Selasa, 25 Januari 2011

Diam

Ini kejadian jum’at yang lalu, jum’at yang lalu lagi. Saat kelabilan sudah menguasai hidupku. Aura kehidupanku meredup lagi. Susah sekali meniupkan ruh kebersemangatan yang membuat hidup lebih bergairah. Bagi saya memang hidup ini sulit! Kalau mudah ya kita tak peru melakukan perjuangan. Perjuangan hanya untuk meraih hal – hal sulit, bukan hal-hal sepele. Itu alasan kenapa hidup ini sulit. Bersyukur pula dengan kesulitan itu selalu saja ada kejutan dan pembelejaran.
Mereka (Serombongan mas-mas yang selalu hadir di jum’at malamku), mengobrol dengan mulut tersumbat makanan. Mereka memesan semauanya-uang mereka memang banyak-. Mereka sumingrah padahal beban hidupnya tak kalah berat. Mereka santai padahal masalah menerpa. Mereka ceria padahal kelelahan tengah menghinggapi. Mereka bahagai padahal kantuk melanda. Aku? Oh aku, hanya duduk di pojok ruangan warung itu. Diam. Bungkam. Membisu. Aku hanya berdialog dengan teman imajinerku. Lagi-lagi aku lari dari dunia nyata saat aku tak ingin nyata.
Begitulah malam itu. Aku bisu, sedangkan mereka sibuk membicarakan masalah besar –tentu bagi mereka-. Aku tak tertarik mengikuti arus mereka. Aku hanya bergumel pada pikiranku yang menerawang di dunia fantasi buatanku. Dunia yang telah lama kubangun. Tempat kepengucutanku. Saat aku lari dalam masalah.
Aku tak tau harus berbicara apa. Buku-buku yang kubaca tak ada yang membantuku untuk mengetahui arah pembicaraan mereka. mereka berlari saat aku baru menerka-nerka. P-O-L-I-T-I-K. Kenapa masalah yang dulu tabu itu begitu dini dibacarakan mereka. Aku tak mungkin mengkomparasikan itu semua dengan politik dalam novel fiksi fantasikan? Aku tidak mungkin menjajarkan konflik politik antara manusia, elf dan kurcaci dalam The Lord of The Ring dengan politik yang tengah mereka bicarakan. Aku juga hanya terasa lampau sekali, kalau berbicara dari sastra lama dengan politik lawasnya.
Satunya penyelesaian aku kabur ke dunia imajinerku. Diam!
Aku ingin merutuki mereka karena melupakan keberadaanku. Aku ada. Aku hadir. Mereka tau itu. hanya ketidak pedulian yang membuat mereka naïf. Aku tak memaksa kalian untuk mengacuhkanku. Aku sadar dunia kita berbeda. Namun perbedaan yang membuat aku masih betah setiap malam bersama mereka. Walau aku menjadi manusia kayu. Diam.
Malam itu mereka hadir dengan kesyukuran atas pencapaian jabatan duniawi. Aku diam. Aku kagum, tapi aku hanya ingin diam. Aku sama sekali tidak iri, jabatan duniawi hanya perkara yang melelahkan. Jebakan yang kadang merenggut masa indahku bersama dunia imajinerku. Maka aku memutuskan diam. Dalam hati, aku tau mereka tidak terlalu menautkan emosional pada hubungan denganku. Formalitas. Tapi bagiku malam bersama mereka selalu memenuhi otakku dengan kenangan. Sekalipun penuh duka yang berseling tawa. Sekalipun ada lara dalam bahagia. Jadi aku memutuskan bangga pada pencapaian mereka. Aku paham itu menyiksaku dalam kesadaran sepenuhnya. Status mereka dan aku akan membuat jembatan kesenjangan yang panjangnya menyamai Tembok Raksasa China.
Aku menyesal satu hal. Kenapa mereka tak bilang kalau malam itu semuanya gratis. Aku sudah lapar. Perutku hanya terisi burjo (Bubur kacang ijo). Deretan harga mahal memngurunkan niatku. Kalau aku tau semua akan gratis, aku kan tak perlu repot menahan nafsuku. Aku lapar. Aku keroncongan. Teh hangat seharga dua ribu rupiah hanya menghangatkanku, tetapi tidak menghilangkan rasa laparku. Menyesal.
Rumcay-08:56 WIB
05012011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar