komik langganan kita itu? Saya pikir tidak! Tentu saja bukan itu.
San, kelas tiga menjadi fase hidupku yang teramat menguras semua energi. Amanah sebagai ketua organisasi, tugas yang menumpuk, ujian akhir, serentetan tes lainnya, masalah dengan seseorang yang paling dekat denganku (kamu tau lah), masa depan jenjang pendidikan selanjutnya, hingga masalah persinggungan konflik dengan jamaah liberal. Semua menguras waktu, kesabaran, tenaga, dan pikiran. Dan…satu-satunya yang tau dan yang selalu meopang pundakku untuk tegak saat itu hanya kamu.
San, masih ingatkah ketika istirahat pertama berbunyi? Akulah yang menentukan kemana kita berdua akan jajan, atau kemana kita akan menghabiskan sisa waktu, atau kamu yang menungguku untuk berangkat ke masjid. Bukan sebaliknya. Ketika bel istirahat kedua, lagi-lagi aku yang menentukan kemana, apa, dan bagiamana kita akan mengisinya. Kamu hanya pengikut yang patuh dan sedia dengan segala keputusanku itu. Aku tau, aku tidak cukup memberikan hak suaramu untuk berpendapat. Aku begitu dominan untuk semua keputusan. Kamu jarang menjadi pembicara dalam setiap obrolan, akulah yang menyuapimu dengan semua keluh kesah hidupku. Tapi satu hal yang kita sadari bersama kita memang saling membutuhkan dan saling bertautan satu sama lain.
Ingatkah ketika kita makan, maka bagi kita uangku adalah uangmu. Tidak ada bedanya siapa yang membayar, semua tidak perlu ada perhitungan yang rinci.
San, untuk sekian tahun bersamamu. Beberapa lembar kertas tak akan pernah mewakili semuanya. Mustahil untuk menyesakkan semua yang terjadi dengan kita hanya dengan kata-kata. Banyak yang tersurat dari pergaulan kita. Namun juga banyak yang tersirat. Disitulah letak sulitnya untuk mendokumetasikan dalam bentuk kata-kata atau apapun, kecuali hanya kenangan.
San untuk banyak hal, aku menyadari tidak ada sahabatku yang mau semengerti dirimu kepada segala macam busuk peringaiku. Hanya kamu san, bukan orang-orang yang selama ini kuanggap hebat. Memang aku tidak pernah adil denganmu. Aku menakar semua dari batas yang kubuat, bukan berdasar kenyataan yang berbicara. Maafkan aku untuk itu.
San, dua tahun lagi. Aku akan meraih gelar sarjana. Dan jika takdir selaras dengan ambisiku. Aku mungkin langsung ke jenjang studi yang lebih tinggi lagi. Di Indonesia atau bukan aku sudah tak terlalu ambil pusing. Aku tau setiap aku berbicara tentang kuliahku. Ada dengung iri di hatimu. Tapi kamu menyimpannya dalam-dalam. Semua karena kamu ingin mendengarku berbicara. Terlebih memuaskanku. Aku tau nasib selalu saja seperti teka-teki silang. Susah untuk menebak semuannya. Meski itu mungkin. Percalah dua tahun ke depan kamu juga akan menjadi pribadi yang berbeda. Bukan karena standar jabatan, materi, dan gelar. Namun untuk semua kesetiaanmu pada persahabatan panjang kita.
San yang aku tau, aku memang tidak pernah akan menjadi Husein untukmu. Tapi untukku, kamu adalah Hasan untukku.
Bagaiaman kerjamu di Kuta? Aku di Jogja menghabiskan ramdahanku bersama bergumul masalah yang harus diselesaikan, kamu tau aku selalu tidak sendiri. Hanya aku yang kurang menyadarinya saja? Doaku untuk malam panjangmu disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar