Kamis, 04 Agustus 2011

Pertama Kali Terbang di Udara

Inget persis staun lalu pngalaman naik psawat trbg prtama x dri minangkabau k cengkareng. Pulg tgh mlm naik prima jasa, djmput papa dni hri d plataran mal. Sampai rumh lgsg ngluarin olh2 trus tidur ga mndi. Smntr itu kamu mlh kmalangan, he…
(SMS dari Mbak Dyah, 18 Juli 2011 22:30 WIB)


Wah iya, sudah satu tahun. Benar-benar berlalu cepat sekali. Satu sms dari Mbak Dyah yang masuk mengunduh memori lama saya untuk bangkit. Perjalanan tentang Bandung dan Padang.


Setahun yang lalu, hanya dengan rencana ala kadarnya saya dan dua rekan memutuskan untuk menghabiskan liburan dengan pergi ke Bandung dan Padang. Tujuannya selain berwisata adalah untuk berkenalan dengan keluarga masing-masing.


Senang rasanya bisa berkunjung dan membuka pelataran suatu tempat baru untuk pengalaman. Bisa mencicipi pengalaman demi pengalaman dari satu daerah ke daerah berikutnya. Mulai dari pengalaman pertama kalinya bisa melihat Bandung dengan kemacetan Jalan Dagonya. Pengalaman pertama kalinya menapak pulau Sumatra. Berlayar malam hari dari pelabuhan Merak ke Bakahuni. Menghirup udara Lampung. Melihat jajaran karet, Jati dan Kelapa Sawit berjajar di hutan. Memandang Rumah berjarak teramat lebar antara satu sama lain. Mendengar Bahasa yang terdengar asing.


Di Padang waktu yang kita habiskan sangat lama. Saya bisa mejelajah hampir seluruh objek wisata di Sumatra Barat. Mulai dari Istana Pagar Ruyung yang tengah direnovasi akibat terbakar setalah tersambar petir. Bukit Barisan yang meliuk-liuk. Jam Gadang tegak putih menjulang. Pantai-pantai di Pariaman yang berpasir putih, sepi dan sepoi. Semua adalah tempat baru yang sebelumnya mendengar saja belum pernah.


Begitu juga dengan kuliner. Kadang antara satu tempat dengan tempat yang lain punya makanan yang sama. Kemasan dan namanya saja yang berbeda. Seperti picel, di Padang begitu sebutannya. Kalau di Jawa di sebut Pecel. Saya mencicipi berbagai macam kuliner yang karena namanya asing banyak yang saya lupa. Satu yang paling berkesan tentu saja saat bisa mencicipi masakan Padang di Padang. Dan di sana rumah makan Padang tak perlu mencantumkan nama Padang di papannya.


Ciri khas masakan Padang adalah bersantan, gelap dan pedas. Rasanya semua masakan harus diolah sebagai balado. Telur balado, ayam balado, daging balado, udang balado, ikan balado, hingga tempe dan tahu juga diolah balado. Dan itu jadi menu setiap hari. Bagaimana kolestrol mereka tidak bermasalah?


Untuk pertama kalinya juga saya bisa terbang dengan pesawat terbang. Saking euforianya kami sempat hendak ingin membuat video lipsing dari lagu tell me why yang pernah dipopulerkan backstreet boys.
Bertambah tinggi suatu tempat semakin tinggi pula tekanan udaranya. Semakin berat hemoglobin kita untuk bekerja. Gendang telinga akan mengalami tekanan yang lebih tinggi- salah satu alasan kenapa bayi yang belum cukup umur dilarang naik pesawat. Entah karena saya kurang sehat atau apa. Tapi waktu hendak lepas landas. Saya mengalami tekanan di telinga yang menciptakan rasa sakit sekali. Tidak ada dengungan. Hanya terasa seperti ditusuk sesuatu. Meski sempat mengalami hal kurang menyenangkan, Alhamdulillahnya tidak terjadi apa. Gendang telinga saya masih sehat sampai sekarang. Penerbanganp pertama dinyatakan berhasil.


