1132 Tahun usia yang jauh dari muda. Dua kali lipat dari kota Yogyakarta, tiga kali lipat dari kita Jakarta, 56,6 kali lipat dari umur saya. Kediri memang lahir dari sejarah yang sangat panjang. Bukan tua-untuk batasan umur ,tidak ada angka yang menjadi patokan pasti karena waktu masih saja terus berlalu.
Ada yang jauh lebih tua sebelum Kediri lahir. Saat Kediri lahirpun, sesuatu itu juga sudah ada dan kuat. Bahkan sejarah ikut mencatatnya sebagai pencorengan. Sesuatu itu bernama sifat buruk manusia.
Sekian ribu sebelumnya, manusia akhirnya menghuni bumi karena kesalahan Syetan. Sejak saat pencabutan gelar manusia sebagai penghuni surga, maka hadirlah manusia dengan sifat buruknya. Iri, dengki, egois, emosi, sombong, -oh betapa masih banyak lagi daftar yang harus saya tuliskan lagi.
Sekarang di era milenium. Serba canggih. Serba singkat. Serba mudah. Kejahatan itu masih saja bersamayam mewarnai berbagi macam peristiwa. Kejahatan memang akan selesai pada saat bersamaan selesainya tugas dunia ini. Kejahatan memang akan selesai setelah Allah mengembalikan apa yang sesungguhnya sudah menjadi hak manusia sebelumnya, keabadian di surga.
Demikianlah kemudian Neraka yang diciptakan Allah untuk memberangus sifat buruk yang melekat pada manusia. Menyucikannya kembali manusia, seperti sebuah kemoceng mencukil debu yang menempel di meja.
Saya sebegai generasi yang entah diketegorikan sebagai generasi yang bagaiamana terpaksa harus menerima warisan sifat buruk tersebut. Sifat buruk itu sebenarnya seperti gen, yang setiap manusia pasti memiliki. Namun tidak semua manusia akan mengekpresikannya. Wanita tidak akan berjenggut karena gen jenggut pada wanita tentu tidak akan terekspresi. Begitu sebaliknya pria tidak akan menyusui karena gen untuk memproduksi susu tidak akan terekspresi.
Sifat buruk tak jauh berbeda. Setiap manusia mempunyai emosi dalam dirinya. Tapi setiap manusia mengekspresikan selalu saja berbeda-beda.
Saya tau akan diri saya. Memangnya siapa lagi yang mampu lebih mengerti diri saya dibanding diri saya sendiri? Saya adalah cermin bagi diri saya sendiri. Bayangan saya yang muncul pada refleksi cermin tersebut yang menyadarakan seberapa saya memiliki sifat busuk manusia. Saya tidak mau mati akibat kebusukan yang saya miliki. Kebusukan yang ada memang tidak sanggup dihilangkan hingga sempurna. Setidaknya saya ingin mengulur lebih lama proses digerogoti kebusukan pada diri saya.
Saya punya iri dan dengki. Saya tau itu. Saya yang sebenarnya akan biasa-biasa saja menghadapi kegagalan. Akan kehilangan nurani saat mengalami kegagalan di saya, keberhasilan di orang lain. Menyadari kegagalan diri dan keberhasilan orang lain, memang beban yang menghujam ke palung nurani. Menggetarkan sabar yang susah payah ditabung.
Sering sekali saya harus memendam emosi yang tak jelas saya harus limbahkan ke siapa. Kepada keberhasilan teman sayakah? Saya sama sekali tidak punya hak untuk itu, Atau kepada diri saya sendiri? Saya tau diri saya tidak akan bersedia disalahkan, sekalipun oleh diri saya sendiri. Saya hanya harus menyadarkan diri saya dengan penuh kesadaran-walau sangat sulit untuk menerima. kalau Islam menegur umatnya tentang Iri yang hanya akan memeberanguskan amal kita, seperti kayu bakar yang tinggal arang saat terbakar api. Habis tak bersisa. Saya tidak ingin itu terjadi pada amal saya. Amal saya diperoleh dengan teramat sulit.
Saya punya sombong, egois, dan keras kepala. Kalau saya terpaksa harus jujur. Saya tau saya sedikit modal untuk sombong. Kenyataanya sombong tidak pernah membutuhkan modal apapun. Sombong bisa muncul pada apapun yang bisa disulut untuk kesombongan. Saya juga egois-sifat yang jadi diferensial dari sombong. Saya tidak suka kalah, gagal, dan tak berdaya. Egois yang telah mebutakan, menulikan, mematikan semua rasa saya untuk menerima bahwa saya manusia yang harus ditopang orang lain untuk meredam kealfaan. Naif. Saya orang yang keras kepala yang mendorong saya menjadi batu nan ambisius. Kalau saya punya keinginan saya ingin itu terlaksana, entah bagaiamana itu terjadi, entah kapan akan terlaksana, entah dimana akan terwujud, entah oleh saya sendiri atau orang lain. Saya cuma mau kemauan saya adalah keharusan untuk terwujud.
Sering dari hidup saya sifat buruk justru menjadi pelecut untuk mau menggerakan niat. Seolah sifat buruk merupakan sampah yang sebusuk apapun masih sanggup terdegrdasi menjadi pupuk. Saya tidak mau dikasihani oleh kebusukan. Saya tidak mau bangkit, terpecut oleh ketidakberdayaan diri mengelola sifat buruk. Saya ingin hidup hanya dengan mengambil positif dari segala penjuru diri dan luar diri.
Saya tidak bermaksud menghina diri saya dihadapan pembaca. Saya juga tak sedang melakukan pengakuan dosa. Saya hanya mecoba menulis sesuatu yang bagi saya menjadi kontemplasi untuk kematangan pribadi saya. Saya hanya menulis untuk membantu mengenal saya dengan segala macam kemisteriusan yang saya miliki. Saya hanya menulis untuk berbagi, syukur menyadarkan pembaca bahwa selama kita di dunia, kita punya syetan yang menggerogoti nurani kita. Kalau telat menyadari mungkin kebusukan itu hanya menyediakan sedikit ruang untuk nurani. Semoga tidak menjadi muak karena tulisan ini menjadi semacam tulisan yang lebih mengulas tentang saya. Saya hanya ingin mengambil dari apa yang paling saya kenal-diri sendiri. Terakhir, saya ingin meminta maaf untuk kebusukan saya yang kadang harus memakan korban pada kalian-siapapun yang pernah mengenal saya.
Disela agenda wajib saya, tidur-bangun-baca-nonton-tidur-bangun-tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar