XX+324, Cetakan pertama 2008
Saya kenal penulisnya. Kami sahabat yang sering berkerjasama dalam berbagai kesempatan. Lalu saya hendak memotivasinya untuk menulis kembali dan bangkit dari kevakumannya. Entah karena kesibukan atau entah ada alasan lain. Maka saya membuat review ini semerta-merta ingin mengapresiasi penulis.
Penerbit Fouris (Penerbit Indie)
Saya kenal penulisnya. Kami sahabat yang sering berkerjasama dalam berbagai kesempatan. Lalu saya hendak memotivasinya untuk menulis kembali dan bangkit dari kevakumannya. Entah karena kesibukan atau entah ada alasan lain. Maka saya membuat review ini semerta-merta ingin mengapresiasi penulis.
Bias Nuansa Jingga. Judul yang mengundang seribu tanya. Apa maksud gerangan dari judul itu. Judul ini memang termasuk dalam kategori indah, kalau menurutku. Sehingga cukup menarik minat untuk melirik buku ini.
Begini, saya agak sedikit merasa terganggu dengan beberapa penggunaan istilah yang terkesan lebay dan sangat tidak umum. Niatnya membuatnya menjadi semacam bacaan sastra. Alih-alih sastra yang ada justru kenikmatan membaca agak terganggu.
Covernya agak kurang digarap dengan bagus. Warna jingga dominan sebagai pencintraan dari judulnya hanya dipadukan oleh warna hitam. Jadi gelap dan sama sekali tak menarik. Kalau harus menimbang dengan cover yang tidak menarik semacam itu. Saya akan berfikir beberapa kali kalau hendak membelinya. Tapi mungkin kita bisa mengingat kembali pepatah “ jangan melihat sesuatu dari covernya”.
Kalau dari segi cerita saya mengatakan ini adalah novel “sangar”. Novel pop romantis religius ini bercerita tentang Vellia (tokoh utama) yang menikah hingga empat kali. Suami satu mati maka Vellia menikah lagi. Ada yang berbeda antara satu alasan pernikahan dengan alasan pernikahan berikutnya. Cukup unik. Karena biasanya kita disuguhi hanya cinta segitiga. Kalau ini cinta segilima. Makanya saya menyebutnya “sangar”.
Sinopsisnya nggak banget. Sinopsis cerita yang harusnya merupakan sekelumit tentang isi buku yang bertujuan menggugah minat pembaca dibuat seadanya. Hanya sebuah potongan dialog dalam cerita. Kita sebagai pembaca menjadi buta akan ceritanya. Dampaknya lagi-lagi butuh alasan kuat untuk membeli novel ini.
Untuk endorsmen di belakang cover diambil dari pembacanya setiayang bernama Sari. Kalau saya secara pribadi akan lebih baik memilih nama lain yang ada di halaman awal novel ini. Ada banyak endorsmen dari banyak tokoh mulai dari dosen hingga pelajar. Endorsmen dari orang yang “wah” pasti akan membuat novel ini juga akan terasa lebih elit. Semisal mengambil yang ibu dosen. Ini hanya pendapat pribadi lo!
Yang bagus dari novel ini adalah puisi – puisi yang cukup bertaburan di dalam novel.
Bisa dilihat dari salah satu petikan puisi berikut:
…
Tangis terus menderu
Darahku tak berhenti mengalir
Hingga…
Hingga nafas ini terputus
Hingga raga ini terhempas
Hingga jantung tak berdetak
…
Kebetulan penulis dari ranah minang. Jadi tak heran kalau penulis punya bakat mendayu biru. Tentu kita akan langsung mengingat AA. Navis, Muchtar Lubis, dll.
Kata pengantar diberikan oleh ayahanda penulis sendiri. Rasanya memang ini novel keluarga. Saya tidak bermasalah dengan hal ini. Pujian yang akan diberikan ayahanda penulis akan jauh lebih tulus ketimbang ketika orang lain yang memberikannya. Ehmmm…
Ending dari cerita ini tak jelek, tapi tak cukup bagus pula. Penulis berusaha dengan susah payah menciptakan adegan suspense (Red. Kejutan). Lumayan. Tapi banyak yang tidak masuk akal. Masak tokohKhafi yang sudah digambarkan meninggal terbakar hingga Vemas menikah lagi. Eh diujung-ujung dia ternyata masih hidup dan bersembunyi karena dirawat. Oh sinetron Indonesia banget!
Baiklah. Terlepas dari kesemua “kecacatan” yang ada. Saya pikir novel perdana dari Biaz ini patut diapresiasi. Siapa tau dengan apresiasi akan memotivasi penulisnya untuk mengambangkan kemmapuannya dalam kepenulisan lebih lagi. penulisnya yang masih cukup muda waktu menerbitkan novel ini mungkin mempengaruhi cara berfikir yang masih kurang matang untuk cerita dewasa semacam ini.
Apresiasi cukup besar juga diberikan untuk keberanian penulis menerbitkan Indie novel ini. novel ini terbit juga saat FLP Yogyakarta sedang mengalami hibernasi keproduktivan. Masih gersang karya yang dihasilkan oleh anggota. Waktu novel ini terbit baru, saya masih awal masuk FLP Yogyakarta. Dan novel ini cukup memotivasi saya untuk menghasilkan novel suatu saat. Ditunggu karyanya lagi mande anin!!!
Rumcay, 22.00 WIB
19122010