Sesampainya di Bandara Sukarno-Hatta kami berpisah. Saya terpaksa tidur di masjid yang ber-AC karena sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan. Karena sendirian, tidurpun jadi was-was. Tas, saya usahakan selalu dalam dekapan erat tangan. Selalu was-was dengan orang asing. Nasib malang saya waktu itu memang sulit terelak. Sudah sedimikian berusaha dengan keras menjaga semua barang. Sepatu saya masih bisa raib juga-Oh, ini kehilangan sepatu ke sepuluh selama saya kuliah. Akhirnya saya terpaksa mencuri sepatu masjid bandara (kondisi saya sungguh sangat memaksa saat itu). Tidak mungkinkan saya berjalan tanpa alas apapun? Sandal masjid walau sebenarnya juga tak layak pakai (sudah terpotong bagian paling atas yang sepertinya dipakai untuk penanda) tetap saja bagi saya sandal tersebut sangat berjasa.


Belum berhenti kemalangan saya. Di stasiun, selang bebarapa saat setalah saya mendapat kabar bahwa ATM saya sudah di transfer uang untuk beli tiket pulang naik kereta. Saya merogoh saku saya. Sampai sedalam tangan saya bisa merogoh. Kosong. Lemas kaki ini menopang tubuh. Saya bersandar menenangkan diri. Untungnya telepon genggam saya tidak ikut raib. Kalau ikut raib, saya sungguh tak akan pernah bisa membayangkan kelanjutan hidup saya.


Alhamdulillah pertolongan Allah datang melalui  Mas Anggoro. Mas Anggoro meminta saya untuk ke rumahnya terlebih dahulu. Naik taksi hingga menguras argo sampai seratus ribu (kalau PP, tinggal dikali dua saja). Saya sempat mengalami kesulitan untuk masuk perumahan Mas Ang. Satpam menahan saya karena saya tidak punya janji, saya jelas tidak punya KTP. Untungnya Mas Ang cepat bertindak dengan mengatakan saya adalah tamu papanya. Oh sungguh saat itu saya merasa sebagai orang penting saja.


Saat melihat sandal (curian) saya yang sudah buluk. Ibunya Mas Ang sempat menghina. Awalnya saya sempat malu untuk mengakui. Dengan terpaksa saya mengakui dengan malu-malu. Sandal itupun dibuang dan saya dikasih sandal jepit yang lebih layak. Saya juga dikasih kesempatan berkunjung ke resort milik keluarga mas Ang. Tentu saja akhirnya saya dipinjami uang untuk pulang. Saya memang selalu malu setiap menjadi beban orang lain. Di sisi lain kondisi yang serba kesulitan mendorong paksa hati dan mulut saya terus berkomat-kamit mengucap syukur.
Sungguh disetiap kesulitan selalu ada ruang untuk kemudahan. Dan Allah selalu dekat dengan hambanNya yang tercekik kesulitan.


Semua yang terjadi saat itu baik kecewa atau bahagia, duka atau suka, amarah atau kesabaran semua telah menjadi satu paket istimewa dalam warna pengalaman hidup saya.


Nb: Terimakasih untuk Mbak Isti dan Mbak Dyah, rekan perjalanan yang menyenangkan. Kepada keluarga Istanto yang mensubsidi biaya pesawat, jamuan selama disana, biro perjalanan keliling Sumatra Barat, dan rumah untuk singgahnya. Juga kepada keluarga Mbak Dyah yang sudi mengantar kami hingga ke Bandung (walau memang kebetulan), rumah singgah, dan bubur ayamnya. Kepada keluarga Mas Anggoro yang mau meminjamkan uang demi bocah nelangsa ini untuk kembali pulang.
Mengenang satu tahun perjalanan Bandung-Padang.

Istana Pagar Ruyung Baru
Istana Pagar Ruyung yang tersambar petir

Padang di terminal ANS

Salah satu pantai di Pariaman

Becak motor

Rumah makan di Pariaman

SMAN 1 Padang pasca gempa

di pasir pantai mengukir nama

Sate Padang

Di pantai malin kundang

di jembatan sebelum pantai salido

Bukit bintang Pariaman

 di Kapal, kita bikin video lipsing

Rumah keluarga Mbak Isti yang konon usianya 100 tahun lebih

Jam Gadang

Pemandangan di Bukit Barisan

Jembatan Siti Nurbaya

ATM disana bentuknya rumah gadang

di Prasasti Malin Kundang (sebenarnya dilarang foto)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar