Tepat
dua bulan. Setiap dua minggu sekali. Hari ini pertemuan ke delapan ku.
Awalnya,
hanya karena ikut-ikutan Ani yang mendadak berubah lebih tidak ter-deskripsi-kan.
Entahlah, aku kesulitan menamai perubahan Ani. Hanya dia benar-benar berubah.
Satu hal yang kulihat, Ani sudah mulai berani bilang tidak suka pada sesuatu.
Itu hebat jika yang berkata itu Ani. Kalau ada beberapa kata yang menggambarkan
sosok Ani adalah selalu bilang iya dan tidak pernah bilang tidak.
Kami
biasanya duduk bersila. Diatas satu bantal berwarna merah. Tanpa sandaran.
Beberapa aroma terapi. Dan bunga sedap malam disetiap sudut ruangan. Ada tujuh
belas orang. Kami duduk berpasangan. Boleh bercerita apapun, dan pada
gilirannya kami berubah menjadi pendengar apapun. Cukup itu. Tidak ada yang
lain. Kami boleh marah,senang, sedih, kecewa, jengkel. Boleh bercerita panjang
atau pendek. Lama atau sebentar. Semua perasaan yang kita rasakan dan semua hal
yang ingin kita ungkapkan tidak boleh kita tahan. Karena tidak ada yang perlu
disembunyikan.
Karena
jumlah kami ganjil, dan aku adalah pendatang baru dengan terpaksa pasanganku
adalah sang tentor, Ataka. Ataka, pemuda seusiaku, 25 tahun. Sekilas ketika
melihatnya, tak ada yang berbeda dengannya. Tapi ketika melihat matanya, selalu
ada ketajaman. Setiap melihatnya seolah kita sedang dilihat hingga ketingkat
dalam diri kita. Peramal? Bukan. Cenayang? Bukan. Kata Ani, Ataka tidak punya
yang seperti itu. Pelatihan ini hanya pelatihan psikologi biasa. Metode ini
mulai dikembangkannya ketika dia masih mengambil master di bidang psikologi
Harvard University. Menurutnya semua sangat simpel, ketika kita mengerti orang
lain, maka kita bisa mengerti diri kita. Ketika kita bisa memahami orang lain,
kita juga bisa memahami diri sendiri. Dan baginya kebenaran itu selalu datang
dari diri sendiri.
“Aku
capek!” Dari awal pertemuan sampai sekarang kata itu yang selalu kujadikan
ceritaku. Hanya itu. Ataka hanya selalu diam. Tak pernah ada tanggapan. Tak
pernah ada yang kata-kata yang diberikan. Tak pernah ada sentuhan atau
apapunlah yang membuatku bisa merasa bahwa aku berbicara dengan seseorang,
bukan patung. Padahal ketika aku mengawasi sekitarku, semua orang telihat
sangat menikmati peran pencerita dan pendengar tanpa seolah menjadi si bisu dan
si banyak omong.
“Kenapa
selalu diam guru?”
“Karena
jawaban terbaik untuk ceritamu hanya diam.”
“Tapi
sampai sekarang aku tidak pernah merasa lebih baik dengan guru hanya diam!” Nada
suaraku meninggi. Aku bisa merasakan rasa jengkel menyusup pada kata-kataku
yang baru saja kukeluarkan. Sekeliling mendadak berhenti dan mengawasi kami.
“Maaf
atas kelancangan saya.” Aku merasa pernyataanku tadi terlalu lancang. Hening.
Aku diam. Ataka juga diam. Semua orang juga diam. Tak ada suara. Bahkan tak ada
yang bergerak.
“Akhirnya.
Kamu jujur pada perasaanmu sendiri.”
Dalam
beberapa detik mataku beradu dengan mata Ataka. Ketika mata kami beradu aku
merasa ada dorongan yang muncul tiba-tiba. Sesuatu dalam diriku dilihat.
Sesuatu kekosongan dalam diriku tiba-tiba perlahan tidak kurasakan. Sesuatu
yang kusembunyikan tiba-tiba dilepaskan. Aku tidak tau bagaiamana caranya. Tapi
aku yakin itu semua Ataka yang melakukan. Aku terhenyak. Aku menunduk. Aku menangis.
“Aku
diam karena aku menunggumu untuk siap. Apa yang kamu rasakan sekarang bukan
pencerahan. Bukan pula kebenaran. Itu hanya dirimu sendiri. Jangan pernah
menahannya lagi. Lepaskan dirimu dari batas iya dan tidak. Seharusnya dan tidak
seharusnya. Percaya dan tidak percaya. Dirimu adalah dirimu. Jadi terimalah. ”
“Sekarang
pergilah. Lunasi apa yang harus kamu lunasi. Sampaikan apa yang harus kamu
sampaikan. Tidak perlu lagi ada belenggu. Bebaskan dirimu.”
“Tapi
saya tidak yakin berani guru?”
“Kamu
harus percaya pada dirimu. Kelelahanmu hanya karena pelarian dari semua
penolakanmu.”
“Terimakasih.
Saya pamit guru.” Aku menyeka air mataku. Membereskan tasku. Dan aku berlari
keluar. Aku tak menghiraukan semua tatapan seisi ruangan yang melihatku.
Lagi-lagi aku tidak tau bagaiamana hingga Ataka seolah tau sesuatu yang tak pernah
kuceritakan ke siapapun tentang perasaanku. Sesuatu yang menjadi lubang untukku
melangkah. Tapi Ataka benar-benar membantuku.
“Silakan”.
Suara samar Ataka yang masih bisa kudengar.
***
Dua
tahun tak pernah memberiku cukup keberanian untuk mengakui perasaanku akan
ketidaksanggupanku untuk hidup dengannya. Waktu seolah menjadi beku, layu, dan
kaku. Aku tau aku egois. Tapi sebagai mahasiswa farmasi aku tau kenyataan kalau
Ryan dengan Hepatitis- B1 nya kecil kemungkinan bisa disembuhkan. Bukan
sebatas itu, Hepatitis juga merupakan penyakit yang mampu menurun dan sangat
menular bahkan jauh lebih ganas dibanding HIV. Adakah kebahagian yang
ditawarkan dari kehidupan yang seperti itu?
Sejak
saat itu semua informasi tentang Hepatitis B kukumpulkan. Setiap ada diskusi
tentang Hepatitis B selalu kuikuti. Aku selalu berharap ada celah, walau hanya
sekecil lubang ujung jarum. Dilaptopku bahkan ada satu folder yang kuberi nama “IHateHepatitisB” yang bahkan sudah
mencapai 10GB. Isinya mulai dari artikel, jurnal,sampai dengan video.
Sudah
dua tahun juga, aku tak pernah berhenti memperhatikannya. Setiap ada kesempatan
aku akan menengoknya untuk melihat kondisinya. Dan semakin lama aku melihat bukan
hanya fisik yang digerogoti oleh penyakit biadab itu. Tapi juga psikisnya.
Setiap obrolan kami yang kudengar hanya kemuraman. Pada akhirnya yang kudengar
hanya tentang kematian.
Aku
berusaha menerima semua itu. Aku berusaha percaya cinta mampu mendamaikan
semuanya. Membuatku selalu punya kekuatan untuk bisa menerima keadaan.
kenyataanya sebaliknya. Aku menjadi terlalu lelah. Semua itu membuatku
melakukan banyak pelampiasan. Aku mengambil semua pekerjaan yang ditawarkan
padaku, mulai jurnalis, asisten laboratorium, asisten dosen. Ketika
teman-temanku mengajakku keluar hanya sekedar makan hingga belajar bersama tak
pernah ku tolak. Aku selalu berangkat pagi, pulang malam. Selama aku bisa, aku
harus mengisi pikiranku. Karena ketika pikiranku kosong, batinku tersiksa atas
kebohongan yang kubuat. Semua itu berlangsung bahkan sampai sekarang, ketika aku
sudah mulai berkerja.
“Na,
aku akan lebih bahagia kalau melihatmu bahagia. Dan kebahagianmu bukan
bersamaku.”
“Jangan
pernah berbicara seperti itu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,
percayalah!”
Sebenarnya
sudah sangat sering Ryan memintaku untuk meninggalkannya. Dia selalu berharap
untuk melupakannya. Menggapai hidup baru yang jauh lebih baik dari sekarang.
Dan lagi-lagi aku dengan pengecutnya tidak berani mengungkapkan perasaanku.
***
Aku
mengayuh sepedaku menuju tempat Ryan yang tak jauh dari tempatku saat ini. Aku
menangis. Tapi aku sadar aku bahagia. Keberanian yang sudah kutunggu begitu
lama. Sebagian diriku yang selalu terasa kosong, tak kurasakan lagi.
Langit
begitu mendung. Aku mengayuh lebih kencang. Takut hujan akan lebih dahulu
mengguyurku sebelum aku sampai di rumah
Ryan.
Tak
butuh waktu lama aku sudah sampai di depan rumahnya. Aku mengetok pintu. Dari
dalam aku mendegar suara langkah kaki yang menuju ke arah pintu. Pintu terbuka.
Dan itu Ryan.
Aku
memeluknya. Aku tertawa keras. Aku tidak menahan apapun perasaan yang sedang
kurasakan. Semua bebas dan lepas. Membuatku meledak hingga tak bergerak.
“Ada
apa ini? Kamu kenapa Na?” Aku melepaskan pelukanku. Melihatnya yang sedang
dikepung ribuan tanya.
Aku
memeluknya lagi. “Maaf. Tapi kamu benar! Kamu benar!”
“Benar
tentang apa Ana? Ada apa? Kamu kenapa?”
“Iya
kamu benar. Maafkan aku, aku benar-benar mencintaimu hingga bisa bertahan
hingga sekarang untuk terus mencintaimu. Tapi aku tidak bisa bertahan lagi. Aku
tidak bisa terus membohongimu seperti aku membohongi diriku sendiri.”
Tiba-tiba
Ryan memelukku. Merengkuh lebih erat. “Cukup…Aku mengerti.” Bisikmu lirih.
***
Hujan
turun dengan deras. Aku terbebas. Aku mengayuh sepeda dengan bahagia, juga
dengan kecewa. Tidak mudah melepas sesuatu sekalipun aku tau itu yang selama
ini kuinginkan. Aku suka hujan. Karena hujan meredam semuanya. Menyembunyikan
air mataku dalam basuhan airnya.
***
Yogyakarta, 3 November 2012
For Ana! Selamat Ulang Tahun yang ke-22 yah…
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi ha ti atau kanker hati.1)
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi ha ti atau kanker hati.1)