Senin, 16 Januari 2012

Segela Tentang Filosopi dan Dee



            Saya tidak sengaja mendapatkan informasi dari twitter, bahwa Dee akan ke Jogja. Kadang twitter memiliki banyak informasi privat yang tidak di dapat di jejaring lain. Saya girang dalam hati. Yah, bagi yang merasa pernah menjadi seorang penggemar dari entah siapapun itu. Pasti bisa merasakan perasaan yang tengah saya rasakan.
Kalau ditanya kenapa saya menyukai Dee? Absolut dari karyanya. Tulisannya yang begitu hidup berhasil menjerat saya. Semua unsur dalam karyanya seolah hidup sejajar dengan kehidupan saya. Bagi saya karya yang hidup mendapat satu posisi lebih tinggi dibanding karya bagus. Logikanya karya bagus belum tentu hidup, tapi karya hidup pasti bagus.
        Lalu apa sih karya hidup? Saya tidak bisa merumuskan. Itu hanya labeling yang saya lakukan terhadap sebuah karya yang bisa saya rasakan secara intim. Secara general mungkin orang mengatakan sebagai tulisan yang lahir dari hati.  Tapi bagi saya menulis dengan hati saja tidak akan cukup untuk menghasilkan karya hidup. Pasti juga butuh teknik. Dan Dee salah satu yang punya keduanya.
Acara bertajuk ngopi bareng Dee di Dixie untuk melaunching karya reproduksinya: Filosopi Kopi. Karya yang dulu sempat dicetak oleh Gagas media, bahkan mendapatkan penghargaan fiksi terbaik oleh Tempo.
Saya mendapat pelajaran tersirat maupun tersurat. Tersiratnya saya dapatkan justru diluar acara tersebut yaitu tentang dua hal: lalai dan menyepelekan. Saya lalai untuk mencatat alamat pasti dari Dixie karena memang saya menyepelekan. Saya hanya mengandalkan bahwa saya pernah merasa tau tempat itu. Dalam rekaan otak, saya sudah membayangkan lokasi itu di suatu tempat. Dan ketika saya ke tempat rekaan tersebut. Hasilnya nisbi. Lalu saya menerka lagi, nisbi lagi. Ketiga, keempat, kelima, dan sampai saya menyerah. Jedokin kepala ke motor!
Ketika saya sudah menyerah. Plang Dixie muncul begitu saja. Seolah tanpa dosa dan tanpa salah. Padahal saya sudah melewati tempat tersebut sudah beberapa kali. Salah gue apa coba?
Kita mungkin sering mengalami hal semacam itu. Kita sering mencari susah payah sesuatu, entah karena hilang atau entah karena kita ingin. Hingga menjadi suatu yang harus! Pada posisi semacam itu, yang terjadi justru sebaliknya, rasanya kadang teramat susah untuk menemukannya. Seolah benda itu disembunyikan secara magis oleh sesuatu diluar kemampuan kita untuk menerka. Padahal kita yakin disana. Tapi ketika kita menyerah dan tidak mencarinya lagi. Benda itu muncul di tempat yang sudah sekian kali kita obrak-abrik. Aneh?
Mungkin begitu juga dengan cita-cita? Ibaratkan saja ketika sedang lomba sendok kelereng (nama resminya apa ya?). Ketika menggegam dengan mulut terlalu bertenaga, justru kita akan lebih cepat lelah. Terlalu banyak tenaga di awal, tidak tersisa untuk selanjutnya. Kita tau bahwa energi yang kita miliki juga memiliki keterbatasan. Sebelum garis akhir mungkin kelerengnya atau juga sendoknya sudah terlepas dari mulut kita. Beda ketika dari awal hingga akhir kita menggunakan tenaga yang sewajarnya. Dari awal hingga akhir mengalokasikan tenaga yang konstan. Kita mungkin akan tetap mendapatkan guncangan, tapi tidak akan hingga menjatuhkannya. Tidak ada yang benar-benar mulus dan lurus di dunia ini. Pasti ada kelok dan cacat pada semua hal.
Lupakan masalah tersirat. Kita beranjak ke pelajaran tersurat yang saya dapatkan di acara bersama Dee.
Pertama, Dee adalah penulis yang character minded. Terpenting bagi Dee adalah betapa karakter yang dibuatnya hidup. Peristiwa atau alur akan menjajarkan diri secara otomatis mengikuti perkembangan karakter yang hidup. Unsur yang lain itu selalau mengekor perkembangan tokoh. Bahkan seorang Dee, saking merasa tokohnya hidup, sempat ingin dilamar oleh Bodhi (Supernova Akar).
Saat ada seorang penonton bertanya sebarapa tokoh yang diciptakan dipengaruhi oleh sosok Dee secara personal? Dee menjawab bahwa dia ingin membuat jarak dengan tokoh ciptaannya. Ketika menulis sebuah tokoh, Dee akan menjadi tokoh tersebut dengan melepaskan personalnya. Dengan cara begitu, Dee ingin membuat tokohnya kaya, dan tidak miskin karena hanya mengeksplor dirinya pribadi.
Kedua, betapa Dee sebagai penulis menentukan mati hidupnya sebuah karyanya dari riset. Supernova akar misalnya, Dee menghabiskan seharian penuh di kantor ASEAN. Mewancarai orang Philipina, Thailand, dan Myanmar. Bertanya tentang bahasa, tentang detail suatu lokasi, kebiasaan, serta adat istiadat negara yang bersangkutan. Di Supernova Partikel (Calon karya terbaru Dee), Dia mengatakan bahwa benar-benar menghabiskan waktunya untuk riset. Pada seri supernova ini bahkan Dee mengaku bahwa materi risetnya menjebaknya hingga tidak terlalu bisa “ngapa-ngapain” ceritanya. Dee juga mengaku beberapa hari yang lalu dia juga sempat memesan 10 buku dari amazon untuk mempertebal risetnya untuk karya tersebut.
Ketiga, saya semakin menyadari semua penulis pada akhirnya akan menemui kebanggaan bukan hanya karena karyanya meledak, bukan hanya karena pundi rupiah yang sanggup dikantongi, bukan karena pujian yang datang, bukan karena penghargaan yang diraih, bukan pula popularitas. Tapi lebih besar daripada itu. Pencerahan! Bagi Dee (dan mungkin juga kebanyakan penulis). Tidak ada yang sanggup menggantikan kebahagiaan ketika seorang pembaca mengatakan, “ Karyamu membuka pintu hidupku yang mulanya tertutup rapat. Hingga aku bisa melihat kebajikan.”
Keempat, menulis satu bentuk karya entah itu novel atau ceprpen atau bahkan skenario akan memerlukan pelajaran yang bermula dari nol. Seorang novelis akan mengalami kesulitan dalam membuat cerpen karena diminta untuk membuat suatu karya yang padat, namun penuh letupan kejutan. Sebaliknya seorang cerpenis, akan memerlukan stamina luar biasa besar ketika membuat novel karena dituntut untuk membuat alur dan konflik yang berkembangnya secara berlapis-lapis. Begitu juga dengan genre sebuah karya. Seorang penulis dewasa akan mulai kualahan saat membuat cerita anak karena medan penjiwaannya berbeda. Sebaliknya seorang penulis fantasi yang terbiasa meliarkan imajinasinya akan tunduk tak berdaya ketika diminta menulis science fiction yang segala sesuatunya harus patuh pada literature atau kenyataan. Terlepas dari kesemua itu, sebagai penulis akan semakin bisa punya kaya pemahaman ketika bisa menyebrang lintas zona nyamannya. Tantangan baru selalu menghasilkan kepuasan baru.
Banyak hal yang dibagikan oleh Dee. Hanya saja, saya cuma menganggap keempat point ini penting dan paling saya ingat. Selebihnya saya tidak sabar menanti kehadiran Supernova Partikel. Saya pernah membaca bocoran sekilas, kalau tidak salah tentang genetika. Semakin dekatlah Dee dengan hidup saya karena penelitian saya berkutat tentang itu. Bisa saja saya salah, bisa juga saya benar.

PS: Boleh percaya, tidak pun juga boleh. Tapi keempat point yang berasal dari Dee tersebut sudah menjadi teori yang saya anut selama ini dalam proses kepengarangan saya.

6 komentar:

  1. wah makasih udah berbagi nu! :)
    poin paling saya sorotin yang keempat nih. rasanya pingin bisa menulis dalam berbagai bentuk dan genre, tergantung apa ide yang kita dapetin. menulis sepertinya enggak bisa berhenti ya...

    BalasHapus
  2. Iya kalau kita terjebak pada form dan menafiqkan konten. Rasanya kita miskin untuk berkembang...

    BalasHapus
  3. satu lagi dari Dee yang slalu teringat. "bukan kita yang menemukan inspirasi. dialah yang akan menemukan jalannya."

    BalasHapus
  4. "Yang saya lakukan terhadap sebuah karya yang bisa saya rasakan secara intim".
    (lebai ala whisnu)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sejak kapan aku lebai?haha...makasih berkunjung terus mas.dan aku jarang update. payah!

      Hapus