Jumat, 25 Desember 2009

Temanku Ku Sayang

Besok adalah hari ulang tahun sahabat karibku, Roni. Sahabat yang sejak kecil bermain, belajar dan berpetualang bersamaku. Walau dari dua keluarga yang berbeda. Aku yang hanya anak seorang tukang becak sedangakan Roni anak dari seorang polisi. Sama sekali tak membuat tembok pembatas diantara kami. Malah membuat hubungan kami saling melengkapi. Pernah suatu ketika Roni menunggu di depan gerbang sekolah hanya untuk menungguku yang memang selalu telat. Karena memang jarak sekolahku hampir 15 KM dan aku harus menempuhnya dengan naik sepeda. Alhasil Roni yang harusnya tak salah apa-apa harus kena hukuman hanya karena ingin menemaniku. Dan masih banyak lagi kawan cerita indahku bersama roni. Yang tak akan cukup hanya berakhir disebuah kertas.
***



Terik tak menghalangiku untuk mengayuh sepedahku. Menyusuri sungai brantas, di sekeliling kulihat para pengendara motor saling salip menyalip dengan pengendara mobil. Mereka seolah tak peduli dengan para pejalan kaki dan pengguna sepeda yang sedari tadi terus terpepet karena harus mengalah. Semakin ku kayuh sepedah semakin terasa berat karena aku harus melawan arah angin.
Butiran keringat mengucur deras dari sekujur tubuhku. Bau asem dari tubuhku sedikit demi sedikit mulai terhendus oleh hidungku. Sampai di Jalan Doho, aku menyetir sepedahku dengan sangat hati-hati. Jalan ini adalah pusat kota Kediri. Hampir 60% perdagangan bepusat di di sini. Tapi jangan sangka kalau para penjualnya adalah orang Kediri, karena dipastikan orang Kediri hanya menjadi penjaga toko saja. Sedangkan pemiliknya adalah orang-orang ketrunan tiongha. Miris kalau lihat pemandangan ini, manusia yang punya tanah kaya raya ini malah harus jadi babu di rumahnya sendiri.
Aku terus meluncur dengan sepedahku hingga akhirnya aku sampai pada tempat yang kutuju. Sebuah pasar loak. Pasar ini menjual berbagai macam barang bekas. Mulai dari alat-alat otomotif, perabot rumah tangga, buku bekas, hingga alat-alat yang tak jelas. Di pasar ini aku sering mengahabiskan waktu untuk mecari barang bekas yang dijual hampir ¼ dari harga barang baru.
***
Kuletakkan sepedah bututku di tempat yang aman. Sepeda yang banyak bagianya sudah tidak utuh lagi ini adalah warisan turun temurun dari kakekku. Jadi sepedah itu bisa di bilang sudah berusia hampir ¾ abad. Ku sandarkan sepadaku pada dinding tembok yang bertuliskan Kediri Bersinar Terang. Di sebelah sebuah beringin besar yang rantingnya bergelantungan. Salah satu hikmah yang bisa kupetik dari sepeda bututku adalah tak perlu repot-repot menguncinya dan takut kemalingan. Karena hanya maling yang super kere yang mau maling sepedahku.
Mataku mulai menerawang kiri dan kanan. Mencari pedagang yang menjual buku. Kakiku terus melangkah menyisiri setiap sudut pasar. Tapi hasilnya masih nihil. Yang kulihat hanya para pedagang alat-alat motor. Di tikungan depan aku mencoba untuk berbelok ke arah kiri. “Nah ini dia, akhirnya ketemu juga” seruku sambil seutas senyum penuh kemengan.
“ Cari apa mas?” tanya pedagang itu padaku.
“ Ehm cari buku La Tahzan pak. Ada pak?” jawabku sambil mengamati tumpukan buku-buku yang ada di depan ku.
“ Pak saya beli ini.” Tiba-tiba suara itu muncul dari belakang dan ketika mataku melihatya. aku hanya bisa menarik nafas panjang. Ternyata seorang pembeli yang ingin membeli buku yang hendak ku beli.
“ Wah mas belum beruntung nich”. Ujar penjual itu.
“ Iya kayaknya pak”. Komentar penjual itu membuat hatiku sedikit mendongkol.
Aku kembali memulai pencarian lagi.
Ku temukan satu lagi penjual buku loak.
Tanpa basi- basi aku langsung bertanya. “ Mas ada buku La tahzan gak? “
“ La tahzan itu buku apa mas?” penjual itu menjawab dengan penasaran.
“ La Tahzan itu bukunya Aidh Al Qarni itu lo pak, yang sampulnya tebal dan warnanya orange. Kira-kira tebalnya segini.” Tanganku mencoba memberikan clue pada bapaknya seberapa tebal buku itu.
Tapi sayang bapak itu tetap bertahan dengan ketidaktahuanya. Ya sudahlah aku memutuskan mencari di tempat lain saja.
Mungkin hari ini adalah hari sialku. Hampir semua penjual buku gak tau dengan buku itu dan seandainya tau pun pasti ia tidak menjualnya. Mungkin semua pembaca buku itu begitu sayang dengan buku itu. Hingga menjadi sebuah kesalahan besar kalau sampai membuangnya ke tangan para peanjual buku loak.
Dari ujung hingga ujung lagi sudah kutelusuri seisi pasar loak ini. Tapi aku tak berhasil mendapatkannya. Dalam keputus asaan aku merogoh dompet yang ada di sakuku. Uang yang ada di dompetku isinya sepulur ribu tiga, lima ribu empat, dan seribuan dua puluh. Uang yang susah payah aku dapatkan dari menjual 2 ayamku.
“ Cukup kalau membeli buku baru”. Otakku bekerja untuk mengkalkulasi.
“ Tapi…. “. Aku masih bingung karena uang itu aku dapatkan dengan susah payah.
Roni yang tersenyum tiba-tiba berkelebat dalam bayanganku. Aku mengutuki diriku sendiri yang punya niatan untuk jadi orang pelit. Niatku kembali mebaja. Seolah badai pun takkan mampu menghadang niatanku ini.
Perjalan kulanjutkan ke sebauh toko buku yang terkenal murah. Kali ini bukan toko buku loak, tapi buku baru.
“ Mas beli buku La Tahzan”
Penjualnya menjawab hanya dengan anggukan dan seutas senyum. Tak berselang lama penjual itu datang dengan buku tebal yang kucari dengan susah payah sedari tadi.
“ Harganya enam puluh ribu mas”
“ Ha…gak bisa kurang mbak.” Pintaku sambil memelas.
“ Gak bisa mas, ini harga pas.” Penjual itu menjawab dengan yakin tanpa keraguan sedikitpun.
“ Yaudah mbak”.
Setelah kuberikan uangku. Penjual itu memasukkan buku La Tahzan itu ke dalam tas kresek warna hitam.

****




Langakah kakiku kupercepat untuk mengambil sepedah. Waktu sudah semakin malam. Aku ambil sepedahku yang tersandar. Kemudian aku berancang-ancang laksana Valentino Rossi bersiap-siap memulai start. Aku menhitung sampai tiga. Yak, sepedahku ku kayuh dengan kecepatan penuh. Wus…wus…wus…sepedahku seperti melayang karena dorongan yang begitu kuat dari angin.
Di jembatan lama sungai brantas kecepatanku sama sekali tidak berkurang. Jalan jembatan yang sempit sama sekali tak kupedulikan. Aku pikir mumpung jalannya sepi.Tin…tin…tin...tiba-tiba suara bel keras dari sebuah mobil membuat kosentrasi buyar berantakan. Setir sepedahku bergoyang tak karuan. Aku sudah mencoba mengerem tapi sama sekali tak berpengaruh. Tubuhku mulai ikut goyah dan tak mampu ku kendalikan lagi.
“Bruuuuuuuuk…” aku jatuh di pinggir jembatan. Dan buku yang susah ku beli telempar di ujung jembatan. Aku berusaha meraihnya. Aku mengankat sepeda yang menimpa kakiku. Aku berdiri yang kurang tegak dan mencoba melangkah untuk mengambil buku itu. Langkahku semakin rapuh. Saat aku begitu dekat dengan buku itu. Aku tak sanggup lagi menahan sakit dikakiku. Dan bruuuk!!sekali lagi aku terjatuh. Tanganku yang lemas menyenggol buku itu. Buku itu jatuh bebas kesungai. Arus sungai membawanya hanyut. Seperti tak kasihan dengan keadaanku.
Sambil sesenggukan aku berdiri lagi. Aku menahan kuat agar air mataku tak menetes. Kuangakat sepedahku. Setir sepedahku menghadap terbalik. Pedal sepedahku copot satu. Tak ada pilihan lagi selain menuntun sepadahku hingga sampai rumah. Kira – kira masih 10Km lagi.Sungguh aku tak kuat lagi menahan tangis dan air mataku meleleh juga.

****



Sesampainya di rumah aku tak nafsu untuk berbicara sepatah katapun. Aku juga sama sekali tidak punya niatan untuk meladeni omelan ibuku yang tau sepedahku rusak parah. Aku langsung merebahkan diriku dalam ranjang tanpa kasur di kamarku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku biarkan diriku larut dalam kedihan.
Sekarang Cuma ada aku dan kesedihanku. Aku bangkit dan aku menuju ke rak buku. Aku ambil buku kosong. Aku curahkan semuanya pada buku itu . Aku sering melakukan ini. Aku sadar hanya Alloh yang mau menerima keluhanku. Dan dengan buku aku salurkan kesedihanku itu. Aku menulis dan terus menulis. Aku lupa waktu. aku hanya terus menulis.
Jam dinding menujukkan pukul 03.00 WIB. Aku menghentikan tulisanku karena sudah tak ada lagi halaman yang kosong. Buku 32 halaman itu penuh tak bersisa. 14 halaman pertama berisi puisi, 20 halaman kedua beris ucapan terima kasih dengan cerita persahabatan mereka dan 8 halaman terakhir berisi penuh permohonan maaf dalam berbagai versi penulisan. Buku ini akan ku berikan pada Roni, pengganti buku La Tahzan yang entah sekarang sudah sampai mana.

****



“ Hari ini aku tak boleh telat” tekadku dalam hati.
Pukul 04.00 WIB. Setelah aku membungkus buku yang hendak kuberikan pada Roni dengan selembar koran. Aku langsung mandi dan bersiap untuk berangkat. Tanpa pamit aku menyahut sepeda adikku. Entahlah nanti bagaiman cara adikku nanti berangakat sekolah. Yang penting aku tidak boleh terlambat hari ini. Aku tidak merasa sakit atau ngantuk karena tak tidur sedetikpun sejak tadi malam. Seolah-olah ada kekuatan yang membuatku begitu kuat laur biasa. Inilah kawan kekuatan tekad!
Sekolah masih begiu sepi ketika aku datang. Pak satpam dengan jahil mengejekku.” Wah ajaib. Mr telat sekarang datang pertama ke sekolah. Hebat.gak lagi kerasukan kan?”. Mulutku nyengir mendengar gurauan garing dari satpam itu.
Aku langsung masuk ke kelas, menaruh tasku pada bangku. Kemudian aku menuju ke depan lagi. Takut kalau roni menugguku di depan.
Cukup lama aku menunggu. Akhirnya sosok yang kutunggu datang juga. Aku melambaikan tangan untuk memberitahukan keberadaanku. Roni membalasnya dengan sedikit tidak percaya kalau itu aku.
“ Ada apa gerangan nich sob, kok tumben-tubembenya berangkat pagi?” pertanyaan yang akan ditanyakan oleh siapapun yang terbiasa dengan ketelatanku.
“ Sebenarnya Ron. Kalau aku mau, walau naik sepedah setiap hari aku bisa datang tepat waktu.Tapi itu gak mungkin Ron. aku harus membantu ibuku memasak dagangannya dulu baru bisa berangkat. Tapi untuk hari ini spesial ron”.
“ La emangnya kenapa? “
“ sudah ikut saja”. Tanpa perstujuannya aku menyeretnya ke dalam kelas yang waktu itu masih begitu sepi tanpa penghuni. Aku ambil kado dari dari tasku. Sekali lagi roni ku seret menuju taman sekolah.
Tak kubiarkan roni mengalami kebingungan. Aku kemudian menjelaskan “ gini ron, selamat ulang tahun ya!” sambil kuberikan kado untuknya.
Roni membuka kadoku. Roni membuaka lembar demi lembar dari bukuku. Roni kemudian memelukku. Erat sekali. Dan roni mebisikan sesuatu ke telingaku “ TERIMA KASIH FIKRI”

****
1 Desember 2009
Di kamar, 10.15. Yoyakarta



Entahlah mungkin ini karya yang biasa.
Tapi aku menulis ini untuk berusaha menjadi lebih baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar