Sabtu, 29 Oktober 2011

Rumah (Ber)Cahaya

Pernahkah kita merasa bahwa rumah memang benar sebuah bagian termanis dalam hidup kita? Sebagai tempat belabuh yang menampung segala lelah, resah, dan gelisah? Merindukannya? Bukan hanya secara bangunan fisik, tapi dari setiap elemen yang ada di sana. Dan sekarang saya rindu rumah kedua saya, Rumcay. Rindu pada mangga, rambutan, dan jambu yang jatuh berkorban untuk memasok vitamin pada penghuninya. Pada kelakukan yang kadang suka bikin jengkel para penghuninya. Pada kamar mandi yang sering bocor, hingga lumutnya. kamar kecil yang tidak pernah sungguh-sungguh muat menampung semua barangmu. Pada jemuran di samping rumah yang layak direnovasi. Pada kasur yang menghampar. Pada banyak hal! Intinya rindu banget dengan rumah kedua saya, RUMCAY nan elok permai!


Dulu banget dengan berat hati saya menerima tawaran Mas Pam. Entah karena masalah umur yang terpaut, entah karena masalah jurusan yang berbeda, entah masalah apalagi yang membuat saya berfikir ulang menerima tawaran itu. Namun, pada akhirnya saya mengalah pada kondisi. Bahwa saya paling sulit mencari kos-kosan yang cocok. Satu-satunya alternatif ya dengan menerima tawaran itu atau jadi gelandangan.


Penghuninya berangsur-angsur terkumpul. Secara urut menempati Rumcay adalah saya, Mas Prima, Mas Pam, Mas Ade, Mas Ilham, dan penghuni pengganggu Mas Iim.


Tanpa saya sadari, ada sekian banyak orang terkenal mampir ke Rumcay mulai dari Teh Imun, Mas Boim Lebon, dan lain-lain. Ada sekian ustadz yang pernah bertandang kesana untuk memberikan siraman ruhani, mulai dari Ustadz Awan, Ustadz Satori, dan lain-lain. Betapa berkahnya bukan?
Tanpa saya sadari, Rumcay menjadi tempat penghuninya begelut dengan skripsinya. Rumcay saksi penderitaan Mas Pam dengan penelitiannya yang jlimet, Mas Ade dan Mas Ilham dengan rasa malasnya, juga Mas Prima dan Mas Iim. Setelah saya akumulasi ada lima skrispsi dan satu thesis yang lahir di Rumcay. Sungguh saya baru sadar!


Tanpa saya sadari, di Rumcay saya menghabiskan dua tahun masa hidup yang telah saya jalani. Menjalani berbagai macam problematika hidup sebagai mahasiswa. Dulu saya berfikir, cukup satu tahun di Rumcay. Tidak ada perpanjangan lagi. Saya berfikir, setelah satu tahun saya mau nge-kos di somewhere, atau ngontrak di lain tempat, atau saya hidup bahagia dengan istri saya (nikah muda! Serius itu dulu masuk daftar imajinasi berlebihan saya). Ternyata dua tahun bukanlah waktu yang lama. Dua tahun juga bukan waktu yang kosong. Dua tahun bersama Rumcay menjadi masa paling berkesan dalam hidup saya.


Kangen TV rumcay yang semutan-yang suaranya hanya bermodal pengeras suara ala kadarnya. Sebenarnya TV menjadi salah satu pemicu kejengkelan paling ampuh. Ada lima kepala yang berbeda membuat mustahil untuk selalu suka dengan progam TV yang sama. Perbedaan itu yang suka muncul dan tersulut begitu saja. Tapi kengen yang begituan.


Kangen titip atau dititipi makan. Kadang memang resek banget kalau cuma karena alasan malas, saya harus membelikan makan penghuni yang lain. Bukan berat. Cuma saya kan tidak suka disuruh-suruh. Tapi yang bikin jengkel kayak gitu tetap saja bikin kangen. Aneh!


Kangen ngobrol sampai larut malam. Kebanyakan hal tidak penting. Hah, tapi dari hal tidak penting itu saya jadi tau siapa Mas Pam, siapa Mas Ade, siapa Mas Ilham, dan siapa Mas Prima.
Kangen meja bundarnya Rumcay yang nasibnya naas. Di meja itu kita sering menghabiskan waktu dengan dunia maya. Saat dimana kadang kita rebutan kebel LAN yang jumlahnya cuma ada dua. Dari semua penghuni saya mungkin yang paling berkuasa, yang paling getol download dorama berseri. Sering sekali diomelin gara-gara saya download yang lain jadi lambat berselancarnya. Kalau jadi ingat itu, saya jadi merasa bersalah.


Kangen tidur selonjoran di depan TV. Kamar di Rumcay tidak difungsikan sebagai kamar. Para penghuni dengan jujur mengakui kamar adalah gudang-kecuali tentu kamar saya yang masih terlihat waras dan layak huni. Jadi kalau tidur kaki bisa menghadap wajah siapa. Itu hal biasa. guling berubah jadi bantal dan dipakai buat banyak orang. Itu normal. Ada yang jadi tumbal tidur di lantai karena kasur tak sanggup menampung semua penghuni. Itu sering. Hahaha…


Kangen suasana kekeluargaan. Pernah satu kali lampu mati. Hanya ada suara senyap dan gelap. Tidak ada lilin, tidak ada lampu cadangan. Kita hanya bebaring bersama, menunggu sampai lampu menyala lagi. Kita bercerita banyak tentang banyak hal dalam kondisi itu. Benar-benar mulai mau membuka diri. Mengurai banyak rahasia, cerita kelam, sampai mimpi-mimpi indah. Dan…saya kangen waktu itu!


Kangen berantem-yah, atau setidaknya melihat ada yang berantem. Memang ini bagian paling suram. Bagian di mana bercampurnya rasa risih, bingung mau mendukung siapa, dan sebel kalau kitanya masuk dalam jajaran pelaku. Mas Ilham yang sering tiba-tiba marah nggak jelas, yang sering menjadikan siapapun korbannya. Mas Ade vs Mas Pam, Mas Ilham vs Mas Ade(ini paling sering, kadang cuma masalah nggak penting), Mas Ilham vs Mas Pam, dan saya juga sering terlibat. Siapa nama yang tidak saya sebut? Yah, dari semua penghuni beliau memang yang paling adem ayem hidupnya. Lempeng tanpa hambatan. Kalau sekali terlibat konflik emosi paling cuma dengan Mas Ilham.

Orang mungkin boleh beranggapan apapun tentang Rumcay. Rumcay yang suram, gelap, kurang cahaya (please bedakan antara teduh dengan kurang cahaya ya!), yang tak terurus, dan yang lain-lainya. Memang sih gitu. Memang sih keadaannya suka mengenaskan sekali, perabot makan yang menggunung belum di cuci. Kertas, buku, dan perlengkapan lainnya yang berserakan. Halaman yang tak pernah disapu. Tanaman hias yang tak pernah tercukur rapi dan sebagian mati meranggas. Boleh, orang beranggapan apapun dari luar. Bagi saya selama saya masih bisa ngobrol, masih bisa tidur, masih bisa ketawa, masih bisa menghilangkan penat. Maka Rumcay masih jadi yang terbaik untuk saya. Dan saya sekarang benar-benar kangen Rumcay.






Sesaat di halaman,
Besama Mendung









Hannya nyenyak...
Di balut mimpi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar