Jumat, 25 November 2011

Wanita Sebagai Keajaiban Tuhan


Jika ada satu dorama yang harus saya sebut ketika pertama kali dikaitkan dengan cinta sejati, maka saya menjawab :Jin. Tokoh wanita dorama itu yang bernama Saki hadir dengan cinta sejatinya yang tulus. Cinta sejati memang tak pernah tepat jika dieratkan dengan cengeng. Bukan pula bentuk menyerah yang tak berdaya. Cinta bukan barang obral yang ditarik sana dan jika tak berkenan dilempar balik. Cinta sejati laksana nabi yang menahan siksaan demi pencerahan umatnya. Tak pernah berbaharap berbalas. Hanya bergerak demi cinta pada orang yang dicinta.

Saki tak pernah meminta Jin untuk membalas cintanya. Tak juga Saki mengiba pada Jin tentang pengorbanannya. Di benak Saki, dia hanya ingin mencinta. Melihat Jin bahagia adalah kebahagiannya juga. Melihat Jin tersenyum adalah senyumnya juga. Satu hal yang pasti Saki lakukan adalah terus mencinta.


Saki tau Jin adalah manusia masa depan yang memiliki kehidupan lebih dulu sebelumnya lengkap dengan pasangan hidupnya. Terlempar ke masa lalu hanya bentuk sebuah kesalahan dimensi dan rahasia Tuhan. Dan Saki hanya muncul sebagai pecinta yang terlambat. Pada orang yang tidak tepat. Hanya mampu puas dengan posisinya dibalik punggung cinta wanita di lain tempat. Hanya mampu memandang dibalik kaca pembatas antara kehidupan masa lalu dan masa depan.

Dari sekian banyak keajaiban Tuhan yang saat ini masih bisa kita rasakan adalah perasaan wanita. Begitu rumit dijabarkan. Bukan perkara sepele untuk dirumuskan. Namun kita bersepakat bahwa wanita itu ajaib karena kemurnian perasaanya.

Seorang ibu mampu menahan sakit-yang bahkan membayangkan pun saya tidak pernah- saat tubuhnya harus terbelah hingga sepuluh senti saat prosesi kelahiran. Ketika sebuah pilihan sulit harus hadir yang memaksa untuk memilih dirinya sendiri atau anaknya yang harus terus hidup. Hampir bisa dipastikan Sembilan dari sepuluh wanita pada posisi itu, akan memilih menumbalkan hidupnya untuk kehidupan anaknya. Saat nyawanya merenggang yang menyisakan batas tipis antara terus hidup atau mati. Wanita sungguh berpikir irasional tentang kehidupan dengan mengatakan “ Biarkan aku mati, asalkan buah hatiku bisa hidup!”

Saya teringat salah seorang ibu dosen saya yang pernah bercerita tentang keputusannya untuk tidak menikah setelah kepergian kekasihnya sampai detik ini.


“Itukan karena belum nemu yang lain aja.”Teman saya berkomentar.


“Itu karena ibunya mencintai dengan berlebihanya aja, jadi akibatnya malah menutup diri secara berlebihan gitu.” kata  teman yang lain.


“Tunggu sebentar. Apa yang kalian lakukan adalah berpikir dengan cara laki-laki berpikir. Dengan logika. Misteri wanita adalah perasaanya. Cara berpikir wanita selalu menjadi antithesis laki-laki, yang anehnya justru menjadi pelengkap. “ komentar saya sekaligus kesimpulan tentang wanita dan cara berpikirnya yang tulus.

Jika memang kita hanya mengandalkan kemampuan otak. Bukankah tidak logis hanya karena kepergian kekasih harus sebegitu berkobannya. Membunuh tunas cintanya untuk orang lain. Tapi lagi-lagi harus mengatakan: itulah wanita!

Cinta sejati memang tak pernah terdoktrin pada satu satuan angka. Bisa jadi bukan pada yang pertama, atau yang kedua, atau yang ketiga, atau yang setelah kesekian kalinya. Cinta juga tidak pernah dibatasi oleh ruang dan waktu yang terpisah. Kutub dengan kutub tak pernah menjarakkan hubungan antara cinta dengan cinta. Masa lampau dan masa sekarang hanya angin lalu saja saat dikatakan sebagai palung pemisah. Seorang pencinta sejati bisa membawa cintanya mati bersamanya dalam penantian. Cinta sejati juga hanya bergurau tentang perbedaan indentitas rupa. Seperti panas dan hujan bagi tanaman. Berbeda namun sesungguhnya saling memeluk.

Pada akhirnya saya harus mengatakan pada wanita yang menyimpan cintanya hanya untuk dirinya sendiri, yang tidak pernah meminta balasan, yang menunggu hingga usangnya batas waktu, yang mencinta tanpa mengenal identitas. Bahwa kalian adalah keajabian Tuhan yang Sejati!

Dorama=drama jepang
10:27 PM, 23112011
PS: Special thanks to Someone with first word is A, who managed to break down my writer's block , and even contributed a few fabulous paragraphs. You're right. This is our first mutual project.

Menyibak Kejutan Lewat Ulang Tahun



Balairung mendung di tengah sore yang rapuh. Ada kecemasan dan keraguan yang masih harus saya abaikan-setidaknya itu jadi usaha mengetasinya, walaupun sekedar penundaan-. Beberapa orang lalu lalang. Banyak alasan keberadaan di sana yang tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain.


Akhirnya hari itu adalah perayaan ulang tahun buat Ana dan Novi. Seperti sebuah tradisi yang harus dilakukan di CWC. Ana menerima kue kami dengan sedikit terkejut-atau dipaksakan terkejut-. Saya mengamati sekilas. Ada yang istimewa. Dan selalu mengesankan setiap ada serimonial ulang tahun. Kalau kita break down kejadian yang terjadi sebagai alur yang urut: kejutan, terkejut, mata membelalak, senyum sumringah yang lepas, kue yang dipotong, memejamkan mata saat berdoa, lalu membagikan kuenya dengan takaran kedekatan.


Sederhana memang. Namun hampir setiap perayaan selalu membuat kita terkejut. Bahkan kadang saat segala sesuatunya sudah kita ketahui, kita tetap saja terpaksa terkejut. Sudah se-linier itukah hidup kita? Hingga hal sepele bisa mengejutkan kita.


Hidup kita memang linier. Mau jujur mengakui atau tidak. Kita terjebak pada rutinitas yang sama dan berulang setiap harinya. Kita masih bisa waras dan sanggup membedakan hari hanya karena jadwal kuliah kita yang berbeda, tayangan televisi yang berbeda, atau penanda tanggal di telepon genggam yang menunjukkan angka tertentu.


Bayangkan jika itu harus terjadi selama umur hidup kita? Lantas parahnya kita menganggap itu biasa karena terbiasa. Bagi saya yang sedikit bermasalah dengan rutinitas selalu berjuang untuk membuat berbeda segala sesuatunya. Seperti Rasul yang mengambil jalan berbeda antara berangkat dan pulang dari masjid. Salah satunya dengan memberi gizi berbeda pada masing – masing indera saya. Bacaan yang berbeda, diskusi yang berbeda, tatap muka dengan orang yang berbeda, dan tempat dituju harus selalu ada yang berbeda.


Perayaan ulang tahun seolah menjadi stimulan yang mudah saat kejutan ulang tahun. Ada yang dibangkitkan dalam hidup kita yaitu perasaan tidak biasa. Sesuatu yang jarang kita dapatkan, yang mungkin hanya setahun sekali kita dapatkan. Dan itu membuatnya sakral. Selama ini kita tidak mengiba, tapi kita selalu berharap ada yang merayakannya.


Lalu tentang ekspresi yang muncul bagi saya adalah ekspresi dalam diri yang sudah menyibak segala topeng. Ungkapan tak bersyarat yang luhur. Senyum yang mencuat, mata yang membelalak terkejut, hati yang tersentuh, hingga mungkin saja air mata yang luruh.
Seorang sufi pernah mengatakan jika kita melakukan dengan hati, maka hati jugalah yang akan meresponnya. Seperti permainan gayung bersambut. Kebahagiannya yang terjadi saat prosesi ulang tahun menjerat semuanya untuk merasakan aura kebahagiaan yang sama.


Ada harapan sekaligus kecemasan. Pergantian umur seolah seperti berada di tapal persimpangan tiga elemen waktu: masa kemarin, masa kini, dan masa esok. Masa kemarin dengan banyak kenangan yang tergores yang datang dan menghilang. Masa kini dengan ancang-ancang. Masa esok dengan segala tantangan yang akan kita lalui. Saya mengibaratkan ketiga elemen waktu ini sebagai sebuah pengembara yang hendak mengembara. Kemarin sebagai persiapan. Sekarang sebagai jeda. Esok sebagai ketidakpastian jalan apa yang harus dilalui.


Salamat ulang tahun Novi dan Ana. Percayalah apa yang saya bicarakan tidak hanya bisa muncul dengan perayaan mewah, kue besar, jumlah tamu yang banyak. Bahkan sepotong donatpun akan membuat kesan yang sama atau lebih baik jika dilumeri dengan cinta.


24112011, 7:59 AM
Bangun kesiangan,
yang memberi kesempatan saya untuk membolos kuliah.
Alhamdulillah.


Letupan Kejutan, Kejutan Letupan

Penulis menjadi pekerjaan yang mengumpulkan serangkaian ide yang dicoba dibuat sekreatif mungkin dalam sebuah cerita. Terlepas bahwa itu hanya imajinasi belaka atau kondisi nyata yang dituang ulang. Tidak dipungkiri bila penulis memiliki keeratan hubungan yang begitu personal dengan pembaca melalui tulisannya. Seolah pembaca diajak masuk ke cerita yang dibuat penulis.


Pada asal muasalnya tidak ada yang sungguh-sungguh baru di bawah terik matahari. Kita hanya sanggup membuat sesuatu yang sama terlihat seperti baru. Kalau kita berbicara tentang cerita cinta misalnya, apa yang membedakan cerita cinta yang ditulis oleh Dewi Lestari dengan Habiburrahman. Sama-sama berbicara cinta. Tapi jelas berbeda. Pada dasarnya satu ide jika ditanam di kepala yang berbeda akan tumbuh dan berkembang menjadi dua cerita yang berbeda. Jadi cara yang paling rasional  membuat cerita kita berbeda adalah dengan membuatnya terlihat berbeda!


Bayangkan jika kalian setiap hari hanya makan nasi, tempe, dan sedikit sayur. Besoknya begitu, lusa juga begitu, bulan berikuntnya sama, tahun berikutnya tidak berbeda, sampai mati juga sama. Apa yang kalian rasakan? Yang jelas kalian akan sangat hafal rutinitas itu diluar kepala. Dan mungkin saja lama-kelamaan nasi, tempe, dan sedikit sayur menjadi hal yang kalian paling dihindari. Bandingkan dengan kalian setiap hari makan nasi, tempe, dan sedikit sayur tapi dengan variasi yang tidak pernah benar-benar sama. Hari ini bakwan tempe, besok kering tempe, lusa sambel tempe, bulan depan burger tempe, tahun depan saus tempe. Meski menu sama,tapi perasaan terhadap menu tersebut berbeda.


Begitu juga dengan cerita. Salah satu yang bisa kita lakukan sebagai penulis agar tulisan kita menjadi sesuatu yang terlihat baru dan tidak klise adalah membuatnya menjadi berbeda. Bukan sesuatu yang umum. Caranya adalah dengan membuatnya tidak mudah ditebak, mengecewakan pembaca karena diakali oleh cerita kita, dan membuat pembaca gemas sebelum benar-benar selesai membaca cerita kita.


Cara pertama adalah membuat pembaca menjadi candu dengan cerita kita karena penasaran. Kita memberikan sedikit pemantik yang meransang mereka menjadi ketagihan dan penasaran. Setelah ketagihan kita sebagai penulis dengan seenaknya hanya memberikan sedikit demi sedikit untuk mengobati kencanduan dan rasa penasaran mereka. Hal yang mesti diperhatikan untuk melakukan cara ini adalah cerdas menempatkan bagian-bagian perangsang itu pada alur cerita kita. Jangan sampai apa yang kita taruh itu justru akan merusak keseluruhan isi cerita!


Cara kedua dengan menyembunyikan hal-hal penting yang menjadi kata kunci keseluruhan semua cerita. Pembaca biasanya merasa ingin segera mengakhiri membaca kalau merasa sudah menemukan maksud yang ingin disampaikan penulis tanpa harus membacanya hingga akhir. Maka dengan menyembunyikannya, akan membantu cerita kita tidak ditelantarkan di tengah jalan karena ketebak.
Cara ketiga dengan membuat jebakan pada cerita kita. Ini mungkin tidak mudah-dibutuhkan banyak pengetahuan, pengalaman, dan riset yang bagus-. Kenyataannya pembaca selalu memposisikan dirinya sebagai penebak dalam membaca. Mereka ingin menebak akhir cerita, bahkan saat mebaca awal kalimat yang kita buat. Dalam membuat jebakan sangat mungkin kita yang terjebak sendiri karena membuat jebakan yang tidak rasional. Ketidak rasionalan akan meng-harakiri cerita kita sendiri. Pembaca akan merasa cerita tidak masuk akal, ini justru lebih menghancurkan cerita kita dan kredibilitas kepengarangan kita sebagai penulis karena kita terlihat bodoh! Sudah saatnya kita menyadarkan diri kita untuk berhenti menganggap bahwa pembaca itu bodoh, karena mereka memang tidak demikian.


Terakhir, Sebagus apapun maneuver yang kita buat, kalau tidak didukung oleh alasan yang kuat dan proses perubahan alamiah dalam cerita, pembaca juga akan dengan sendirinya meninggalkan cerita kita tergeletak tak bermakna!

Selasa, 01 November 2011

Unique

Kita manusia tercipta dengan kemisterian. Sebut saja hal misteri yang kita kandung adalah gen. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar kita lihat wujudnya, tapi kita bisa melihat ekspresinya. Kita berkulit putih atau hitam, berambu lurus atau keriting, berbulu lebat atau tidak, dsb.
Kita mungkin sering terjebak pada feneotipe dari apa yang kita lihat. Kita hanya melihat sekilas. Tanpa perenungan. Tanpa harus mengulik lebih dalam lagi kebenaran atau kebohongannya langsung menyusun sebuah premis. Tanpa pernah menunggu sejanak untuk memastikan. Adilkah yang demikian?  Terlepas dari itu, ada beberapa hal yang kadang tidak selaras dengan pikiran saya. Apa yang saya lihat menjadi lelucon karena sebelumnya saya sudah menjebak otak saya pada premis presepsi tertentu.
Pada waktu yang tidak jelas. Saya seperti biasa harus membayar setelah sekian lama duduk di kursi warnet. Seperti biasa juga, saya tetap akan bertanya harus membayar berapa. Walaupun saya tau seharusnya membayar berapa dari computer yang saya pakai. Dan saya tergelak ketika mas penjaga warnetnya yang kurus, putih dan tidak terlalu tinggi  punya suara yang luar biasa nge-bass. “Dua ribu lima ratus mas.” Saya seolah sedang mendengar Beby Romeo yang menjawab. Geli rasanya. Masnya yang awalnya sunyi di balik meja. Terlihat biasa seperti pria pada umumnya. Berubah menjadi sosok yang berbeda-setidaknya bagi saya.
Hanya selang beberapa jam setelah kejadian di warnet. Saya pergi untuk menemui seorang dosen bersama seorang teman. Dosennya sedang dalam langkah terburu-buru, terpaksa kami mengobrol sambil berjalan. Ketika dosen saya berjajar dengan teman saya, mendadak saya merasa harus menetralkan kondisi.
Entah teman saya yang terlalu tinggi atau dosennya yang-maaf- terlalu pendek. Ketika dua sosok itu bertemu yang terjadi adalah proporsi tinggi yang begitu jomplang. Untuk ukuran saya yang memiliki tinggi rata-rata, teman saya memang tergolong tinggi. Jika dijajarkan dengannya saya kurang lebih saya hanya sedagu. Sedangkan dosennya mungkin untuk produk manusia keluaran era 60-an, dosen saya tidak termasuk ukuran pendek. Tapi untuk produk manusia keluaran era 90-an, dosen saya termasuk jauh dari tinggi rata-rata. Kalau saya dan dosen saya dijajarkan. Dosen saya hanya setinggi dagu saya. Kesimpulannya kalau dosen dan teman saya dijajarkan., dosen saya cuma setengah tinggi teman saya! Saya dengan sekuat tenaga mencoba menggeser posisi teman saya agar tidak tepat berjajaran dengan dosen saya. Demi menjaga wibawa dosen saya, yang mungkin akan memancing tawa mahasiswa yang melihat fenomena itu. Lucu!
Entah beberapa saat yang lalu. Saya di salah satu tempat makan melihat seorang pelayan wanita. Biasa memang. Disetiap tempat makan pasti ada pelayan. Tapi pelayan yang ini berbeda. Pelayannya benar-benar cantik. Di balik kaca yang terang, saya terus mengamatinya. Agar pendapat saya tidak cenderung subjektivitas semata. Saya bertanya pada teman saya. Dia mengangguk menyetujui pendapat saya. Apakah tidak ada yang salah dengan keadaan ini? Apakah pekerjaannya layak untuk seorang yang secantik itu? tidakkah ada model agency yang melihat potensi itu? Saya mengumbar pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya bermuara pada satu pendapat bulat, “ Mbaknya nggak cocok jadi pelayan. Terlalu cantik!”. Pada akhirnya tampilan fisik dalam presepsi wajar menurut seorang manusia akan menentukan kecocokan dengan pekerjaan.
Keesokannya, saya harus mengobrol dengan seorang pemuda di kursi sebelah saya saat duduk di Trans Jogja untuk membunuh waktu. Secara penampakan fisik pemuda disamping saya tinggi, besar, sedikit botak, berambut cepak. Sedikit banyak kalau melihat postur tubunya cocok kalau disamakan dengan postur tubuh atlit. Tapi lagi-lagi saya terkejut, ketika tengah berbicara pemuda tersebut sungguh terlalu sopan. Setiap kata-kata yang keluar hampir selalu menggunakan kalimat baku. Padahal mungkin kita seumuran, tapi saya sampai menggunakan kata “Saya” untuk menyeimbangi pemuda tersebut yang memanggil saya dengan sapaan “Anda”.
Mungkin hanya empat kisah yang mampu saya ingat untuk dituliskan. Tapi  tidak benar-benar empat dan tidak akan berhenti pada empat. Hanya belum bertambah. Pasti akan masih banyak lagi yang satu demi satu menjejal otak saya.
Sedikit banyak saya jadi merenungi bahwa ada baiknya kita berhenti untuk mengambil kesimpulan hanya pada pandangan sekilas atau pendengaran sekelabat. Lebih banyak yang harus kita lakukan sebelum mengambil kesimpulan. Apalagi jika yang menuntut kita untuk memutuskan benar dan salah. Saya setidaknya sedang mencoba itu!
Yogyakarta, 1 Nopember 2011