Rabu, 25 Mei 2011

Pikiran Kusut

Namamu paling sering kusebut di blogku. Terlalu sering aku bergulat dengan rasa rindu, jengkel, kagum tentangmu. Ada banyak rasa yang lebih tak terucap, itu semata belum ada penguraian yang lebih tepat untuk rasa itu.
Dulu…dulu sekali-kenangan 5 tahun yang lalu bagiku sudah seperti hitungan berabad-, aku dan kamu bersahabat dalam banyak ragam yang begitu berbeda. Aku suka biologi, kamu membecinya. Bagimu biologi cuma kutukan untuk berdiam dengan banyak hafalan. Tapi…ajaibnya kamu selalu mewakili sekolahan untuk olimpiade hingga ke propinsi. Meninggalkan aku sebagai penerima kabar bahagia akan itu. Aku yang mellow, childis, egois, arogan selalu berimbang pada kedewasaanmu. Selalu saja aku bisa menyandarkan masalahku, lelahku, jengkelku padamu. Walau hanya komentar datar yang teucap dari mulutmu. Itu lebih dari penenang yang manjur. Disaat lingkungan menganggapku manusia maya, kamu mendekat kesampingku. Kamu membawaku untuk menelan rasa pengucilan itu. Aku masih ingat kamu pernah begitu gigih membantuku menerbangkan balon udara. Sekali nyaris membakar rumah teman, sekali terbakar di depan kelas karena menyenggol tanganmu hingga aku marah besar untuk kecerobohanmu itu. Tapi aku tau, kamu meluangkan waktumu untuk membantuku lebih dari yang lain.
Sekarang ada jembatan antara aku dan kamu. Ruang, waktu, dan rasa kita sudah terpisah. Aku dan kamu terpisah pada sisi yang berlainan. Bagimu mudah untuk mencari penggantiku. Satu, dua, tiga, empat, lima, seratus, seribu, mudah saja bagimu untuk mendapatkannya. Bagiku itu hal sulit yang terlalu rumit. Begitulah aku yang masih berkutat pada masalah social. Masalah membuka diri, masalah menerima orang lain, masalah berjuang untuk diterima orang lain.
Kehilangan persahabatan denganmu memang terlalu berat bagiku. Bagimu? Bayangkan ketika kamu selama ini menggendong sebuah pulpen di sakumu. Ketika pulpen itu lenyap. Kamu hanya akan merasa tak ada yang hilang. Semua baik-baik saja. Itu karena kamu tak pernah mengeluarkan energy untuk mempertahankan pulpen itu tetap di saku. Sekarang bayangkan ketika setiap hari kamu harus menggendong seserorang dipunggumu. Ada energy besar yang kamu keluarkan agar kamu terus kuat mempertahankan dia dalam gendonganmu. Saat gendongan itu terlepas, betapa terasa kehilangan itu. Sekarangpun demikian. Aku sungguh merasa setelah sekian lama menggendong persahabatan kita. semua itu melorot hilang ketika dengan sadar kamu menjauhikutanpa alasan yang jelas. Lenyap. Pedulikah kamu?
Sayangnya sekarang kamu begitu menjauh. Aku ragu diotakmu pernah terkilas wajahku, namaku walau hanya satu kali saja. Meski hanya sepersekian detik.
Aku mengeluhkanmu setiap hari pada banyak orang. Yang menyiksaku, aku mulai berusaha membentuk orang disekitarku untuk menjadi kamu. Bim…Sala…Bim…tidak ada yang terjadi. Kamu tetaplah kamu. Tak akan ada kamu yang lain yang menggantikanmu. Tidak akan pernah.
Kita memang terpisah oleh jembatan. Tapi semua jembatan selalu sama dimanapun itu, selalu terhubung antara kutubnya. Kini aku akan menunggumu berjalan menyebrangi jembatan menuju arah sisiku lagi. Aku mengunggumu….menunggu…menung…menu…me…hingga kata itu lenyap!
Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar