Sejarah awal hingga detik Perjuangan
Junior Smart Camp (JSC), progam yang terwaris dari satu pengurusan ke pengurusan berikutnya. Proses hanya mandek sampai tingkat konsep yang sangat amat matang-bisa dikatakan begitu. Proposal dari dua tahun yang lalu sudah rampung dengan segala macam atribut yang dibutuhkan dalam sebuah acara tersaji lengkap. Segalanya memang berakhir pada kesimpulan ini acara bagus, besar, dan berpeluang. Sayangnya harapan itu kandas disetiap tahun pembahasannya.
Saya awalnya yang jadi PJnya di tahun awal kepimpinan Mas Ashif. Lalu saya gagal mewujudkannya. Berpindah tangan Ana, saya menunjukknya. Kita sempat membuat OPREK. Namun kegagalan tahun lalu terulang. Proposal itu seperti menyapa saat liburan panjang anak sekolah mendekati. Otak dan harapan kami juga selalu muncul di setiap kesempatan itu. JSC seperti merajuk untuk dihidupkan ke dunia ini agar sanggup memberikan manfaat, sudah bosan baginya untuk menunggu. Akhirnya saya memaksa Fatma untuk menawarkan konsep in ke PERPUSKOT. Harapan besar mulai muncul. Dengan sorak sorai syukur, JSC disetujui lengkap dengan bantuan dana -satu-satunya kendala besar yang dialami adalah DANA!
Kepanitian semu mulai dibentuk. Biasanya begitu, CWC hanya butuh PJ saja. Masalah teknis yang lainnya akan berkembang sambil jalan. Andhika dipilih dengan paksa. Mau atau tidak memang harus dihadapi. Siapa yang berani denganku yang ganas ini?
Rapat ke rapat kami mulai menggodok JSC. Kita memberinya bumbu. Kami berjuang mengabulkan permintaan JSC untuk hidup. Kami susah, senang, sedih bersama JSC selama beberapa bulan. Di otak kami JSC adalah prioritas. Sering JSC terselingi agenda lain,tapi tetap saja JSC jadi anak kesayangan yang selalu ada dan diperhatikan. Kita berkorban banyak hal untuk membidani JSC. Keringat, kesabaran, emosi, dana, egois,dan kepentingan pribadi, semua ada dan menghiasi perjuangan. Kalau boleh jujur semuanya terbayar dengan baik. JSC sudah siap lahir sebagai bayi yang sehat dan montok.
Kami hanya sedikit. Dana kami terbatas. Betapa beratnya kami memaneg itu semua. Mereduksi banyak sekali hal yang sanggup menggelembungkan biaya, memilih segala hal yang rasional sesuai dana, bekerja serabutan untuk saling melengkapi karena satu pundak harus menopang banyak beban. Dengan segala macam kekurangan kami tetap memiliki keyakinan kami mampu.
Detik perjuangan
Seharian HP terus saja berdering. Banyak sekali SMS yang isinya kadang hanya untuk mengingatkan atau sekedar doa. Tugas saya selesai dan saya cuma mengamini apapun doa yang dibagi-bagikan itu.
Pagi harinya saya melebur bersama kelalaian entah saya sendiri yang menciptakan atau teman yang lain. Mulai dengan lari pagi (benar-benar pagi buta) ke MASKAM untuk meminjam TOA. Untungnya ketua JS teman sejawat, jadi perizinan dimudahkan. Izinnya cukup dengan sms dan bilang “aku pinjam ya.”
Sampai di rumcay membantu Novi dengan tugasnya yang ternyata belum dikerjakan. Setelah sebelumnya melakukan rutinitas membangungkan Andhika dari tidur sunah selesai subuhnya. Untungnya Mas Iim sudah datang membantu-di waktu sebelumnya dan setelahnya terasa mengganggu. Mulut ngomelnya Mas Iim beradu dengan bunyi cekikan keyboard beradu lagi dengan pertengkaranku vs Fatma dan Rara tentang fenomenalnya Pagem(Penggung gembira) beradu lagi dan lagi dengan ketawa nge-bass-nya Andhika.
Di otak kami. Peserta akan tidak seawal itu. Sebelum jam kesepakatan betapa terkejutnya kami kalau ternyata peserta sudah berkeliaran kemana-mana. Ada dua alasan kenapa kami telat, ribet mengurusi kelalaian dan kesasar. Kedua-duanya memang sudah seharusnya menjadi pelajaran baharga menuju profesionalitas, bukan sekedar obral alasan. Bagi saya, mengakui bahwa diri salah adalah keberanian. Tapi mengakui bahwa diri salah dan segera membenarkan kesalahan adalah keberanian yang bertanggung jawab. Alasan hanya akan mebuat kita dikasihani. Dikasihani tidak lebih hanya mebuat kita rendah dihadapan orang lain. Tidak ada yang selesai dengan menguraikan alasan. Kelalaian yang kita buat akan selesai kalau kita memang menyelesaiakannya.
Profesionalitas peserta sebagai peserta menegur kami. Kami kelabakan dengan ketidak siapan. Rasanya kami masih butuh jeda. Butuh nafas. Mau tidak mau ini semua sudah dimulai dengan segala macam ketidak siapan kami memulai. Bismillahirrahmaninraahim!
Juknis dan TOR adalah nyawa kami. Kemanapun dua kertas yang dijilid itu harus terbawa.
Sesi pertama dimulai dengan reportase. Saya yang membuat modul dan kurikulum sekaligus TOR. Jujur itu membuat saya deg-degan, anak seusia kira-kira delapan sampai dua belas tahun mengertikah? Itu terbayar dengan kenyataan. Kenyataan yang menyatakan kalau anak sekarang memang jauh berbeda dengan anak dulu. Anak sekarang lebih berani di depan umum. Berbeda dengan anak dulu-atau setidaknya saya sebagai perwakilan generasi 90-an. Mereka terliha aktif, justru bapaknya terlihat kualahan. Mereka mewancarai mulai dari petani, guru, pensiuan hingga bapak tukang bakso. Tentu saja itu berkat materi modul saya. Apalagi contoh untuk sesi 1 memang sangat memukau. Begitukan?
Jargon panitia adalah “ Keep SMS!” kalimat itu menjadi keramat. Pemandu dan panitia harus selalu siap dengan HPnya. Kalau memungkinkan untuk menggetarkan HPnya hingga bisa menggetarkan seluruh tubuhnya. Kalau salah seorang lalai ketika di sms, maka omelan-omelan berbisa akan menggerogoti hati hingga membuat sebagai orang yang paling hina di dunia.
Acara kedua, Pementasan.
Suasana romantis dalam otak orang dewasa, lilin yang mengitari lapangan. Bergoyang dilambai angin. Rerumputan basah oleh tetes embun. Udara dingin menggelitik kulit. Bulan yang bersembunyi membiarkan malam hanya bersama bintang. Kensunyian yang jarang kita temui dan rasakan.
Suasana dingin bagi orang kedinginan. Dinginnya serasa menusuk ke bagian dalam kulit. Jaket harus terpasang di tubuh (untuk Andhika selamat menikmati kedinginan, orang baik memang lebih sering menderita ketimbang bahagia. Untuk Fatma, syukurilah anugerah yang menempel pada tubuhmu, diakui atau tidak itu menghangatkanmu. Taukan maksudku?). Kadang kalau saja bisa, ingin berjalan melayang. Tidak menapak lantai. Lantai menjadi salah satu sumber dingin paling berpengaruh.
Penampilan pertama, tim api. Keberadaan peserta yang sudah terkenal (artis) bisa jadi agak membuat kesepakatan secara tidak langsung di dalam kelompok kalau yang harus tampil si Fulan. Penampilan tim A, terasa cuma bertumpu pada satu pusat. Akhirnya yang lain hanya sekedar penghias penampilan si Fulan dengan sulapnya.
Penampilan kedua, tim air. Tim ini menampilkan hibridisasi yang menarik. Musikalitas biola yang baik, akting yang menjiwai, puisi anak-anak yang politis. Semuanya menjadi kesatuan yang bagi saya menarik. Memukau!
Penampilan ketiga, tim tanah. Tim ini memang kacau dalam aktingnya. Suaranya terlalu lirih hingga terdengar samar bagi penonton. Namun sisi baiknya apa yang mereka sampaikan membawa pesan positif. Bahwa mencuri itu mengambil yang bukan hakmu, dan itu dilarang!
Penampilan keempat, tim angin. Walau jumlahnya paling sedikit karena satu-satunya peserta laki-laki terpaksa harus si transfer. Dilema sebenarnya, tapi tidak tau harus berbuat yang lain. Wajah peserta laki-laki satu-satunya ini terlihat murung. Selalu memalingkan wajah dari kelompoknya (kita sempet berhusnudzon, karena dia sekolah di SD IT jadi sudah mengenal kaidah menjaga pandangan). Terlepas dari masalah itu. Tim angin terlihat lucu dan menggemaskan yang sepertinya mereka tidak menyadari kalau mereka melakukan itu.
Penampilan terakhir, tentu saja pertunjukkan akbar tahun ini. Semua penonton bersorak ramai. Penampilan dasyat dengan akting-akting kelas unggulan. Pagem panitia berjudul ‘Putri Salah Idola”.
Cerita secara garis besar adalah putri yang salah mengidolakan. Penampilan dibuka dengan adu akting antara mama terjahat di dunia (Pemeran Fatma) dan Putri salah idola (Pemeran Rara). Lampu dimatikan dan music orchestra mulai mengiringi. Adegan awal, Mama terjahat di dunia mencoba melarang anaknya untuk berangkat nonton pertunjukan CWC*SH. Putri salah idola tidak menghiraukan apapun petuah ibunya dan tetap berangkat. Adegan berikutnya CWC*SH(saya/Morgan, Andhika/Rafael,Wahyu/Bisma,Fatma/Nunung) yang tampil. Di tengah pertunjukan yang sebanarnya baru bergerak sebenatar harus berakhir, putri salah idola pingsan (kedinian) karena di apit oleh Fans Anarkis (Ana dan Novi ). Arwah putri salah idola mulai melakukan kontemplasi akan kekeliruannya tentang hakikat idola. Putri salah idola siuman (lagi-lagi kedinian). Padahal arwah belum selesai. Di belakang panggung saya dan pemeran lain masih merasa belum puas tampil, dasarnya kita memang banci tampil. Kami memaksa untuk tampil lagi. Kami semua pemain tampil di depan dan jingkrak-jingkrakan syar’i (biar tidak diprotes). Lagi-lagi putri salah idola melakukan tindakan konyol dengan membuka sesi ESQ untuk peserta. Berarti siapakah gerangan yang paling mengacaukan?
Terimakasih sebesar-besarnya tentu saja di sandangkan kepada Imaduddin Gutawa Ochestra. Serta Ashif Subianto untuk tata panggung dan lighting.
Kita menutup hari pertama dengan lari ke lapangan. Duduk menyatu dengan tikar beralaskan rumput basah. Sudah tidak kuat membendung untuk segera menatap bintang. Menikmati malam bersama. Bisa dibilang malam itu jadi rapat CWC dengan suasana teromantis. Kami mulai mencoba menarik garis bintang untuk membuat sebuah gugusan bintang. Apa ya…semacam ini yang akan selalu menjadi kenangan. Satu-satunya hal yang kita bawa dari masa lalu hingga masa lalu hanyalah kenangan.
Hari kedua dimulai, dingin masih saja mencubit semua sendi. Untungnya kasurnya tinggi menjulang dari lantai. Panitia mendapatkan porsi kasur yang tidak sesempit peserta.
Mendadak saya mengalami penyakit M versi lintas gender (red. Mencret). Takut akan mengganggu kinerja, saya menyakan ke Ana.
“Apa obat untuk M?” Ana membalasnya “Diapet”.
Dalam terjemahan otak saya, kata diapet adalah di dalam. Kata awal di dari kata diapet saya pikir imbuhan. Saya membuka kotak obat dan mengambil CTM. Tidak tau kenapa, tapi saya ingatnya CTM obat M. Saya konfirmasi ke Wahyu, dijawab benar. Saya minum obat itu….Ternyata salah! Katanya efeknya adalah saya akan merasa ngantuk berat. Ajaibnya sampai detik akhir saya memang mengantuk tapi tidak juga tertidur. Dasarnya saya adalah fans berat Inza, apapun penyakitnya ya Inza obatnya. Kalau bukan Inza tidak akan terlalu menyembuhkan.
Btw, agenda selanjutnya. Senam Pagi. Kali ini pemandu yang menentukan kemenangan bagi timnya. Pemandu yang cupu siap-siap saja kalah. Secara garis besar, tim Api kacau, tim Air melakukan pengulangan gerakan, tim tanah sekedar cukup, tim angin berantakan tak karuan. Sebenarnya waktu saya disuruh komentar saya ingin bilang begitu. Untung saya mengingat mereka adalah anak-anak. Apa yang mereka dengar bisa menjadi labeling bagi masa depan mereka.
Acara berikutnya kembali di tangan Fatma. Fatma memang paling multitalen. Fatma bertugas sebagai pengganti pemateri yang tidak bisa hadir. Bigitulah keadilan Allah, yang pundaknya lebar memang harus menanggung beban yang lebar juga (ngerti maksudku?).
Kami panitia bisa sedikit mengambil jeda setelah outbond dimulai. Kita benar-benar lepas tangan untuk acara ini. Serombongan pasukan yang di bawa Helmi (bener-bener lama tak jumpa mi) mengambil alih tugas kami untuk sementara waktu. Panitia sibuk sesi pemotretan. Sampai lupa bahwa kita juga harus mendokumentasikan acara outbond-nya.
Terkahir,Pohon harapan. Peserta diminta untuk mebuat pohon harapan dalam waktu yang ditentukan. Peserta kemudian diminta menampilkan pohon harapannya ke depan. Salah satu peserta menyentil semuanya dengan mengatakan bahwa untuk mebuat pohon harapan saja sudah sangat sulit, padahal kita hanya menuliskan. Pastinya untuk mewujudkannya akan jauh lebih sulit lagi. Wah, Ganbatte ne!
Anak-anak memang kepolosan. Saya menyadari itu. Saya merasakan kalau anak-anak tempat luput. Tiga kali saya harus menguji sebarapa siapnya saya menjadi seorang ayah ke depannya. Ujian itu adalah ketika saya masuk kamar mandi, melihat segumpalan berak dan kuning air kencing yang luput diguyur. Saya dengan telaten mengguyur sekalipun dengan misuh-misuh. Kesimpulan, saya belum siap menjadi ayah karena saya belum siap mengguyur keluputan yang akan dibuat anakku nanti di kamar mandi.
JSC memang lahir. Hidup. Bermanfaat-bagi kami panitia dan bagi peserta. Bermatamorfosis bersama semangat CWC. Media TV local dan surat kabar harian local telah mengabadikan ini. JSC adalah pelecut semangat. Meyadarkan bahwa SDM sedikit tetap bisa menggigit. Hari itu kesuksesan memang teraih.
Kami meninggalkan acara dengan tawa dan lelah. Banyak saripati kehidupan anak-anak yang sanggup kita serap.
Kami pulang ditemani lelehan langit yang menangis. Gerimis. Di rumah saya masih sempat terbengong. Sepertinya hati, jiwa, semangat, dan pikiran masih saja tertinggal untuk JSC di Banyu Sumilir sana .
Detik Pelepasan
Kami memutuskan untuk membubarkan kepanitian di salah satu warung makan. Untuk Ridwan dan Wahyu ini jadi pertama kalinya. Untuk Ridwan, sungguh dusun nian hidupmu hingga harus mencontek pesananku (kebiasaan waktu ujian jangan dibawa di setiap aktivitas wan!). Apakah hidupmu hanya berlalu di Burjo?
JSC berakhir dengan segelas es krim yang dinikmati hingga adzan isaq di masjid depan warung makan. Kabar bahagianya Allah menggelontorkan rezekinya lagi untuk JSC. Allah yang Maha Pemurah memang tidak akan menelantarkan hamba-hambaNya yang keren-keren ini.
Banyak hal yang masih menjadi cacat dan catatan. Banyak hal yang yang menjadi pelajaran dan pengorbanan. Banyak hal yang telah berlalu dan tidak sungguh-sungguh berlalu. Ini masih awal. Keterlenaan akan kesuseksan hanya kesemuan belaka. Itu akan membonsai potensi diri kita. Kalau sekarang sudah bagus. Besok harus lebih bagus lagi. Islam mengatakan demikian. Sekarang hanya untuk batu loncatan untuk esok. Bersama lelehan terakhir es krim yang melumer di mulut. JSC resmi ditutup. Akan ada JSC yang tentu akan mengalami banyak perubahan lagi ke depannya. Selamat menantikan!
Nb: Saya baru menulisnya sekarang agar ada euphoria yang bisa kita rayakan setelah JSC jauh berlalu. Dan baru saya sadari ini sudah halaman ketujuh!
Btw, Andhika Whisnu akan mengibarkan bendera CWC di Merbabu lo, doakan kami pulang dengan selamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar