Setelah beberapa hari stagnan, tanpa kelajuan, tanpa
perkembangan, disitu-situ saja. Hari ini saya lebih bisa fresh. Lebih bisa
mengamati apa yang mengikat saya.
Pertama, saya terlalu ingin menjadi “someone” –penulis lain
yang saya idolakan-. Saya pernah mendengar kita memang tidak pernah benar-benar
bisa melepaskan jeratan dari faktor eksternal semacam ini. Tapi...saya
merasa menjadi terpenjara pada satu bilik yang menyiksa. Pada
satu titik saya merasa bukan saya. Pada titik yang lain, energi saya habis untuk bisa menjadi seperti “someone”. Pemborosan. Saya adalah saya. Kemutlakan entitas
diri. Kalau saya mengejar menjadi “someone”, saya tak lebih seperti proyeksi bayangan
di cermin. Ada tapi tidak nyata.
Kedua, saya malas. Tidak ada obat yang mujarab selain...Entahlah,
saya sendiri juga kurang tau.
Ketiga, keempat, kelima saya malas...Beneran saya mengalami
masa dengan kemalasan tingkat akut.
Mungkin sih...ini masih saja kemungkinan. Saya
masih ingin menulis hanya sekedar untuk mendapatkan pengakuan. Tidak salah,
hanya kurang pas. Menulis butuh wadah yang lebih besar dibanding hanya sebuah
pengakuan. Seperti ikan yang meskipun bertahan hidup di kolam, tapi wadah seharusnya adalah lautan.
Kemudian, wadah besar itu apa? yang bagaimana? saya tidak tau. Wadah besar itu sesuatu yang tidak bisa saya definisikan dengan pasti, tapi bisa saya rasakan dengan pasti. Mungkin kebermanfaatan? Mungkin Pencarian? Mungkin Kebenaran? Mungkin Pengabdian? Apapun kemungkinan yang muncul, saya hanya ingin semua bermuara pada satu titik Mahabesar, TUHAN!
Kemudian, wadah besar itu apa? yang bagaimana? saya tidak tau. Wadah besar itu sesuatu yang tidak bisa saya definisikan dengan pasti, tapi bisa saya rasakan dengan pasti. Mungkin kebermanfaatan? Mungkin Pencarian? Mungkin Kebenaran? Mungkin Pengabdian? Apapun kemungkinan yang muncul, saya hanya ingin semua bermuara pada satu titik Mahabesar, TUHAN!
Alasan – alasan saya adalah jangkar. Mengait saya untuk berada di dermaga yang sama. Ok, saya seharusnya tidak terjebak dengan beban-beban yang
seharusnya saya abaikan. Itu tuntutan yang retoris menurut saya. Keberadaanya ada
untuk diabaikan. Toh menuliskannya
seperti ini untuk apa? Untuk siapa?